INTERNASIONAL - Rumah Sakit Kewalahan Hadapi Covid di China, warga berbondong-bondong beli tiket pesawat setelah pembatasan perjalanan dibuka.
Secara resmi, baru ada 13 kematian akibat Covid di China sepanjang Desember 2022. Namun, China memiliki kriteria terbatas untuk mengonfirmasi kematian akibat Covid.
Mereka hanya menghitung kematian yang disebabkan secara langsung oleh Covid-19, bukan yang terjadi karena komorbid atau riwayat penyakit pasien.
Metode pendataan ini tidak sesuai dengan arahan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sehingga angka kematian China jauh di bawah negara-negara lain.
China sudah berhenti menerapkan tes Covid massal dan hanya mencatat kasus positif dengan gejala yang dilaporkan rumah sakit dan klinik kesehatan. Kasus tanpa gejala dan perangkat tes rumahan tidak terdaftar dalam data pemerintah.
Saat ini, data pemerintah China mencatat sebanyak 5.000 kasus per hari.
Sementara BBC melaporkan, perusahaan riset berbasis Amerika Serikat Airfinity mengatakan model estimasi mereka memperkirakan jumlah kasus di China bisa mencapai hingga tiga juta kasus pada Januari nanti.
Meski angka resmi tergolong rendah, WHO telah memperingatkan sektor kesehatan China dapat mengalami tekanan berat.
Kantor berita Reuters melaporkan rumah sakit di China kewalahan saat periode Natal. Melalui rekaman video, tampak antrean panjang di depan klinik dan pasien berbaring pada kasur rumah sakit di tengah ruang tunggu yang ramai.
Video-video di media sosial sepanjang Desember memperlihatkan rumah sakit yang penuh pasien.
Seperti rumah sakit anak di Tianjin, China Utara. Sulit untuk memastikan seberapa parah situasi terkini jika dibandingkan dengan kondisi normal. Sebab, China menyaring informasi yang keluar dari negaranya dengan sangat ketat.
Di Beijing telah dilaporkan antrean panjang di depan klinik kesehatan dan tingginya permintaan obat demam di apotek.
Pusat kesehatan sementara sedang didirikan bersama dengan fasilitas perawatan intensif di negara tersebut.
Rumah Sakit Chaoyang di Beijing akan meningkatkan kemampuannya karena jumlah pasien yang masuk naik empat kali lipat.
Mereka juga melaporkan di Shanghai sebanyak 230.000 kasur rumah sakit tambahan telah tersedia.
Pelonggaran pembatasan Covid-19 di China terjadi secara tiba-tiba setelah protes massal pada November lalu, ketika warga menolak karantina wilayah di seluruh negeri.
Sebelum peraturan dilonggarkan, China memiliki salah satu kebijakan anti-Covid paling ketat sedunia, yang dikenal sebagai kebijakan nol-covid.
Langkah-langkah tersebut mencakup karantina wilayah ketat meskipun hanya segelintir kasus Covid yang ditemukan, pengujian massal di tempat-tempat di mana kasus dilaporkan, dan orang yang positif Covid harus isolasi di rumah atau melakukan karantina di fasilitas pemerintah.
Kini, karantina wilayah telah dihapus, dan aturan karantina dihilangkan.
Bahkan, tes Covid negatif tidak lagi menjadi syarat memasuki angkutan umum, restoran, pusat kebugaran, dan ruang publik lainnya (kecuali panti asuhan dan panti jompo).
Para pejabat China juga menyatakan mereka hendak membuka perbatasan mulai 8 Januari dengan menghilangkan syarat perjalanan dan karantina untuk pendatang.
Beberapa negara termasuk AS menerapkan syarat ketat bagi kedatangan turis asal China akibat gelombang penyebaran Covid yang melanda.
Secara keseluruhan, China melaporkan sebanyak 90% dari populasinya sudah vaksinasi lengkap.
Namun, kurang dari setengah warga berusia 80 tahun ke atas telah menerima tiga dosis vaksin. Bahkan, tingkat vaksinasi pada April lalu untuk kelompok ini jauh lebih rendah, yakni kurang dari 20%.
Aparat China kini mengatakan mereka memerlukan layanan kesehatan lokal untuk "meningkatkan sistem imun seluruh populasi, khususnya para lansia".
Ada pula kerisauan terkait jenis-jenis vaksin utama yang digunakan China, yakni Sinovac dan Sinopharm dan apakah mereka cukup efektif untuk melawan varian Omicron.
Omicron sendiri merupakan varian Covid yang paling mudah menyebar.
China secara terang-terangan menolak menggunakan vaksin yang diproduksi negara Barat. Pemerintah China pun tak memberikan penjelasan di balik keputusan tersebut.
Namun, sikap nasionalis bisa saja menjadi faktor menurut Dr Yu Jie, peneliti senior terkait China dan urusan Internasional di Chatham House.
"Saya pikir Xi Jinping benar-benar memikirkan kemandirian ekonomi - yang membutuhkan China untuk memproduksi dan menggunakan vaksinnya sendiri, daripada mengimpornya dari suatu tempat."
Warga berbondong-bondong beli tiket pesawat
Khalayak China berbondong-bondong memesan tiket pesawat ke luar negeri setelah pemerintah mengumumkan rencana pembukaan pembatasan perjalanan bulan depan.
Sejumlah situs perjalanan mencatat lonjakan angka pengunjung sejak rencana tersebut diumumkan pada Senin 26 Desember 2022 kemarin.
Kebijakan itu mencakup penghapusan syarat wajib karantina bagi pendatang mancanegara.
Adapun bagi masyarakat China yang ingin terbang ke luar negeri, pengajuan pembuatan paspor akan dibuka kembali pada 8 Januari, kata kantor imigrasi China.
Meski begitu, turis China tidak dapat masuk ke semua negara tujuan tanpa syarat perjalanan.
Para pejabat di Amerika Serikat sedang mempertimbangkan pembatasan baru terhadap para pelancong dari China karena kekhawatiran tentang lonjakan kasus dan kurangnya transparansi dari pemerintah China.
"Ada kekhawatiran yang meningkat di komunitas internasional tentang lonjakan Covid-19 yang sedang berlangsung di China dan kurangnya data transparan, termasuk data urutan genomik virus," kata pejabat AS dalam pernyataan yang dikutip oleh sejumlah kantor berita.
"Tanpa data ini, semakin sulit bagi pejabat kesehatan masyarakat untuk memastikan bahwa mereka akan dapat mengidentifikasi potensi varian baru dan mengambil langkah cepat untuk mengurangi penyebaran."
Kemudian Jepang, yang merupakan salah satu destinasi paling populer bagi wisatawan China, mengumumkan syarat khusus bagi pendatang dari negara tersebut.
Pendatang dari China harus menunjukkan tes negatif Covid-19 per kedatangan atau karantina selama tujuh hari akibat membludaknya kasus di negara tersebut.
Bahkan, India masih mewajibkan pelaku perjalanan dari China dan negara-negara tertentu lainnya untuk membawa hasil tes Covid-19 negatif saat mendarat. Peraturan ini sudah berlaku sebelum China melonggarkan peraturan terkait wabah penyebaran Covid-19.
Pelonggaran syarat berpergian - bagian terakhir dari kebijakan 'nol-covid' pemerintah China - muncul seiring dengan upaya negara tersebut untuk melawan gelombang penularan baru.
Pemerintah China memutuskan untuk melonggarkan kebijakan terkait Covid-19 setelah warga melakukan protes besar-besaran terhadap Presiden Xi Jinping pada November lalu.
Tetapi, langkah ini diikuti dengan peningkatan kasus Covid-19 yang membuat rumah sakit kewalahan dan apotek kehabisan obat.
Pengumuman tentang dibukanya kembali perjalanan mancanegara mengemuka sehari setelah pemerintah menghilangkan syarat karantina bagi pelancong yang mendarat di China.
Pemerintah China juga membatalkan pembatasan jumlah penerbangan harian.
Tak hanya itu, Komisi Kesehatan Nasional China akan menurunkan tingkat bahaya Covid-19 menjadi penyakit Kelas B pada 8 Januari nanti.
Sebelum penghapusan syarat perjalanan, masyarakat China dianjurkan agar tidak bepergian ke luar negeri. Penjualan tur grup dan paket perjalanan dilarang, menurut perusahaan solusi pemasaran Dragon Trail International.
Hanya setengah jam setelah terbitnya pengumuman pelonggaran pembatasan perjalanan, media China melaporkan pencarian destinasi liburan pada situs perjalanan Trip.com naik 10 kali lipat dibandingkan tahun lalu.
Destinasi yang paling banyak dicari warga China mencakup Makau, Hong Kong, Jepang, Thailand, dan Korea Selatan.
Selain itu, pencarian terkait penerbangan pada situs biro perjalanan Qunar naik tujuh kali lipat dalam kurun 15 menit setelah pengumuman, berdasarkan laporan China Daily.
Sebelum pandemi, menurut Statista, jumlah pelaku perjalanan yang berasal dari China mencapai 155 juta orang pada 2019. Angka tersebut turun menjadi 20 juta orang pada 2020.
Tahun ini, sejumlah warga China berharap dapat mengunjungi keluarga dan orang terdekat mereka dalam rangka Tahun Baru Imlek yang akan jatuh pada 22 Januari 2023.
Oleh karena itu, banyak warga China memiliki perasaan campur-aduk mengenai pelonggaran kebijakan Covid-19.
"Saya senang mendengarnya tetapi juga kaget. Kalau China akan melakukannya [pembukaan kembali] kenapa saya harus menjalani semua tes Covid-19 harian dan penguncian area setahun terakhir ini?" kata Rachel Liu yang tinggal di Shanghai.
Ia mengatakan dirinya mengalami karantina wilayah selama tiga bulan, sedangkan semua anggota keluarganya telah tertular Covid-19 dalam beberapa minggu terakhir.
Orangtuanya, kakek-neneknya, dan pacarnya - yang tinggal di tiga kota berbeda yakni Xi'an, Shanghai, dan Hangzhou - semua sakit demam pekan lalu.
Di media sosial, banyak juga yang mengaku khawatir tentang pembukaan kembali perjalanan, padahal kasus Covid-19 sedang tinggi.
"Kenapa mereka tidak menunggu gelombang ini berlalu baru membuka kembali? Para tenaga kesehatan sudah kewalahan dan lansia tidak akan kuat melewati dua gelombang infeksi dalam satu bulan," tulis salah satu komentar teratas di Weibo.
Masyarakat yang tinggal di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai, yang sedang mengalami musim dingin, mulai kehabisan obat flu dan batuk-pilek.
Ada kerisauan bahwa ratusan orang yang meninggal karena Covid-19 tidak dilaporkan sebab beberapa krematorium kewalahan.
Di ibu kota Beijing, para pejabat mengutarakan rencana untuk mendistribusikan tablet Paxlovid buatan Pfizer sebagai upaya meringankan infeksi berat. Namun, menurut The Global Times, posko-posko kesehatan mengaku belum menerima obat tersebut dari pemerintah.
Pada Senin lalu, Presiden Xi menyampaikan pesannya terkait perubahan kebijakan untuk pertama kali. Ia meminta agar para pejabat melakukan apa yang 'dapat dilakukan' untuk menyelamatkan nyawa.
Perubahan drastis pada kebijakan di China telah menempatkan Xi dalam posisi yang sulit. Ia merupakan pendorong utama di balik kebijakan 'nol-Covid' yang banyak diprotes warga karena membuat hidup mereka susah dan memperlambat ekonomi.
Tetapi, berhubung kebijakan tersebut sudah dicabut, para analis mengatakan Xi harus bertanggung jawab atas gelombang penyebaran besar dan penuhnya rumah sakit.
Banyak yang mempertanyakan mengapa China tidak lebih siap menghadapi ledakan kasus tersebut. (*)
Tags : Cina, Perjalanan, Virus Corona, Kesehatan, Pesawat, Transportasi, Virus Corona,