JAKARTA - Larangan minuman beralkohol dengan dalih untuk menciptakan ketertiban dan menaati ajaran agama masih dikritik, tapi kebiasaan minum alkohol (Minol) bisa ditelusuri sampai ke nenek moyang manusia dan simpanse. Larangan minuman beralkohol dengan dalih untuk menciptakan ketertiban dan menaati ajaran agama, walaupun tidak ada data akademis yang menunjukkan jumlah kasus kriminalitas akibat minuman beralkohol menjadi pembahasan pihak DPR melalui rancangan undang-undang [RUU]. Di sisi lain, data Kementerian Keuangan menunjukkan cukai minuman keras berkontribusi pada perekonomian negara dengan nilai sekitar Rp7,3 triliun tahun lalu.
RUU itu juga mengatur sanksi pidana bagi mereka yang mengkonsumsi minuman keras. Asosiasi importir minuman beralkohol mengatakan khawatir jika disahkan, aturan itu akan membunuh sektor pariwisata. Sementara, peneliti kebijakan publik mempertanyakan urgensi RUU itu, merujuk pada data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan konsumsi minuman beralkohol terendah di dunia.
'Menjaga ketertiban'
Anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai salah satu pengusung RUU larangan minuman beralkohol, Illiza Sa'aduddin Djamal, berpendapat aturan itu penting demi menjaga ketertiban. "Minuman beralkohol bisa merusak kesehatan dan berakibat fatal terhadap hilangnya akal dan sebagainya. Dalam kondisi mabuk... kan banyak kasus pemerkosaan dan kematian akibat kecelakaan lalu lintas dan kasus-kasus lainnya yang berakibat fatal. Yang kita inginkan adalah melindungi masyarakat dari dampak negatif minuman keras tersebut, jadi biar lebih tertib, dan ada ketentraman," ujar Illiza Sa'aduddin Djamal seperti dirilis BBC News Indonesia.
Meski dia mengatakan demikian, naskah akademis RUU itu tidak mencantumkan data tentang berapa jumlah kasus kekerasan yang terjadi akibat konsumsi alkohol. Pada tahun 2017, Pusat Kajian Kriminologi FISIP Universitas Indonesia mengeluarkan studi yang menyimpulkan bahwa tidak ada data statistik spesifik tentang tindak kejahatan terkait dengan konsumsi minuman beralkohol.
Disimpulkan juga tidak ditemukan korelasi yang kuat antara kejahatan dan konsumsi minuman beralkohol. Illiza, yang menjabat sebagai wakil Walikota Banda Aceh itu, menambahkan bahwa agama Islam, yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia, melarang konsumsi minuman beralkohol. Menurutnya, agama-agama lain pun tidak mengizinkan umatnya minum hingga mabuk.
'Membunuh pariwisata'
Merespons RUU itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Minuman Beralkohol Indonesia (APBMI), Stefanus, menyatakan khawatir jika RUU itu sampai lolos. Menurut draf RUU, orang yang mengkonsumsi alkohol tak sesuai aturan terancam dibui paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp50 juta. "Saya sih ada kekhawatiran, jadi jangan sampai kelolosan. Tiba-tiba keluar larangan alkohol. Itu nggak benar lah. Kita nggak pengin disahkan. Kalau disahkan sama saja membunuh pariwisata Indonesia," kata Stefanus.
Minuman beralkohol adalah salah satu produk yang dikenakan cukai. Pada awal tahun ini, Kementerian Keuangan mengumumkan minuman beralkohol menyumbangkan sekitar Rp7,3 triliun pada penerimaan cukai negara tahun 2019, jumlah yang oleh Stefanus disebut "besar bagi penerimaan negara". Sementara, tahun lalu, DKI Jakarta yang memiliki saham perusahaan produsen bir, PT Delta Djakarta, mendapatkan lebih dari Rp100 miliar dari deviden perusahaan itu.
Stefanus berpendapat minuman beralkohol memang perlu diatur dan diawasi, misalnya mengenai usia orang yang diizinkan mengkonsumsi, tapi tidak dilarang. Namun, pengusung RUU ini dari PPP, Illiza Djamal, tak sepakat jika masalah ekonomi dipersoalkan. "Kita harus berpikir keras hal apa yang nanti bisa meningkatkan perekonomian kita. Ternyata kan juga tak begitu signifikan pendapatan yang kita dapatkan [dari minuman beralkohol] dibanding dengan persoalan yang kita dapatkan dari minuman keras ini," ujarnya meski begitu, ia juga mengatakan akan ada konsumsi alkohol yang dikecualikan dari UU ini, seperti untuk wisatawan, ritual keagamaan, dan acara adat.
Salah satu terendah di dunia
Di sisi lain, Felippa Amanta, peneliti lembaga the Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), mempertanyakan urgensi DPR membahas RUU itu. Merujuk data WHO, Felippa mengatakan Indonesia adalah salah satu negara dengan konsumsi alkohol paling sedikit di dunia. "Menurut kami, RUU ini sama sekali tidak ada urgensinya karena angka konsumsi alkohol di Indonesia sangat rendah, salah satu terendah di dunia. Berdasarkan data WHO, beberapa tahun belakangan ini, Indonesia konsumsinya sekitar 0,8 liter per kapita. Kalau kita bandingkan dengan Asia Tenggara, yang angkanya 3,4 liter per kapita," kita juga masih jauh lebih rendah.
Dari data yang sama itu, Felippa menjelaskan sebagian besar konsumsi alkohol di Indonesia itu unrecorded (tidak tercatat) atau tak legal. Ia menambahkan alih-alih melarang, pemerintah lebih baik mengatur dan mengawasi distribusi minuman keras. Pasalnya, pelarangan minuman beralkohol akan berujung pada meningkatnya jumlah konsumsi minuman oplosan, sebagaimana yang diamatinya terjadi di Bandung pada tahun 2018.
57 orang meninggal akibat miras oplosan
RUU larangan minuman beralkohol pertama kali diusung oleh DPR pada tahun 2009, tapi tak disahkan hingga dibahas lagi pada periode 2014 dan 2019. Pembahasan kembali mandek karena adanya perbedaan pendapat antara pengusung RUU, yang ingin melarang minuman berlakohol, dan pemerintah yang menginginkan konsumsi alkohol tak dilarang, tapi diatur. RUU alkohol kembali diusung PPP, PKS, dan Partai Gerindra.
Sejak nenek moyang terdahulu sudah minum alkohol sebelum menjadi manusia
Kebiasaan minum alkohol bisa ditelusuri sampai ke nenek moyang manusia dan simpanse. Antara 2005 dan 2007, daerah pinggiran kota Los Angeles, California, melihat ada beberapa kecelakaan burung. Korbannya adalah sekitar 90an burung cedar waxwing yang tewas akibat terbang saat mabuk. Burung-burung yang tipsy ini tak sengaja menabrak jendela, tembok dan pagar — dan mati karena trauma.
Sebelum hidup mereka berakhir tragis, burung-burung ini sedang berpesta makan berry merah terang dari pohon Peppertree Brasil. Laporan post-mortem menemukan bahwa mulut, kantung makanan serta perut burung-burung ini penuh dengan berry utuh dan bijinya. Burung-burung ini menjadi mabuk berat karena terus melahap berry yang terfermentasi secara alami sampai kandungan alkohol di livernya mencapai 1.000 ppm.
Buah adalah 84% dari makanan burung waxwing — namun pada musim dingin, mereka tak makan apa-apa lagi selain buah. Karena hanya sedikit buah segar dan matang yang tersedia, apalagi menjelang akhir musim dingin dan awal musim semi, maka burung-burung ini sering menemukan — dan siap menyantap — berry yang terlalu matang, dan membuat mereka mabuk. Burung bukan satu-satunya hewan yang mendapati sayur atau buah terfermentasi di alam liar. Mamalia, khususnya, sering makan buah, sari bunga dan sari buah — yang semuanya kaya gula yang bisa terfermentasi dan memabukkan.
Jika hewan yang mengonsumsi buah-buahan dari hutan bisa mabuk, apakah artinya nenek moyang kita yang dulu hidup di hutan juga merasakan efek alkohol? Apakah alkohol terus ada sepanjang evolusi kita?. Pada 2000, Robert Dudley dari University of California di Berkeley mengajukan gagasan akan adanya kaitan historis antara hewan yang memakan buah dengan tingkat konsumsi alkohol. Hipotesisnya diberi judul unik, "Drunken Monkey Hypothesis" atau Hipotesis Monyet Mabuk.
Di situ Dudley berargumen bahwa nenek moyang kita dikenalkan pada alkohol lewat buah yang terfermentasi, dan inilah yang menjadi dasar kita menyukainya. Buah adalah bagian penting dalam makanan primata selama 45 juta tahun. Meski nenek moyang kita kemudian beralih dari diet berbasis tanaman ke daging sekitar 2,6 juta tahun lalu, mereka tetap makan buah. Sepupu terdekat kita — simpanse — menghabiskan waktu berpesta makan buah sampai sekarang. Primata lain seperti gorilla, orangutan dan owa, juga menikmati buah-buahan.
Buah yang matang kemudian berfermentasi dan busuk karena ragi yang tumbuh di dalam dan pada buah. Ragi memecah gula menjadi alkohol, yaitu ethanol — alkohol yang ada di bir dan wine. Jika semakin banyak sel ragi yang tercipta, maka gula dalam buah menurun dan kadar ethanol meningkat. Pada penelitian yang diterbitkan pada 2002 dan 2004, Dudley melaporkan kandungan alkohol pada buah dari sawit Astrocaryum yang menjadi makanan monyet mengaum berbulu Panama. Buah yang belum matang mengandung 0% ethanol, buah yang matang tapi masih menggantung mengandung 0,6%, buah matang yang jatuh dari pohon mengandung 0,9% dan buah yang menjelang busuk berisi rata-rata 4.5% ethanol (daripada beratnya).
Dalam pandangan Dudley, konsumsi alkohol seperti ini kemungkinan berpengaruh pada evolusi primata pemakan buah selama beberapa juta tahun. Bau ethanol yang mencuat dari buah yang terfermentasi bisa menjadi tanda akan adanya gula di hutan yang luas. Selain itu, ethanol bisa menjadi sumber kalori dan mungkin mengundang nafsu makan. Teori Monyet Mabuk dari Dudley ini mendapat kritikan karena beberapa alasan.
Satu, primata lebih memilih buah yang matang daripada yang busuk. Selain itu kandungan alkohol dari buah yang matang juga kualitasnya buruk, tak cukup untuk membuat mereka "mabuk". Dua, jika mereka mabuk, akan sulit bagi mereka untuk menjaga keseimbangan di pohon, dan berisiko, terutama bagi bayi. Alasan ketiga, kandungan alkohol tinggi serta buah yang rendah kandungannya gulanya akan dihindari oleh primata, bukannya disukai.
Selain itu, kita juga jarang melihat primata yang terlihat mabuk dari buah terfermentasi di alam liar. Namun kritikan ini tak memahami inti teori Dudley. Teori utamanya adalah bahwa kemampuan kita mencerna alkohol berkembang dengan baik karena keterpaparan kita pada alkohol sudah terjadi lebih awal pada nenek moyang kita. Buktinya bisa terlihat pada susunan genetik kita. Penelitian yang diterbitkan pada 2014 melihat evolusi dari enzim alkohol dehidrogenase yang bernama ADH4, salah satu yang memecah alkohol di tubuh kita.
Karena berada di mulut, saluran makanan dan perut, maka ADH4 adalah enzim pertama yang berhadapan dengan alkohol yang kita konsumsi. Matthew Carrigan dari Santa Fe College di Gainesville, Florida, dan timnya menemukan bahwa mutasi genetik dalam evolusi kita di masa lalu membuat ADH40 menjadi 40 kali lebih baik dalam mencerna ethanol. Mutasi ini tak berdampak apa-apa bagi nenek moyang kita pada 10 juta tahun lalu, namun hal ini penting. Karena pada saat itulah nenek moyang kita mengubah cara hidupnya menjadi lebih dekat dengan lahan dan mungkin untuk pertama kalinya menemukan kandungan ethanol dalam buah busuk yang jatuh ke bawah di hutan.
Titik ini dalam masa prasejarah juga bertepatan dengan periode perubahan iklim saat hutan-hutan di Afrika menyusut dan padang rumput meluas. Dalam lingkungan baru, buah segar pun akan lebih sulit didapatkan. Buah yang busuk dan jatuh kadang lebih lama tidak dimakan daripada buah yang segar dan menggantung di pohon, maka mengandung lebih banyak ethanol. Karena terjadi perubahan ke hidup bertani, mencerna ethanol dengan cepat akan menyelamatkan nyawa nenek moyang kita, yang masih menghabiskan separuh waktu mereka memanjat dan berayun dari pohon, sekitar 10 sampai 20 meter di atas tanah, kata Carrigan.
Maka ADH4 yang menggunakan buah-buah yang kaya alkohol akan membantu kita dalam evolusi. Selain itu, kalori dalam alkohol juga akan memberikan energi tambahan yang dibutuhkan oleh kerabat primata kita untuk bergerak di tanah saat tubuh mereka masih terbiasa dengan tinggal di pohon. Mutasi dalam ADH4 juga berarti bahwa enzim pada nenek moyang kita yang lebih kuno dan terbiasa tinggal di pohon sekitar 40 juta tahun lalu juga buruk dalam mencerna ethanol — "sangat buruk", kata Carrigan.
ini kemudian memunculkan pertanyaan, jika kemampuan ADH4 dalam menangani alkohol tiba-tiba meningkat pesat pada 10 juta tahun lalu, kenapa enzim itu ada? "ADH4 dalam nenek moyang jauh kita sekitar 40 juta tahun lalu, sangat bagus dalam melakukan metabolisasi alkohol lain bernama geraniol," kata Carrigan.
"Dan ternyata geraniol bukan satu-satunya alkohol yang bisa dimetabolisasi dengan baik oleh ADH4 kuno. Enzim ini juga bisa memetabolisasi alkohol cinnamyl, coniferyl dan anisyl. Alkohol-alkohol ini punya struktur yang mirip, ketiganya adalah alkohol hidrofobik, dan seperti namanya, ditemukan dalam geranium, kayu manis, tumbuhan runjung dan pekak."
Alkohol tersebut bisa berbahaya jika dikonsumsi dalam jumlah tinggi, dan diproduksi oleh tanaman agar hewan tak memakani daun-daunnya. "Ini masuk akal karena nenek moyang kita yang hidup di pohon 40 juta tahun lalu makan daun (dan buah). Maka kemampuan untuk melakukan metabolisme pada zat kimia di daun tentu akan menjadi keuntungan besar," kata Carrigan. Keterpaparan pada ethanol akan menjadi minim bagi nenek moyang ini karena mereka mendapat buah yang tak terfermentasi, katanya.
Jutaan tahun kemudian, ketika ADH4 bertemu dengan ethanol dalam jumlah besar di buah yang terfermentasi, enzim itu beradaptasi dengan mencerna alkohol dengan baik. "Enzim ini berubah dari melakukan metabolisasi ethanol dengan sangat lambat menjadi enzim yang memetabolisasi ethanol 40 kali lipat lebih efisien," kata Carrigan.
Semua ini karena satu perubahan kecil dalam enzim. Perubahan dalam ADH4 yang terjadi 10 juta tahun lalu ini memungkinkan nenek moyang terakhir yang sama antara manusia, simpanse dan gorilla untuk memproses ethanol. Temuan ini tentu mendukung bagian penting dalam teori Dudley bahwa kecenderungan kita menjadi alkoholik berasal dari nenek moyang kita yang memakan buah. Temuan ini juga menghapus gagasan bahwa kecintaan manusia akan alkohol baru-baru saja terjadi, sekitar 9.000 tahun lalu, saat manusia pertama memproduksi minuman beralkohol dari gandum, madu dan buah.
Beberapa penelitian lain secara tidak langsung juga mendukung ide Dudley. Contohnya, pada 2015, dalam penelitian jangka panjang yang berlangsung 17 tahun, dilaporkan bahwa simpanse liar minum getah pohon yang terfermentasi. Di desa Bossou di Guinea, Afrika Barat, penduduk setempat mengambil tunggul bunga dari pohon palem rafia yang sudah matang dan menaruh penadah untuk mengumpulkan getahnya atau nira yang menetes dari situ. Getah bergula itu kemudian berfermentasi dan menjadi alkohol, yang menjadi minuman populer di kalangan warga setempat.
Minuman ini dikenal dengan nama anggur palem atau tuak nira. Rata-rata tuak mengandung 3,1% ethanol (per volume) tapi bisa mencapai 6,9% tergantung dari berapa lama tuak tersebut berfermentasi. Tuak yang sedang berfermentasi itu kemudian menarik perhatian simpanse yang tinggal atau mencari makan di sekitar situ. Tamu yang tak diundang itu kemudian mengambil minuman, antara satu orang menguasai wadah penampung atau ada dua teman minum yang saling bergantian meneguk tuak, sambil yang satunya menunggu.
Untuk mengambil tuak tersebut, simpanse menggunakan alat: mereka mengunyah sedikit daun dalam mulut, mencelupkan daun itu ke tuak lalu menaruhnya dalam mulut mereka untuk diperas, seperti spons. Dengan cara ini, tuak diminum oleh simpanse tua dan muda, jantan dan betina -- dan mereka datang kembali untuk minum lagi. Beberapa sampai mabuk. Kimberley J. Hockings dari Oxford Brookes University di Inggris, menulis email dari Guinea-Bissau, bahwa meski dia tak secara resmi mencatat efek perilaku akibat alkohol, namun dia mencatat adanya tanda-tanda mabuk: simpanse yang berbaring atau menjadi kasar setelah minum terlalu banyak.
Simpanse tak bisa mengambil getah palem itu sendiri: mereka bergantung pada wadah pengumpul nira yang disiapkan oleh penduduk desa. Namun penelitian menunjukkan bahwa mereka siap minum nira tersebut ketika sudah siap -- dan simpanse seringnya pemilih saat mencoba makanan baru. Mereka juga meminum tuak nira tersebut berulangkali dalam jumlah banyak, yang artinya ini bukan kesengajaan, tapi konsumsi yang direncanakan dan merupakan kebiasaan.
Tapi perilaku ini jarang terjadi, karena hanya ada 50% pada populasi simpanse di Bossou. 13 simpanse lainnya tak meminum tuak nira tersebut, meski minuman tersebut tersedia sepanjang tahun. Penelitian ini tidak menguji ide Dudley. Apakah simpanse tersebut menggunakan indera penciuman untuk mencari tuak atau mendapat keuntungan nutrisi dari meminumnya, hal itu tidak terjawab. Namun ini membenarkan bahwa simpanse liar tidak benci pada alkohol. Simpanse, seperti manusia, memiliki enzim ADH4 dalam bentuk yang efisien untuk mencerna alkohol, meski bervariasi di populasi.
Ini karena kita mewarisi pengkodean gen yang termodifikasi untuk formula enzim yang lebih cepat dari nenek moyang kita dulu. Namun ada satu primata jauh yang memiliki mutasi ADH4 yang sama, meski garis keturunannya berbeda dengan kita. Aye-aye terpisah dari cabang pohon evolusi primata sekitar 70 juta tahun lalu. Kita tidak tahu kapan mereka mendapat mutasi ADH4 yang sama dengan kita, namun faktanya, aye-aye modern memiliki petunjuk ke masa lalu, saat hewan-hewan ini terpapar pada alkohol. Menurut Carrigan, yang melakukan penelitian terhadap enzim ADH4, jika ini benar terjadi, maka aye-aye juga minum alkohol di alam liar sampai sekarang.
Bukti tidak langsung menunjukkan bahwa mungkin memang begitu. Penelitian pada 2016 membenarkan bahwa dua aye-aye dalam penangkaran minum alkohol. Aye-aye adalah primata kecil yang kelihatan aneh dengan jari tengah kurus yang panjangnya tak biasa. Jari ini mereka gunakan untuk mencari dan menangkap makanan di hutan. Namun pada musim hujan, aye-aye menghabiskan 20% waktu makan mereka untuk minum sari bunga dari palem traveller atau pisang kipas. Jari tengah aye-aye yang panjang juga membantu dalam mencari dan mengambil sari bunga.
Sari bunga yang terdapat dalam mahkota dan bunga di tanaman pisang kipas ini berfermentasi. Meski kandungan alkohol ini belum dipastikan, namun sarinya mirip dengan palem lain: palem bertam. Sari bunga bertam mengandung 3,8% alkohol lewat fermentasi alami lewat ragi. Aromanya kuat dan diminum oleh tupai pohon dan tupai ekor bulu serta loris, selain juga mamalia lainnya.
Samuel R. Gochman, mahasiswa di Dartmouth College di Hanover, New Hampshire, dan timnya menawarkan pilihan minuman pada aye-aye, antara makanan cair yang terbuat dari air gula dan alkohol dalam berbagai kosnetrasi (0 sampai 5%). Dua aye-aye dalam penangkaran bisa membedakan antara makanan alkohol yang berbeda. Mereka lebih memilih minum dari wadah yang berisi dosis alkohol yang lebih tinggi atnara 3 dan 5% daripada yang hanya 1% dan tanpa alkohol. Saat wadah berisi alkohol yang lebih tinggi sudah habis isinya, aye-aye terus-terusan mencelupkan dan menjilati jarinya. "Ini menunjukkan bahwa mereka benar-benar menyukai konsentrasi itu," kata Gochman.
Namun hewan-hewan ini tidak menunjukkan tanda-tanda mabuk, karena kemampuan mereka mencerna alkohol dari enzim ADH4 yang super efisien. "Seleksi alam akan menyukai kemampuan spesial itu karena memungkinkan hewan-hewan ini mangakses kalori yang biasanya akan menjadi beracun bagi hewan lain. Organisme tersebut akan menghindari alkohol karena bisa mempengaruhi penilaian dan merupakan racun kimiawi," kata Gochman.
Tak seperti aye-aye, simpanse dan manusia, dan hewan lain yang mengkonsumsi ethanol tak memiliki ADH4 dengan versi ethanol yang aktif. Contohnya tupai pohon yang minum dari palem bertam. Konsumsi alkohol mereka terbilang berisiko. Bagaimana mereka menguranginya? Kita tidak tahu. Apapun yang memungkinkan hewan-hewan ini mentoleransi efek alkohol, namun kita tersadar bahwa kita mungkin bukan satu-satunya yang biasa minum. Dan meski sebagian dari kita tak pernah minum alkohol, namun nenek moyang kita adalah peminum. (*)
Tags : Minuman Berakohol, Minol, RUU Minol, Pelaranagan Minol Dikritik,