Linkungan   24-05-2025 20:56 WIB

SALAMBA: One Map Policy Dinilai Bisa Bereskan Kisruh Sawit dalam Kawasan Hutan

SALAMBA: One Map Policy Dinilai Bisa Bereskan Kisruh Sawit dalam Kawasan Hutan
Ir Marganda Simamora SH M.Si, Ketum Yayasan Sahabat Alam Rimba (SALAMBA)

PEKANBARU - Yayasan Sahabat Alam Rimba (SALMBA) menilai, salah satu penyebab Perpres 5/2025 menuai kontroversi adalah karena banyaknya lahan sawit yang berada dalam kawasan hutan.

"Kebijakan Satu Peta bisa bereskan kisruh sawit dalam kawasan hutan."

"Penetapan kawasan hutan tidak boleh dilakukan sepihak. Harus ada legitimasi dari berbagai pihak, termasuk masyarakat, agar tidak menimbulkan konflik sosial."

"Konsultasi publik perlu digencarkan agar kebijakan ini tidak menimbulkan gejolak di lapangan," kata Ir Marganda Simamora SH M.Si, Ketum SALAMBA dalam keterangannya, kemarin.

Menurutnya, penyitaan lahan dikawasan harus melalui proses peradilan dan inkrah bisa saja melalui gugatan perdata legal standing atau melalui proses hukum yang memiliki ketetapan dari pengadilan agar tidak menjadi masalah di kemudian hari.

"Khusus untuk hutan lindung/konservasi, margasatwa kami meminta di ambil alih oleh negara dan kemudian setelah satu daur kemudian di rehabilitasi untuk kembali ke fungsi awal," sebutnya.

Data KLHK mencatat 3,3 juta hektare kebun sawit di Indonesia masih berstatus dalam kawasan hutan, sehingga berisiko dianggap ilegal jika tidak segera ditata.

"Yang jadi masalah, penetapan status kawasan itu dilakukan berdasarkan peta yang belum dikukuhkan," kata dia.

Menurut Ganda Mora (sebutan nama sehari harinya) ini, penggunaan peta kawasan hutan yang belum dikukuhkan secara resmi justru memperkeruh keadaan.

Dia mengakui bahwa Perpres 5/2025 memiliki niat baik untuk menertibkan kawasan hutan, tetapi regulasi dalam Undang-Undang Cipta Kerja sebenarnya sudah mengatur soal sanksi administratif bagi perkebunan sawit yang terlanjur masuk kawasan hutan melalui Pasal 110A dan 110B.

"Ini harus menjadi win-win solution. Jangan sampai hanya karena ada perpres, lahan sawit yang telah lama dikelola masyarakat langsung dikuasai negara tanpa mekanisme yang jelas," tandasnya.

Dia menilai solusi terbaik untuk menyelesaikan persoalan kawasan hutan adalah dengan menerapkan One Map Policy atau Kebijakan Satu Peta.

"Kebijakan One Map Policy yang dicanangkan pemerintah terdahulu harus dipaksakan untuk segera diselesaikan. Sehingga acuannya hanya satu peta dan semua pihak sepakat. Saat ini, Kementerian Kehutanan punya peta sendiri, Kementerian Transmigrasi juga punya peta sendiri," kritiknya.

Dengan adanya satu peta yang resmi dan diakui semua pihak, tidak ada lagi tumpang tindih data yang menyebabkan kebingungan serta konflik kepentingan antar lembaga dan pemangku kebijakan.

Jika One Map Policy benar-benar diterapkan, penertiban kawasan hutan diharapkan lebih transparan, adil, dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak. Namun, jika tidak, Perpres 5/2025 bisa menjadi sumber konflik baru yang berpotensi memicu gesekan antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat sekitar, tutupnya.

Dewan akan temui  Menlhk

Untuk di Provinsi Riau sendiri terdapat 130 ribu hektare kebun sawit yang masuk pada kawasan hutan.

DPRD Provinsi Riau berencana menemui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Raja Juli Antoni, guna membahas usulan pemutihan kawasan hutan yang masuk dalam draf Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Riau.

"Latar belakang Menteri LHK sendiri sebagai putra daerah Riau menjadi harapan tersendiri agar aspirasi masyarakat lebih mudah diterima pemerintah pusat."

"Pak Raja Juli Antoni itu orang Riau, jadi kami harap ini bisa jadi pintu untuk memperlancar komunikasi. Kita akan bersama-sama menghadap beliau,” kata Anggota Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Riau, Suyadi pada wartawan, Jumat (23/5).

Suyadi menjelaskan bahwa Pemprov Riau dan DPRD telah mengajukan usulan pemutihan terhadap kawasan hutan seluas sekitar 130 ribu hektare, yang tersebar di sejumlah kabupaten dan kota.

Lahan-lahan tersebut, menurutnya, selama ini telah dikuasai dan dimanfaatkan oleh masyarakat secara turun-temurun. Oleh karena itu, pelepasan status kawasan dinilai penting untuk memberi kepastian hukum dan memperkuat hak atas tanah bagi warga yang telah lama tinggal dan bercocok tanam di sana.

“Yang kita perjuangkan ini lahan milik masyarakat, bukan korporasi. Warga sudah tinggal di sana puluhan tahun dan menggantungkan hidup dari lahan tersebut. Statusnya harus segera diperjelas,” sebutnya.

Pemutihan kawasan hutan menjadi bagian krusial dalam proses pembaruan RTRW Riau. Tanpa kejelasan status kawasan, penetapan tata ruang dinilai berisiko melanggar hukum dan tidak sesuai dengan kondisi faktual di lapangan.

Suyadi berharap, pertemuan dengan Menteri KLHK dapat segera dijadwalkan, agar proses pembahasan Ranperda RTRW tidak kembali tertunda.

“Kita ingin perda ini cepat rampung agar manfaatnya segera dirasakan masyarakat. Kepastian tata ruang juga akan berdampak pada pembangunan daerah secara menyeluruh,” tutupnya. (*) 

Tags : sahabat alam rimba, yayasan salamba, one map policy, kisruh sawit dalam kawasan hutan, one map policy bereskan kisruh sawit, lingkungan, alam ,