LINGKUNGAN - Di tengah perubahan iklim, mangrove memegang peranan yang penting untuk menyerap dan menyimpan emisi karbon.
"Indonesia sendiri memiliki 3,3 juta hektare mangrove, namun belum semuanya dilindungi."
"Sisanya, 40% atau 777.719 hektare, berada di luar kawasan hutan sehingga rentan untuk dibongkar dan dialihfungsikan," kata Ir Marganda Simamora SH M.Si dari Yayasan Sahabat Alam Rimba [SALAMBA], Sabtu.
Menurutnya, saat ini hanya 60% atau 2,53 juta hektare mangrove dilindungi di Indonesia karena berada di dalam area konservasi.
Ganda Mora [sebutan nama kesehariannya] mengatakan, saat ini pemerintah memiliki program untuk rehabilitas mangrove seluas 600.000 hektare di sembilan provinsi, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hingga saat ini terdapat 130.000 hektare yang telah direhabilitasi.
“Pemerintah juga harus membuat target bagaimana melindungi mangrove. Ini juga penting untuk melindungi mangrove hasil rehabilitasi agar tidak rusak kembali, serta mangrove di luar kawasan,” katanya.
Data KLHK mengungkap terdapat 637.000 hektare lahan kritis mangrove di Indonesia.
Di sisi lain, pemerintah juga harus memperluas cakupan wilayah rehabilitasi.
Aturan yang ada saat ini hanya memasukkan sembilan provinsi sebagai lokasi target, yakni Sumatra Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua, dan Papua Barat.
"Artinya, lokasinya belum menyeluruh."
“Wilayah seperti Sumatra Selatan, misalnya, memiliki mangrove ratusan ribu hektare tapi nggak masuk jadi target,” kata Ganda.
Dia mencatat, berdasarkan data kementerian tersebut, 80% potensi mangrove untuk rehabilitasi berada di wilayah tambak.
“Kalau tidak concern ke sana, target 600.000 hektare tidak akan tercapai,” sebutnya.
Untuk menangani mangrove yang telah dikonversi menjadi tambak udang dan ikan, kementerian terkait harus bekerja, termasuk KLHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian Dalam Negeri.
Pemerintah pusat pun harus bekerja sama dengan pemerintah daerah.
“Harus ada aksi perlindungan dari pemerintah daerah, karena mangrove yang tidak dilindungi berada dalam wewenang mereka,” kata Ganda.
Banyak opsi yang dapat dieksplorasi terkait perlindungan mangrove di daerah-daerah. Misalnya dengan mengurangi area produksi di lahan mangrove dan memperbanyak area lindung, atau dengan mekanisme perhutanan sosial untuk target ekonomi masyarakat dan perlindungan.
Aktivis lingkungan itu mengatakan, terdapat potensi konflik ketika pemerintah melakukan rehabilitasi di lahan kritis mangrove yang dikonversi menjadi tambak.
Menurutnya, pertambakan di Indonesia telah ada sejak zaman Majapahit, dan kemudian semakin masif saat krisis moneter 1998.
Saat itu banyak hutan mangrove dibongkar untuk bisnis udang karena profitnya besar.
“Artinya kita berhadapan dengan masyarakat sebagai 'pemilik' lahan,” katanya.
Terkait mangrove yang telanjur dibongkar untuk tambak, Ganda merekomendasikan pemerintah untuk meminta petambak melakukan budidaya mangrove melalui silvofishery.
Artinya di pematang dan bagian tengah tambak ditanami mangrove, termasuk menghijaukan sempadan sungai dan pesisir sekitar.
"Pemerintah harus berani memulai aksi ini," pintanya.
Selain itu terjadinya konflik kepentingan di wilayah pesisir Indonesia, Pemerintah sudah menggelontorkan dana reboisasi mangrove hingga triliunan rupiah, tetapi disisi lain terjadi perusakan mangrove terutama hutan bakau di ekploitasi untuk bahan baku arang.
Selain itu dijadikan penangkaran tambak ikan, tanpa pengawasan dan evaluasi, sehingga dana yang digelontorkan sangat besar tersebut 'sia-sia' dan mubajir.
"Di berbagai daerah seperti Riau meliputi [Dumai, Bengkalis, Rokan Hilir, Meranti, Indragiri Hulu] dan kawasan Riau Kepulauan sebagian besar kawasan mangrove sudah rusak dan terjadi abrasi pantai yang cukup panjang, artinya perlu management seperti KPH khusus untuk kawasan hutan manggrove dan bila ingin dikelola harus ada perizinan seperti HPHTI mangrove atau sejenisnya," ungkapnya.
Jadi menurutnya lagi, ada beberapa potensi lahan yang dapat masuk ke dalam percepatan program rehabilitasi tersebut.
Salah satunya adalah tanah timbul yang terdapat di berbagai muara sungai besar di banyak wilayah Indonesia, seperti Sulawesi Barat, pantai timur Sumatra, dan Jawa.
Dalam tiga tahun tanah ini biasanya ditumbuhi mangrove secara alami dan lebat hingga dalam lima tahun.
Berdasarkan pengamatannya, tanah timbul banyak terdapat di pantai timur Sumatra. Ini terbentuk di muara sungai akibat abrasi di hulu sungai lalu mengendap di muara.
“Tanah-tanah ini harus segera ditetapkan peruntukannya, sebelum dijarah,” ujarya.
Potensi berikutnya adalah pulau-pulau yang terbentuk akibat cabikan atau aktivitas satwa liar. Ini terdapat seperti di Riau dan Riau Kepulauan.
Menurut pengakuan masyarakat, cabikan daratan kecil ini kemudian membentuk pulau besar dan terapung di tengah laut serta membawa bibit mangrove.
“Kalau kita datang ke sana, di sepanjang aliran laut yang lebar banyak dijumpai pulau kecil terapung dengan luas 5-10 hektare,” kata Ganda.
Dia juga mengatakan, pemerintah harus segera mengidentifikasi dan menetapkan status tanah timbul maupun pulau cabikan ini.
“Cukup menetapkan peruntukan atau status legalnya, maka secara otomatis menambah luas mangrove untuk program rehabilitasi,” kata Ganda.
Tantangan berikutnya, menurut Ganda banyak juga lahan mangrove yang dikonversi menjadi kelapa sawit. Di Riau misalnya, banyak praktik pelanggaran yang menanami tanaman monokultur ini di sempadan sungai. (*)
Tags : Sahabat Alam Rimba, SALAMBA, aktivis khawatir mangrove, riau, mangrove dilindungi, perpres 120 tahun 2020, Lingkungan, Alam,