RIAUPAGI.COM, AGAMA - Sebuah masjid kuno di kota Solo, Jawa Tengah, yang berusia dua abad lebih, menggelar salat tarawih 11 dan 23 rakaat sekaligus — sebuah semangat menyatukan dua tradisi atau aliran yang dulu pernah tidak sejalan. "Niat ingsun poso... — saya niat puasa... Suara-suara dari masa lalu ini menggema dari Masjid Agung di Kota Solo, Jawa Tengah, awal Ramadan lalu."
Dengan menggunakan bahasa Arab dan Jawa, imam masjid membimbing jemaah salat tarawih untuk mendaras doa niat puasa. Inilah penutup dari salat tarawih malam itu. Masjid yang terletak di Kampung Kauman, Pasar Kliwon, Solo, yang merupakan saksi bisu penyebaran Islam di kota itu, memang sejak awal tidak terlalu kaku dalam menafsirkan dan mempraktikkan ritual ibadah.
Hal itu terlihat mencolok setiap Ramadan tiba. Masjid tersebut memfasilitasi umat Muslim yang ingin salat sunnah tarawih berjamaah sebanyak 11 rakaat dan 23 rakaat secara sekaligus. Pengelola masjid menyediakan dua orang imam untuk memimpin 'dua cara' salat tarawih tersebut — sebuah ketidaklaziman mengingat kebanyakan masjid di Indonesia cenderung memilih salah satu aliran. "Masjid Agung posisinya memfasilitasi semua [dua aliran] karena kita kembali ke pranata lama keraton itu bisa memfasilitasi semua jemaat," kata Ketua Takmir Masjid Agung Solo, Mohammad Muhtarom dirilis BBC News Indonesia.
Masjid — yang dulu bernama Masjid Ageng Keraton Hadiningrat — ini, memang, tak terlepas dari sejarah perjalanan Keraton Kasunanan Surakarta. Beberapa catatan melaporkan, masjid ini dibangun oleh Pakubuwono III sekitar tahun 1749. Sejak Muhtarom mulai beraktivitas di masjid itu pada 1985, gelaran tarawih yang menyatukan dua aliran itu sudah dipraktekkan.
Bagaimana awal mula masjid 'menyatukan' dua aliran?
Awalnya, seingatnya, masjid yang kala itu dianggap sebagai pusat keagamaan di keraton, menggelar tarawih 20 rakaat dan tiga rakaat salat sunah witir. "Dalam perkembangannya, jumlah rakaat mengalami perubahan," ujarnya.
Dalam tradisi di Indonesia, tata cara salat tarawih delapan rakaat biasanya identik dengan organisasi Muhammadiyah. Sebaliknya, praktek tarawih 20 rakaat dilekatkan kepada organisasi Nahdlatul Ulama yang juga memiliki alasan di baliknya. "Dinamika yang muncul kemudian, yang dilatari masalah sosial-kultural, kemudian mengalami pergeseran [menjadi delapan rakaat]," jelas Muhtarom. "Terjadi perdebatan di situ."
Ketika dihadapkan perselisihan seperti itu, lanjutnya, pengelola masjid memutuskan untuk "tidak masuk ke dalam perdebatan". "Karena itu masalah furu'iyah (perbedaan pada hal yang tidak penting) interpretasi sebuah hadis yang sama," ujarnya.
Dihadapkan persoalan pelik seperti itu, pihak keraton yang saat itu masih menaungi masjid, memilih untuk berusaha menyatukannya. "Maka kami memfasilitasi semuanya. Azan Isa berkumandang dari alat pengeras suara masjid, dan peserta salat berduyun-duyun masuk ke dalam. Usai salat Isa, sang Imam kemudian memimpin salat Isa dan salat tarawih delapan rakaat dan tiga rakaat salat witir. Imam itu akan mundur dan digantikan oleh imam lainnya untuk menyelesaikan salat witir sebagai penutup salat tarawih delapan rakaat. Kelompok yang sudah selesai tarawih delapan rakaat lantas meninggalkan masjid," kata salah-seorang diantaranya Dian Wahyu Permadi, warga Solo.
"Kalau 11 rakaat 'kan lebih pendek," kata Dian saat ditanya alasannya memilih jumlah rakaat itu. Dia memilih rakaat yang lebih pendek, lantaran ada acara pada pukul 20.30 WIB yang harus dia datangi.
"Nanti kalau tidak ada acara, mungkin saya pilih yang 21 rakaat," tambahnya, sambil tertawa ringan.
Dian mengaku tumbuh dalam tradisi Nadhlatul Ulama (NU) melalui orang tuanya. Namun dia menyebut dirinya "netral, tidak ikut kelompok sana atau sini". 'Nanti kecapekan, bacaannya panjang'. Sikap serupa juga ditunjukkan Dwi Bayu Wijanarko, warga Sukoharjo. Dia mengaku besar dalam tradisi NU, tapi memilih salat tarawih delapan rakaat. "Kalau ikut yang 23 rakaat nanti kecapekan 'kan bacaannya tambah panjang sampai satu juz lebih," ujar Dwi Bayu. Dia mengutarakannya sambil terkekeh.
Malam itu merupakan pengalaman pertamanya mengikuti salat tarawih di masjid kuno itu. "Tadi ikut yang 11 rakaat juga lumayan (lama)". Pada ramadan sebelumnya, Dwi mengaku rajin mengikuti salat tarawih 23 rakaat di masjid di dekat rumahnya di Sukoharjo. "Tapi di sana bacaan surat-suratnya lebih pendek dan cepat," katanya.
Namun sambung Bayu, dirinya tertantang untuk mencoba tarawih 23 rakaat di Masjid Agung yang biasanya selesai pada pukul 21.00 WIB. "Besok-besok saya ingin mencoba ikut yang 23 rakaat di Masjid Agung," ujarnya, setengah berharap.
Warga Muhammadiyah: 'Ini pengalaman pertama salat 23 rakaat'
Pengalaman serupa juga dialami Uul Jihadat. Pria asal Yogyakarta itu rela datang ke Masjid Agung untuk bisa mengikuti salat tarawih 11 rakaat. Hanya saja ia datang terlambat sehingga tidak bisa mengikuti salat tarawih sejak rakaat awal sehingga mau tidak mau harus mengikuti salat tarawih sebanyak 23 rakaat. "Tadi saya ikut yang bisa dibilang 'kloter' kedua, ya, karena saya tahu di sini Masjid Agung Solo ada dua sesi [salat tarawih]. Kebetulan saya tadi sampai sini pas yang 11 rakaat selesai witir, jadi ikut yang 23 rakaat, padahal inginnya ngejar yang 11 rakaat," akunya.
Bagi Uul, mengikuti salat tarawih 23 rakaat di Masjid Agung merupakan pengalaman pertama dan sangat berkesan. Sebagai orang yang besar dari keluarga Muhammadiyah, ia mengaku selama ini selalu melaksanakan salat tarawih dengan jumlah 11 rakaat. "Selama ini ikutnya selalu 11 rakaat, tapi kali ini ikut 23 rakaat dengan bacaan satu juz. Dan ini kali pertama, surprise sekali ikut yang 23 rakaat," ucapnya.
Apa komentar jemaah atas praktik tarawih dua tradisi itu?
Ketika imam memimpin salat witir sebagai penutup salat tarawih delapan rakaat, sebagian peserta salat memilih duduk. Mereka inilah yang akan melanjutkan tarawih 20 rakaat. Mereka kemudian maju ke barisan saf depan. Otomatis jumlah jemaahnya pun berkurang dan tinggal tiga saf alias baris. Iqbal Albani, warga kota Tegal, adalah salah-seorang diantaranya. "Saya dari dulu, dari keluarga dan lingkungan, melakukan 20 rakaat. Ini kepercayaan kami," kata Iqbal.
Apakah Anda tidak letih dengan jumlah rakaat yang banyak? "Karena ini hubungan dengan Tuhan, Insya Allah tidak capek," ujarnya.
Terkait pilihan jemaah lainnya yang melakukan delapan rakaat, Iqbal menilai itu bukanlah masalah dan dia menghormatinya. "Ini sebuah toleransi, positif, saling menghormati, tanpa ada yang menjatuhkan."
Di sinilah, Iqbal menaruh hormat kepada pengelola masjid yang memberi tempat kepada keduanya. Adapun jemaah lainnya, Dwi Bayu Wijanarko mengaku takjub dengan keputusan takmir Masjid Agung Solo yang memfasilitasi pelaksanaan tarawih dua tradisi. Dia mengaku sudah lama mengetahui praktek seperti itu. Itulah sebabnya dirinya memutuskan jauh-jauh datang dari Sukoharjo ke Masjid Agung untuk bisa merasakan suasana kerukunan tersebut. "Ya, memang bagus sih karena jemaah bisa memilih mau ikut yang 11 atau 23 rakaat. Terus di sini juga para jemaahnya rukun dan saling menghormati meskipun berbeda jumlah rakaat tarawihnya," ungkapnya.
Ketua Takmir Masjid Agung Solo, Mohammad Muhtarom, mengatakan, selama ini pelaksanaan salat tarawih 11 dan 23 rakaat sekaligus, tidak menimbulkan masalah. "Di situ secara dhohiriyah (terlihat dari luar) tampak harmonis, walaupun berbeda pemahaman," ujarnya.
Dengan demikian, praktik salat tarawih yang menggabungkan dua tradisi itu dapat dijadikan contoh bagi masyarakat "untuk terbiasa melihat perbedaan". "Jangan apriori terhadap perbedaan karena perbeedaan itu sebuah keniscayaan," ujar Muhtarom.
Dahulu kala perbedaan tata cara salat tarawih — dalam beberapa kasus — bisa menimbulkan persoalan di antara para penganutnya. Dalam perkembangannya, kasus-kasus seperti ini nyaris tidak pernah dijumpai lagi. Namun demikian, menurut pegiat Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Ahmad Nurcholish, praktik tarawih bersama yang menggabungkan dua tradisi penting untuk menunjukkan sikap beragama yang cair dan tidak kaku. "[Jumlah rakaat tarawih] Ini perbedaan yang bukan pokok (furu'iyah), jadi sangat dimungkinkan, karena secara dalil Nabi Muhammad dulu mempraktikkan [rakaat salat tawarih] beragam," kata Nurcholish.
"Adakalanya Nabi Muhammad melakukan 11 rakaat, adakalanya 23 kali. Jadi semua ada dalil hukumnya," tambahnya.
Secara konsisten, para penganut masing-masing kemudian melakukan ibadah sesuai tafsirnya masing-masing. Tetapi belakangan, kata Nurcholish, muncul 'model beragama' yang disebutnya 'lintas mazhab'. "Jadi lebih fleksibel," katanya.
Dia kemudian mencontohkan dirinya sendiri. Tumbuh dalam tradisi NU, Nurcholish akan enteng hati melakukan salat tarawih dengan 11 rakaat saat salat berjamaah dengan teman-temannya yang berlatar Muhammadiyah. "Itu yang disebut generasi hybrid," ujarnya. "Mereka cair sekali, lebih fleksibel. Baginya, sikap beragama yang tidak kaku seperti itu — termasuk salat tarawih 'dua mazhab' di Masjid Agung Solo — "penting".
"Itu bisa menjadi pintu bagi adanya interaksi, dialog dan saling memahami antar berbagai mazhab di dalam Islam," paparnya menambahkan sehingga, bisa mengurangi model beragama yang "takfiri" — saling mengkafirkan. (*)
Tags : Ramadhan, Salat Tarawih, Masjid Kuno yang Menyatukan Dua Tradisi ,