PEKANBARU - Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) melakukan langkah tegas dengan menyegel 14 perusahaan perkebunan kelapa sawit milik Surya Dumai Group/First Resources Group yang beroperasi di kawasan hutan di Provinsi Riau.
"Satgas PKH belum sepenuhnya optimal segel 14 kebun sawit milik Surya Dumai Group."
"Penegakan hukum yang efektif menjadi kunci keberhasilan Satgas PKH yang dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku untuk menjaga kekayaan negara dari penyalahgunaan kawasan hutan. Jadi kita hormati proses hukumnya," kata Larshen Yunus Ketua Umum (Ketum) Relawan Gabungan Rakyat Prabowo Gibran (GARAPAN). Senin (22/9).
Larshen menilai, penegakan hukum yang efektif menjadi kunci keberhasilan Satgas PKH, namun prosesnya mungkin saja dapat menemui hambatan di lapangan.
Namun Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik (HMPP) Satya Wicaksana ini mengakui, perlunya ketegasan dan keseriusan pemerintah dalam menertibkan para pelaku perambahan hutan.
Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, membenarkan bahwa 14 kebun sawit milik Surya Dumai Group disegel Satgas PKH.
"Informasi dari Tim PKH, membenarkan bahwa lahan yang dikuasai perusahaan-perusahaan tersebut merupakan target penguasaan kembali oleh negara melalui Tim PKH," ujar Harli Siregar yang mengaku saat ini semua sedang dalam proses sedang berjalan.
Harianto Tanamoeljono, Direktur Umum PT Surya Dumai Group dikonfirmasi belum bisa menjawab. Tetapi Suparman Komisaris SDG pada menit terakhir ini menjawab melalui ponselnya menyebutkan, perusahaan menyerahkan sepenuhnya proses hukum (Satgas PKH).
Suparman membantah lahan yang disita Satgas PKH tidak lah sampai ratusan ribu hektar, "pada masing-masing lahan perusahaan yang disegel paling ada 20-30 hektar yang mungkin setelah dikaji masuk pada kawasan hutan," sebutnya singkat.
Langkah tegas Satgas PKH ini mendapat apresiasi dari berbagai pihak, termasuk Larshen Yunus yang juga sebagai Ketua DPD I KNPI Riau ini.
"Kita apresiasi Satgas PKH yang telah menjalankan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan tanpa pandang bulu," sebutnya.
"Langkah ini membuktikan bahwa hukum ditegakkan, terutama terhadap perusahaan perkebunan di bawah First Resources Group atau Surya Dumai Group yang telah lama diduga melanggar aturan,” ujarnya.
First Resources Group merupakan salah satu produsen minyak sawit terbesar di Asia Tenggara dengan lebih dari 200.000 hektare perkebunan di Riau, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat.
Perusahaan ini terdaftar di Bursa Efek Singapura sejak 2007 dan dikendalikan oleh keluarga Fangiono.
Namun, di balik pencitraannya sebagai perusahaan publik, First Resources Group menyimpan rekam jejak panjang terkait dugaan pelanggaran hukum.
Berdasarkan dokumen investigasi yang diperoleh dari Greenpeace, First Resources merupakan anak perusahaan (spin-off) dari PT Surya Dumai Industri Tbk, perusahaan yang didirikan oleh Martias Fangiono—ayah dari Ciliandra Fangiono, CEO First Resources.
Pada 2007, Martias terjerat kasus korupsi terkait pembukaan lahan ilegal untuk perkebunan sawit. Pengadilan menjatuhkan hukuman 1,5 tahun penjara dan denda Rp346 miliar. Akibatnya, Surya Dumai Industri dinyatakan bangkrut dan didepak dari Bursa Efek Indonesia.
Namun, di tahun yang sama, keluarga Fangiono segera menyelamatkan aset Surya Dumai dengan mendirikan First Resources di Singapura dan mencatatkannya di bursa saham.
"Meskipun secara administratif First Resources dan Surya Dumai Group terlihat terpisah, investigasi mendalam menunjukkan adanya keterkaitan erat antara First Resources dengan berbagai entitas lain, seperti kelompok CAA dan FAP Agri," ungkap Larshen.
Dalam operasi terbarunya, Satgas PKH dikabarkan telah menyegel 14 anak perusahaan First Resources Group/Surya Dumai Group karena beroperasi di kawasan hutan di Provinsi Riau.
Beberapa di antaranya diduga kuat tidak memiliki izin pelepasan kawasan hutan maupun izin Hak Guna Usaha (HGU). Berikut beberapa temuan utama dari penyelidikan:
Tetapi Larshen Yunus, Direktur Kantor Hukum Mediator dan Pendampingan Publik (HMPP) Satya Wicaksana ini kembali menyebutkan, bahwa penegakan hukum oleh Satgas PKH memang perlu lebih tegas terhadap pelanggaran yang terjadi.
Mereka menekankan bahwa Satgas PKH mengutamakan pemulihan kawasan hutan melalui penguasaan kembali oleh negara dan pengembalian keuntungan ilegal kepada negara, dan tidak hanya berfokus pada pidana.
Jika terdapat ketidakkooperatifan atau hambatan, penyelesaian dapat ditingkatkan ke pidana, termasuk melalui UU Korupsi dan TPPU.
Menurutnya, Satgas PKH bertugas mengembalikan kawasan hutan yang dikuasai secara ilegal kepada negara.
Para pelaku pelanggaran akan diwajibkan mengembalikan seluruh keuntungan yang diperoleh secara tidak sah. Jika pelaku tidak kooperatif atau menghambat implementasi kebijakan, penegakan hukum pidana dapat dilakukan, termasuk melalui undang-undang tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
Tetapi penekanan pada kepatuhan terhadap hukum dan tata kelola yang baik akan memperkuat posisi negara dan melindungi sumber daya alam. Implementasi Satgas PKH diharapkan dapat mengembalikan hak rakyat atas sumber daya alam.
Penertiban kawasan hutan oleh Satgas PKH mengirimkan pesan kuat bahwa pengelolaan hutan tidak boleh dimonopoli secara ilegal.
Jadi di tengah kegaduhan yang membayangi langkah Satgas PKH dalam menertibkan menyegel 14 perusahaan perkebunan kelapa sawit milik Surya Dumai Group/First Resources Group yang beroperasi di kawasan hutan di Provinsi Riau tetap didukung semua pihak.
Larshen menilai, apa yang kini dilakukan Satgas bukan sekadar penegakan hukum, melainkan upaya penyelamatan aset negara yang selama ini ditelantarkan oleh banyak pihak.
“Sudah terlalu lama negara seolah tutup mata terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di kawasan hutan di Provinsi Riau. Maka ketika ada keberanian seperti ini, harus didukung penuh,” ujarnya.
Kawasan konservasi ataupun hutan di Riau kini tak lebih dari bentangan kebun sawit yang terus melebar. Tapi di atas kertas, kawasan ini dilindungi oleh SK Menteri Kehutanan No. 255/Menhut/2004 dan perluasan melalui SK No. 663/Menhut-II/2009 dengan total luas 83.068 hektare.
Namun, di lapangan, batas konservasi itu telah dilubangi oleh kepentingan ekonomi dan ketidakpedulian birokrasi.
Larshen menyebut, pemerintah pusat sejak 2005 telah berkali-kali mengingatkan pemerintah daerah untuk bertindak tegas.
“Ada surat Gubernur, Menteri Kehutanan, hingga Dirjen Gakkum, semuanya mengarah pada satu hal: larangan aktivitas dalam kawasan,” katanya.
Namun, surat-surat itu hanya menjadi dokumen tanpa tindak lanjut nyata.
Ia pun mendesak agar Jaksa Agung turun tangan dan serius menanganinya, menelisik dugaan unsur pidana dalam pembiaran itu.
Ia mengacu pada Pasal 28 dan Pasal 105 UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang memungkinkan pejabat publik turut dimintai pertanggungjawaban.
Kini, dengan pemasangan plang dan penyitaan kebun sawit, negara mencoba mengambil kembali haknya. "Jadi kita semua tak ingin adanya kegagalan tata kelola, ketidakpatuhan terhadap hukum, dan abainya negara di masa lalu," harapnya.
“Kalau tidak sekarang, kapan lagi?,” tanya Larshen. (*)
Tags : satuan tugas penertiban kawasan hutan, satgas pkh, kebun sawit, surya dumai group, sdg, kebun sawit, kebun sawit disegel, proses hukum, relawan gabungan rakyat prabowo gibran, garapan, larshen yunus, lingkungan, alam, hutan riau ,