Riau   2025/11/29 11:53 WIB

Satgas PKH Kuasai 3,3 Juta Hektare Lahan Sawit Ilegal, Tapi Praktik Penyitaan di Lapangan Masih Jadi Sorotan

Satgas PKH Kuasai 3,3 Juta Hektare Lahan Sawit Ilegal, Tapi Praktik Penyitaan di Lapangan Masih Jadi Sorotan

JAKARTA - Penyitaan lahan sawit oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan atau Satgas PKH menjadi sorotan dalam rapat kerja Komisi IV DPR dengan Kementerian Kehutanan.

paya pemerintah untuk menertibkan wilayah hutan melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan atau Satgas PKH menjadi sorotan berbagai pihak. Bahkan, anggota DPR mempertanyakan kinerja satgas yang kerap menyita lahan sawit dan berpotensi memicu konflik.

Pertanyaan tentang Satgas PKH mencuat dalam rapat kerja Komisi IV DPR dengan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni beserta jajarannya di Gedung DPR, Jakarta, Senin (24/11/2025) malam. Rapat yang mulanya dijadwalkan pukul 14.30 itu baru dibuka pukul 18.45 WIB.

Agus Ambo Djiwa, anggota Komisi IV DPR Fraksi PDI Perjuangan, misalnya, mempertanyakan kinerja Satgas PKH, yang dibentuk awal tahun berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025. Menurut Agus, penyitaan lahan oleh satgas membuat ketidakjelasan di lapangan.

”Kemarin, di daerah saya, ada penyitaan 800 hektar lebih (lahan) sawit (perusahaan). Sampai sekarang tidak jelas siapa yang mengawasinya. Sekarang, sawitnya dipanen oleh rakyat. Ribut rakyat pergi panen (sawit),” ujar Agus yang berasal dari Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat.

Pihaknya sudah berkoordinasi dengan polisi terkait itu. ”(Tapi) Polisi enggak tahu. Kenapa tidak diserahkan ke pemerintah saja setelah (lahan) disita oleh satgas?

"Kan, kasihan, rugi kita. Ribut masyarakat, parang-parangan, (mereka) mau berkelahi untuk ambil, panen, sawit,” ujarnya.

Menanggapi pertanyaan itu, Menhut Raja Juli mengatakan, sejak penerbitan Perpres No 5/2025 pada Januari lalu, sejumlah tugas yang ada di Kemenhut dilebur ke Satgas PKH. Tidak hanya Kementerian Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Pertanian juga demikian.

Sebab, Satgas PKH merupakan tim yang bertugas menertibkan penguasaan kawasan hutan yang di sektor perkebunan, pertambangan, dan kegiatan lainnya. Adapun kawasan hutan adalah wilayah yang ditetapkan pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Tim ini dipimpin Menteri Pertahanan, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kepala Polri, dan sejumlah kementerian terkait sebagai anggota, termasuk Kemenhut.

”Sebanyak 40-45 staf kami di planologi bekerja dari hari ke hari untuk menyajikan data meningkatkan akurasi data,” ujarnya.

Data itu terkait keberadaan perkebunan sawit atau pertambangan di kawasan hutan.

Tim Kemenhut yang ada di satgas kemudian akan mengidentifikasi ada tidaknya pelanggaran, penguasaan luasan hutan, hingga penentuan denda sesuai Peraturan Pemerintah No 45/2025.

Dalam regulasi itu, besaran denda merupakan hasil perkalian antara luas lahan pelanggaran, denda administratif (Rp 25 juta per perkebunan kelapa sawit), dan jangka waktu pelanggaran.

Pihaknya mengklaim, penagihan dilakukan sesuai prosedur, termasuk meminta klarifikasi data.

”Masalah (penyitaan lahan) harus clear (jelas) terlebih dahulu. Jadi, jangan merugikan baik itu pengusaha maupun sawit rakyat yang (luasnya) di bawah 5 hektar, yang sebenarnya itu bagian yang bisa dilepaskan,” ungkap Raja Juli.

Meskipun otoritas Satgas PKH tidak sepenuhnya ada di Kemenhut, pihaknya turut menangani pelanggaran di kawasan hutan.

”Kalau ada kasus-kasus tertentu, kami bisa bincangkan, percakapkan di satgas,” ujarnya.

Hingga awal Oktober 2025, menurut laporan Kejaksaan Agung, Satgas PKH telah menguasai kembali lahan seluas 3.404.522,67 hektar di seluruh Indonesia.

Dari jumlah itu, seluas 1.507.591,9 hektar telah diserahkan kepada PT Agrinas Palma Nusantara (Persero) yang dibentuk tahun ini.

Pengelolaan lahan yang disita menggunakan mekanisme kerja sama operasi (KSO). Adapun sisa lahan yang telah dikuasai satgas sekitar 1,9 juta hektar masih dalam tahap verifikasi.

Soal kelanjutan lahan sawit yang disita, Raja Juli mengatakan, hal itu masih akan dibahas di satgas. 

”Namun, dari Kemenhut, kami berharap, semua hutan konservasi dan taman nasional itu wajib menjadi hutan dengan direstorasi, reboisasi. Sementara untuk hutan lindung, apakah ada jangka benah untuk dihutankan. Untuk HP (hutan produksi) dan HPK (hutan produksi yang dapat dikonversi) bisa diserahkan karena produktif. Ini yang masih dibincangkan,” ujarnya.

Sepekan sebelumnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) menggelar rapat dengar pendapat umum dengan Komisi IV DPR. Rapat yang berlangsung tertutup itu membahas tentang pengambilalihan lahan sawit oleh Satgas PKH.

Secara terpisah, Ketua Umum Gapki Eddy Martono mengungkapkan, penyitaan lahan untuk tata kelola kawasan bisa berdampak baik pada perusahaan yang selama ini melanggar.

Namun, Satgas PKH tetap perlu hati-hati dalam menyita lahan, terutama bagi yang memiliki alas hak atas tanah tersebut.

”Sudah ada juga yang memiliki hak atas tanah seperti sertifikat hak milik (SHM) untuk para petani dan hak guna usaha (HGU) untuk perusahaan. Harus dilihat mana lebih dulu sertifikat atau HGU itu terbit duluan atau penetapan kawasan hutan,” ungkap Eddy.

Eddy menambahkan, Gapki tetap berkomitmen mematuhi regulasi jika memang dijalankan sesuai dengan aturan yang berlaku. Sejauh ini, anggota Gapki yang lahannya disita sudah melewati proses verifikasi dan klarifikasi. Total luas lahan yang disita mencapai lebih kurang 1,1 juta hektar.

Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Wilayah Jambi, Frandody, mengatakan, penyegelan lahan oleh satgas dapat memicu konflik agraria.

Apalagi, ada perbedaan peta antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dengan Kemenhut.

”Di Jambi, ada sekitar 64.000 lahan yang dipasangi palang oleh Satgas PKH. Lahan itu memang konsesi perusahaan, tetapi tidak menutup kemungkinan ada lahan garapan masyarakat,” ujarnya.

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mendorong Pansus Penyelesaian Konflik Agraria, yang dibentuk pada 2 Oktober lalu, untuk mengawasi kerja kementerian dan lembaga, termasuk Satgas PKH.

Ia juga berharap pansus dapat menangani 3.234 kasus konflik agraria pada 2015-2024.

Pansus, katanya, harus melakukan terobosan politik atas kasus agraria.

”Pansus jangan terjebak sebagai kanal pengaduan. Selama ini, kementerian dan lembaga termasuk badan yang ada lebih banyak jadi tempat pengaduan, tetapi bukan menyelesaikan kasus agraria,” ujar Dewi.

Kepala Pusat Studi Sawit IPB University Prof Budi Mulyanto menilai, kehadiran Satgas PKH merupakan bentuk pembenahan tata kelola lahan di industri sawit.

”Namun, jangan hanya perusahaan atau orang yang ditertibkan. Kawasan hutannya juga perlu ditertibkan,” ujarnya. 

Artinya, data kawasan hutan harus sesuai Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Selama ini, katanya, penetapan kawasan hutan belum sepenuhnya melalui proses inventarisasi, penunjukan, penunjukan area, penataan batas, pemetaan, hingga penetapan hutan.

Itu sebabnya, banyak kawasan hutan yang telah ditetapkan, padahal di dalamnya terdapat permukiman dan HGU.

Ia mendorong satgas memastikan kawasan hutan dan area hutan yang tak lagi berfungsi sebagai hutan.

Menurut dia, dari 190 juta hektar daratan di Indonesia, sekitar 120 juta hektar termasuk hutan. Selebihnya digunakan untuk budidaya, permukiman, dan lainnya.

Namun, terdapat 31,8 juta hektar area hutan yang tidak berhutan. Area ini ada yang digarap warga dan dibiarkan menganggur. Padahal, kawasan itu punya potensi ekonomi.

”Satgas seyogianya bekerja secara detail bersama masyarakat. Jangan ada yang merasa tertekan karena tujuannya membenahi pengelolaan lahan sesuai batas yang jelas. Kalau area itu bukan hutan, jangan disebut hutan. Begitu pun sebaliknya,” ungkap Budi. 

3,3 juta hektare lahan sawit ilegal

Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan (PKH) telah menguasai 3,3 juta hektar lahan sawit ilegal yang tersebar di sejumlah wilayah Indonesia.

“Terhadap beberapa kebun sawit yang keberadaannya ilegal di kawasan hutan itu telah kita kuasai seluruhnya sebesar 3.314.022,75 hektar,” kata Ketua Pelaksana Satgas PKH, Febrie Adriansyah dalam konferensi pers di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Kamis (28/11).

Febrie Adriansyah menyebut langkah ini sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang penertiban kawasan hutan. Jumlah tersebut melampaui target 3 juta hektar yang ditetapkan Satgas PKH.

Lahan yang telah dikuasai kemudian akan diserahkan kepada pemerintah untuk dikelola sesuai ketentuan.

Febrie merinci, seluas 915.206,46 hektar sudah diserahkan kepada kementerian terkait. Dikelola BUMN dan Taman Nasional PT Agrinas Palma Nusantara, perusahaan BUMN, menerima penguasaan lahan seluas 833.413,46 hektar.

Selain itu, kawasan hutan seluas 81.793 hektar yang termasuk dalam Taman Nasional Tesso Nilo dikembalikan fungsinya sebagai hutan. Sementara sisanya, 2.398.819,29 hektar, masih dalam proses administrasi.

“Saat ini kami sedang melengkapi administrasinya dan dalam waktu dekat akan diserahkan kepada kementerian terkait,” jelas Febrie.

Febrie yang juga Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung itu menegaskan bahwa penguasaan kembali kawasan hutan terhadap kebun sawit ilegal masih terus berjalan.

“Sampai saat ini, yaitu yang sudah dikuasai, sedang dibenahi tentang administrasi hukumnya sehingga dapat berjalan dengan baik dan sah menurut hukum,” kata Febrie.

“Dan masih ada beberapa obyek yang terkait dengan perkebunan sawit dan lain-lain yang masih akan terus dilakukan benar-benar,” imbuhnya. (*)

Tags : Komisi IV DPR, satgas PKH, industri sawit, menteri kehutanan, raja juli antoni, kementerian kehutanan, konflik agraria, Pansus penyelesaian konflik agraria,