
PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Total luas kebun sawit dalam kawasan hutan yang terbangun tanpa izin yang disita oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) telah mencapai angka 1 juta hektare (Ha).
"Hasil rampasan kebun sawit ilegal sebagian di antaranya telah diserahkan kepada PT Agrinas Palma Nusantara."
“Hasil verifikasi ini menentukan mana lahan yang memiliki izin resmi, mana yang dikuasai secara ilegal, serta langkah-langkah hukum yang akan diambil terhadap pelanggaran yang ditemukan,” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah, sebagai Ketua Satgas PKH, pada 26 Maret 2025.
Dalam rilisnya disebutkan, hingga 23 Maret 2025, Satgas PKH telah berhasil melakukan pendataan dan verifikasi terhadap objek kawasan hutan yang akan dilakukan penguasaan kembali.
Namun Aktivis Yayasan Sahabat Alam Rimba (SALAMBA) menyikapi, UUCK memang menjanjikan kepastian kawasan hutan karena akan menyelesaikan ketelanjuran. Meski demikian, beleid tersebut juga kontroversial karena menghilangkan sanksi pidana.
“Ini pro-kontra karena hilangnya sanksi pidana,” kata Ir Marganda Simamora, SH, M.Si, Ketua Umum (Ketum) SALAMBA dalam bincang-bincangnya belum lama ini.
Dia mengungkapkan, ada 3,4 juta hektare (ha) kebun sawit di dalam kawasan hutan. Sebagian kebun sawit itu ada yang sudah memiliki izin Hak Guna Usaha (HGU), ada juga yang menggengam izin lokasi yang diterbitkan pemerintah daerah.
“Di Riau, yang seperti ini ada 378 perusahaan dengan luas mencapai 1,2 juta ha,” katanya.
Lantas, bagaimana yang tidak memiliki izin? Menurut Ganda Mora (sapaan nama hari-harinya itu) menyebut, sesuai UUCK yang menyisipkan pasal 110B pada UU 18/2013, rakyat pemilik kebun tanpa izin seluas maksimal 5 ha dan tinggal di dalam dan sekitar hutan tidak akan dipidana. Bahkan bisa diselesaikan melalui penataan hutan.
Yang jadi persoalan, kata Ganda, adalah bagaimana dengan kebun yang sedikit lebih luas dari yang ditentukan.
“Kalau beda 1-2 hektare dari 5 hektare (sesuai UUCK), penyelesaiannya bagaimana?” katanya.
Faktanya lagi, banyak kebun tanpa izin yang dikelola perseorangan yang luasnya lebih dari 5 ha. Bahkan, luasnya bisa puluhan hingga ratusan hektare.
Menurut Ganda, jika mengacu pada UUCK, kebun pada kategori ini dikenakan pendekatan penegakan hukum karena tidak disediakan solusi administrasi maupun penataan kawasan hutan.
Kembali disebutkan Febrie Adriansyah, sebagai Ketua Satgas PKH itu merincikan, data lahan berdasarkan ketersediaan peta seluas 1.177.194,34 Ha, dan luas lahan yang telah dikuasai seluas 1.001.674,14 Ha.
"Lahan-lahan sawit itu tersebar di 9 provinsi, 64 kabupaten dan 369 perusahaan."
Dari data luasan kawasan hutan yang telah berhasil dikuasai tersebut, pada 10 Maret 2025, Satgas PKH telah melakukan penyerahan tahap I atas luasan lahan kawasan hutan kepada PT Agrinas Palma Nusantara (Persero) seluas 221.868,421 Ha, yang sebelumnya dikuasai oleh Duta Palma Group.
Kemudian pada 26 Maret 2025, Satgas PKH kembali bersiap menyerahkan luasan lahan kawasan hutan yang diserahkan seluas 216.997,75 Ha kepada perusahaan plat merah tersebut.
Dalam keterangannya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah, sebagai Ketua Satgas PKH, mengatakan proses penertiban kawasan hutan yang dikuasai tanpa izin berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemerintah berkomitmen untuk mengembalikan hak negara atas lahan yang telah digunakan secara ilegal, sekaligus memastikan kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan.
Febrie menuturkan, Satgas PKH telah melakukan verifikasi menyeluruh dengan bantuan teknologi geospasial serta koordinasi lintas kementerian dan lembaga terkait.
“Hasil verifikasi ini menentukan mana lahan yang memiliki izin resmi, mana yang dikuasai secara ilegal, serta langkah-langkah hukum yang akan diambil terhadap pelanggaran yang ditemukan,” ujar Febrie, pada 26 Maret 2025.
Febrie menuturkan, tindakan yang diambil tersebut bukan merupakan bentuk nasionalisasi, melainkan pengembalian aset negara yang telah digunakan tanpa izin.
Setiap langkah dilakukan secara transparan, melalui proses hukum yang jelas, serta mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat setempat.
Sebagai bagian dari proses ini, lanjut Febrie, pemerintah juga menegaskan bahwa tidak akan ada pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi karyawan perusahaan yang terdampak.
Bahkan, pemerintah berkomitmen untuk memastikan hak-hak pekerja tetap terlindungi, termasuk jaminan sosial dan kesejahteraan tenaga kerja di sektor perkebunan.
Febrie menjelaskan, selain proses administratif dan verifikasi lapangan, Satgas PKH juga memastikan bahwa pelanggaran hukum yang terjadi akan diproses sesuai ketentuan yang berlaku.
Jika terdapat unsur pidana, maka akan ditindaklanjuti sesuai dengan aturan hukum yang berlaku tanpa mengganggu kebijakan pengembalian lahan negara.
Febrie bilang, pemerintah berharap dengan adanya langkah tegas ini, kelestarian kawasan hutan dapat tetap terjaga, hak-hak negara atas lahan dapat dikembalikan, serta masyarakat dapat merasakan manfaat dari pengelolaan sumber daya yang lebih berkeadilan.
Pada 26 Maret 2025 lalu, Febri, sebagai Ketua Satgas PKH, secara simbolis menyerahkan perkebunan sawit hasil penguasaan kembali Satgas PKH kepada Menteri Keuangan, dan Menteri BUMN.
Penyerahan kebun sawit itu digelar di Gedung Utama Kejaksaan Agung, Jakarta.
Sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025, negara wajib mengembalikan kawasan hutan yang telah disalahgunakan ke fungsi aslinya.
Jadi, lahan yang terbukti dikuasai tanpa izin akan dikembalikan ke negara dan dikelola sesuai kebijakan pemerintah, termasuk melalui PT Agrinas Palma Nusantara (Persero), untuk sektor perkebunan strategis.
Sementara Praktisi Hukum Alhamran Ariawan SH MH mengakui sekarang Pemerintah telah membentuk Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang dipimpin Menteri Pertahanan Letnan Jenderal (Purn) TNI Sjafrie Sjamsoeddin.
"Satgas PKH tersebut dibentuk melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang penertiban kawasan hutan yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 21 Januari 2025," kata Alhamran Ariawan saat ngopi bersama dibilangan Jalan Arifin Ahcmad, Pekanbaru.
Menurutnya, langkah nyata yang telah diambil Satgas PKH dalam memberantas perkebunan sawit ilegal patut mendapat apresiasi.
Salah satu upaya signifikan yang dilakukan adalah penyitaan lahan seluas 5.764 hektare milik PT Johan Sentosa (Duta Palma Group) di Desa Pasir Sialang, Kecamatan Bangkinang Kota, Kabupaten Kampar, Riau. Begitupun ada sebanyak 31 perusahaan lainnya di Riau turut disegel.
"Penyitaan ini merupakan bagian dari pemulihan aset negara dan penegakan hukum atas penguasaan lahan secara ilegal di kawasan hutan," kata Alhamran Ariawan lagi.
Satgas PKH juga telah mengambil tindakan tegas terhadap 27 perusahaan sawit ilegal di wilayah Kampar, Rokan Hulu, Kuantan Singingi, Pelalawan, Indragiri Hulu, dan Indragiri Hilir, yang beroperasi di dalam kawasan hutan tanpa izin resmi.
"Hanya saja, setelah dilakukan sita lahan yang dianggap ilegal, bagaimana proses hukumnya," tanya Alhamran Ariawan.
Tetapi berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian RI (2022), sektor industri kelapa sawit menyumbang 13,5 persen terhadap ekspor nonmigas dan 3,5 persen terhadap PDB nasional.
Dengan luas tutupan lahan mencapai 16,38 juta hektare dan produksi 46,8 juta ton CPO, industri kelapa sawit juga menyerap lebih dari 16,2 juta tenaga kerja secara langsung dan tidak langsung.
Namun, di balik pencapaian ini, perkebunan sawit ilegal menjadi ancaman serius bagi lingkungan dan tata kelola industri.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 mencatat bahwa luas perkebunan sawit Indonesia terbagi menjadi 0,55 juta hektare (3,57 persen) yang dikelola oleh negara; 8,58 juta hektare (56 persen) oleh swasta, dan 6,21 juta hektare (40,51 persen) oleh rakyat.
Selain itu, terdapat sekitar 3,3 juta hektare kebun sawit yang berada di dalam kawasan hutan secara ilegal, yang tidak hanya merugikan lingkungan tetapi juga menyebabkan kerugian negara yang signifikan.
Berdasarkan kajian terbaru, opportunity loss dari perambahan hutan dan potensi produksi kebun sawit ilegal oleh Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) diperkirakan mencapai Rp2.600 triliun.
Perkebunan sawit ilegal memberikan dampak negatif yang sangat luas.
Pembukaan lahan secara ilegal telah mengakibatkan deforestasi yang tidak terkendali, di mana jutaan hektare hutan primer Indonesia telah hilang.
Hal ini tidak hanya meningkatkan emisi karbon, tetapi juga mengancam keberadaan satwa liar yang dilindungi seperti orang utan, harimau sumatra, dan gajah.
Selain itu, konflik sosial akibat tumpang tindih kepemilikan lahan semakin sering terjadi.
Banyak masyarakat adat dan petani lokal kehilangan hak atas tanah mereka karena adanya praktik perampasan lahan oleh perusahaan yang beroperasi secara ilegal.
Ketidakjelasan status kepemilikan lahan ini sering kali memicu perselisihan antara berbagai pihak, baik itu petani, perusahaan, maupun pemerintah.
Produktivitas perkebunan sawit rakyat juga menjadi perhatian utama.
Dibandingkan dengan perkebunan besar, hasil panen perkebunan rakyat cenderung lebih rendah karena keterbatasan akses terhadap bibit unggul dan teknologi pertanian yang lebih maju. Akibatnya, banyak petani sawit yang terjebak dalam sistem produksi yang tidak efisien dan sulit bersaing di pasar global.
Tumpang tindih perizinan dan lemahnya pengawasan terhadap aktivitas perkebunan sawit ilegal semakin memperparah permasalahan ini.
Banyak perusahaan yang tetap beroperasi di dalam kawasan hutan meskipun tidak memiliki izin yang sah, yang menunjukkan masih lemahnya penegakan hukum dalam sektor ini.
Kembali disebutkan Ganda Mora, meminta Perpres itu segera dikaji ulang. Sebab, status kebun kelapa sawit yang masuk dalam kawasan hutan saat ini masih belum jelas.
"Saat ini status kawasan hutan itu baru sebatas penunjukan. Artinya, belum jelas apakah benar itu kawasan hutan atau tidak," bebernya.
Menurutnya, seharusnya penetapan kawasan hutan mengacu pada Undang-undang 41 tahun 1999 pasal 14 dan 15.
Pada pasal 15 disebutkan ada empat tahap pengukuhan kawasan hutan. Yakni pertama dilakukan penunjukan, kemudian penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan, baru terakhir penetapan kawasan hutan.
"Jadi seharusnya tahapan itu dulu yang dibereskan, bukan malah melakukan penindakan eksekusi," kritiknya.
Ganda juga banyak mendapatkan informasi bahwa dalam penindakan, Satgas PKH justru bersenjata lengkap, malah ada laras panjang.
Ia menyayangkan hal ini, sebab yang ditemui satgas PKH adalah para pekerja dan petani kelapa sawit.
"Inikan secara tidak langsung seperti melakukan intimidasi terhadap petani."
"Pada dasarnya SALAMBA mendukung perpres tersebut untuk penataan kawasan hutan yang lebih optimal. Namun dalam penindakannya harus sesuai ketentuan yang berlaku. Kemudian penindakan ada tahapan yang harus dilakukan," sebutnya.
Misalnya penindakan dikhususkan terlebih dahulu kepada perusahaan yang mengelola lahan untuk perkebunan kelapa sawit non prosedural.
"Sebaiknya pertama dilakukan terhadap perusahaan yang memiliki kebun kelapa sawit yang luas. Jangan ke petani-petani kecil," paparnya.
Selanjutnya, untuk bahasa dalam plank penindakan, juga dinilainya perlu diubah. Saat ini bahasa pada plang yang dipasang oleh Satgas PKH memiliki makna menguasai atau pengambilan alih.
"Ini kan mengangkangi aturan, sebab penindakan itu tidak diikuti dengan proses pengadilan. Diproseslah terlebih dahulu sesuai ketentuan," tandasnya.
Lalu bagaimana jika kebun rakyat hanya 5 ha lebih?
Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) memberi peluang untuk menyelesaikan persoalan ketelanjuran kebun di dalam kawasan hutan.
Memang kebijakan ini direspons beragam oleh berbagai kalangan.
Ketua bidang Tata Ruang dan Agraria Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono menyatakan, pihaknya masih mempelajari lebih detil soal UUCK. GAPKI, katanya, akan merilis pernyataan resmi dalam waktu dekat. “Sedang kami pelajari,” katanya.
Meski menolak berkomentar soal UUCK, Eddy menegaskan perlunya penyelesaian ketelanjuran kebun di dalam kawasan hutan. “Tentu penyelesaiannya (ketelanjuran) perlu dilakukan,” katanya.
Eddy sebelumnya kerap kali menekankan bahwa tidak semua kebun sawit yang ada di kawasan hutan bisa dinyatakan ilegal. Pasalnya, banyak kebun yang sejatinya memiliki izin yang sah yang diterbitkan oleh otoritas berwenang sesuai UU.
Eddy juga sejak lama mengusulkan agar penyelesaian ketelanjuran diatur lewat omnibus law di tingkat UU, bukan sekadar peraturan pemerintah (PP).
Pasalnya, sawit bukan saja menjadi andalan ekspor, tapi juga diandalkan untuk penyediaan bahan bakar untuk mengurangi impor bahan bakar berbasis fosil demi menyeimbangkan neraca perdagangan.
Sementara itu anggota Dewan Pakar Bidang Hukum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Samuel Hutasoit menjelaskan, UUCK secara prinsip mencoba mengatasi ketelanjuran kegiatan kebun dalam kawasan hutan.
Menurut dia, istilah ketelanjuran memang tidak eksplisit dituangkan dalam batang tubuh UUCK. Namun, dari contoh yang ada pada penjelasan Pasal 110 B (lihat grafis) disebutkan tentang asumsi denda untuk perkebunan sawit akibat keterlanjuran.
“Ini menunjukkan UUCK mengakomodir ketelanjuran tersebut,” katanya.
Samuel mengingatkan, permakluman ketelanjuran itu berkaitan dengan sanksi hukumnya, bukan pada perubahan peruntukan arealnya yang semula kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan.
“Salah satu indikator yang sangat mungkin dipakai untuk mengindentifikasi bahwa areal kebun sudah terlebih dahulu ditanami sebelum terbitnya UUCK adalah STDB (Surat Tanda Daftar Budidaya) yang diterbitkan oleh Dinas Perkebunan setempat,” katanya.
Lebih lanjut Samuel menjelaskan, sesuai UUCK, seseorang yang berkebun di kawasan hutan tanpa izin namun bertempat tinggal di dalam atau sekitar hutan paling singkat 5 tahun secara terus-menerus, maka dia dikenakan sanksi administratif.
Namun, pengenaan sanksi administrasi tersebut dapat dikecualikan jika orang tersebut terdaftar dalam kebijakan penataan kawasan hutan dan telah mendapat sanksi sosial atau sanksi adat.
Samuel mengingatkan, klaster kehutanan UUCK masih mempertahankan substansi Pasal 92 (UU 18/2013 tentang Pemberantasan da Pencegahan Perusakan Hutan) yang pada intinya memidana orang yang melakukan kegiatan perkebunan dalam kawasan hutan tanpa izin dari pemerintah.
“Hanya saja dengan adanya ketentuan Pasal 110B tersebut, maka penerapan Pasal 92 hanya dapat diterapkan terhadap setiap orang yang melakukan kegiatan perkebunan di kawasan hutan tanpa izin sesuai berlakunya UUCK,” katanya.
Ganda Mora mengakui UUCK memang menjanjikan kepastian kawasan hutan karena akan menyelesaikan ketelanjuran. Meski demikian, beleid tersebut juga kontroversial karena menghilangkan sanksi pidana.
“Tetapi kenyataannya masih pro-kontra karena hilangnya sanksi pidana,” katanya.
Dia mengungkapkan, ada 3,4 juta hektare (ha) kebun sawit di dalam kawasan hutan. Sebagian kebun sawit itu ada yang sudah memiliki izin Hak Guna Usaha (HGU), ada juga yang menggengam izin lokasi yang diterbitkan pemerintah daerah.
“Di Riau, yang seperti ini ada 378 perusahaan dengan luas mencapai 1,2 juta ha,” katanya.
Menurut Ganda, sesuai UUCK yang menyisipkan pasal 110B pada UU 18/2013, rakyat pemilik kebun tanpa izin seluas maksimal 5 ha dan tinggal di dalam dan sekitar hutan tidak akan dipidana. Bahkan bisa diselesaikan melalui penataan hutan.
Yang jadi soal, kata Ganda, adalah bagaimana dengan kebun yang sedikit lebih luas dari yang ditentukan. “Kalau beda 1-2 hektare dari 5 hektare (sesuai UUCK), penyelesaiannya bagaimana?” katanya.
Faktanya lagi, banyak kebun tanpa izin yang dikelola perseorangan yang luasnya lebih dari 5 ha. Bahkan, luasnya bisa puluhan hingga ratusan hektare. Menurut Ganda Mora, jika mengacu pada UUCK, kebun pada kategori ini dikenakan pendekatan penegakan hukum karena tidak disediakan solusi administrasi maupun penataan kawasan hutan.
Dia mengingatkan, inventarisasi kebun lebih dari 5 ha yang dimiliki individual sesungguhnya bukan tidak pernah dilakukan sama sekali. Kenyataanya, penegakan hukumnya tidak dilakukan.
“Data di Riau itu kan 3 tahun lalu. Sampai sekarang tidak ada gak-kum (penegakan hukum),” katanya.
Ganda menyatakan, pemerintah perlu melakukan inventarisasi secara benar terkait kepemilikan dan luas kebun sawit yang ada di hutan. Praktik tersebut bukanlah perkara mudah karena bisa menimbulkan persoalan sosial.
PP yang disiapkan untuk mengatur lebih pelaksanaan UUCK harus bisa menyelesaikan persoalan itu.
“PP yang disusun harus bisa mengisi koridor-koridor yang tidak jelas dalam UUCK,” katanya.
Ganda Mora juga mengakui UUC ini sudah berantakan. Sejak disahkannya UUCK membuat upaya perbaikan tata kelola sawit yang sedang dirintis menjadi berantakan.
Dia mengungkapkan, capaian inpres moratorium sawit sebagai salah satu kebijakan yang diharapkan dapat menjadi langkah awal perbaikan industri sawit justru tidak begitu menggembirakan.
Sampai saat ini, belum ada kasus sawit di kawasan hutan yang dapat diselesaikan melalui inpres itu. Padahal, KLHK telah mengungkap adanya 3,4 juta ha kebun sawit dalam kawasan hutan.
Soal penegakan hukum, Ganda kemudian merujuk pada kasus sawit dalam kawasan hutan di Register 40 (Padang Lawas), Sumatera Utara.
Meski putusan sudah inkracht, sampai saat ini kasus tersebut tak pernah dieksekusi.
“Bahkan, KPK yang sempat berjanji untuk turut menyelesaikannya, sampai saat ini tidak ada kabarnya,” katanya.
Soal perbaikan tata kelola sawit, Ganda menyesalkan, data tentang kehutanan — khususnya berkenaan data spasial kawasan hutan — sampai saat ini belum transparan, sehingga publik susah untuk mendapatkannya.
“Secara tiba-tiba UUCK menerobos yang sedang berjalan dan menawarkan model penyelesaian ‘berbau’ pemutihan. Model penyelesaian gaya UUCK ini memendam potensi untuk penyelesaian, ada potensi perizinan diabaikan, tidak transparan serta berujung pada kerugian publik dan keuntungan segelintir kelompok saja, serta dugaan korupsi seperti diabaikan. Apakah hal ini ada kaitannya dengan tahun politik 2024? Waktu akan menjawab.
Jadi Ganda berkesimpulan; kalau sawit rakyat ikut di sita seharusnya masuk prosedur pinjam pakai sesuai UU CK No 10 Tahun 2020 prosedur Pasal 110A, sebab menurut pemerintah penyitaan lahan tersebut adalah untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia, seharusnya yang disita adalah milik perorangan di atas 50 Ha keatas.
Tentu, mereka yang tanpa ada membaayar kewajibannya seperti restribusi pajak dan kewajiban perizinan. (*)
Tags : kawasan hutan, Kebun Sawit Rakyat, Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, planologi kehutanan, sawit, TORA,