News   2025/07/11 19:43 WIB

Satgas PKH Terus Tertibkan TNTN Sesuai PP24/2021, 'Beri Hukuman Denda Cukong Sawit, Tapi Masyarakat Kecil Dikecualikan'

Satgas PKH Terus Tertibkan TNTN Sesuai PP24/2021, 'Beri Hukuman Denda Cukong Sawit, Tapi Masyarakat Kecil Dikecualikan'

PEKANBARU - Polemik penertiban kawasan hutan di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Provinsi Riau, terus bergulir.

"Cukong sawit di TNTN diberi denda."

“Kami mendukung upaya penertiban, tetapi sesuai ketentuan Pasal 33 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021, pemilik kebun sawit skala besar di kawasan hutan seharusnya dikenai sanksi administratif berupa denda,” kata Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA) sekaligus Direktur AZ Law Office & Conflict Resolution, Ahmad Zazali, SH., MH., menilai langkah Satgas PKH sudah berada di jalur yang benar, Kamis (10/7).

Tindakan Satuan Tugas Penanganan Kawasan Hutan (Satgas PKH) dalam melakukan relokasi masyarakat dan menebang kebun sawit ilegal memicu reaksi beragam dari berbagai kalangan, termasuk aksi demonstrasi dan pengaduan ke lembaga negara.

Rentetan peristiwa dimulai pada 18 Juni 2025, ketika ribuan masyarakat yang terdampak rencana relokasi menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Riau.

Mereka menolak relokasi yang direncanakan Satgas PKH dan menuntut Gubernur Riau untuk memfasilitasi pertemuan dengan pemerintah pusat.

Gubernur Riau pun menyanggupi permintaan tersebut dan berjanji mengupayakan pertemuan paling lambat 18 Juli.

Tak berselang lama, pada 24 Juni, aksi tandingan muncul dari kelompok masyarakat yang mendukung upaya penyelamatan gajah di TNTN serta langkah-langkah relokasi yang dilakukan Satgas PKH. Suara pro-kontra terus bergulir.

Tanggal 2 Juli, masyarakat terdampak mengadukan persoalan ini ke Badan Aspirasi DPR RI.

Dua hari berselang, pada 4 Juli, mereka juga menyampaikan laporan ke Komnas HAM, dengan tuduhan adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh Satgas PKH.

Sementara itu, Satgas PKH mulai mengambil langkah tegas. Penebangan terhadap kebun sawit ilegal di kawasan TNTN dilakukan. Salah satu yang menjadi sorotan adalah kebun sawit yang diduga milik oknum anggota DPRD, dengan luas mencapai ratusan hektar.

Menanggapi ini, Ahmad Zazali menilai langkah Satgas PKH sudah berada di jalur yang benar, namun belum sepenuhnya adil jika pemilik kebun sawit ratusan hektar tidak dikenai sanksi administratif berupa denda.

Peraturan Pemerintah 24 Tahun 2021, yang merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), menurut Zazali, menekankan asas ultimum remedium dalam penegakan hukum. Artinya, pendekatan pidana seharusnya menjadi langkah terakhir.

Oleh sebab itu, penyelesaian kebun sawit ilegal di kawasan hutan dibagi dalam dua kategori.

Pertama, untuk badan usaha dan perorangan yang mengelola lahan lebih dari 5 hektar, dikenakan sanksi denda administratif.

Kedua, untuk masyarakat yang telah tinggal paling singkat 5 tahun dan mengelola lahan tidak lebih dari 5 hektar, mereka tidak dikenai sanksi denda.

"Sebaliknya, penyelesaiannya melalui program penataan kawasan hutan seperti Perhutanan Sosial, Kemitraan Konservasi, atau TORA,” jelas Zazali.

Ahmad Zazali menerangkan bahwa penyelesaian untuk kelompok pertama juga disesuaikan dengan jenis kawasan hutan.

Bila sawit berada di hutan produksi, maka pemilik bisa mengajukan persetujuan penggunaan kawasan hutan selama satu daur (25 tahun) atau menjalin kemitraan dengan pemegang izin kehutanan bila lahannya tumpang tindih.

Namun, jika sawit berada di kawasan hutan lindung atau konservasi seperti TNTN, maka tidak ada kompromi: kawasan hutan harus dikembalikan ke negara. Hal ini yang sedang dilakukan Satgas PKH saat ini.

“Namun perlu ditekankan, pengembalian kawasan saja tidak cukup. Pemilik kebun sawit skala besar wajib membayar denda administratif sesuai Pasal 33. Hal ini penting agar tidak muncul ketimpangan perlakuan hukum, di mana masyarakat kecil justru yang dipaksa hengkang, sementara pemilik modal besar lepas dari kewajiban,” tegas Zazali.

Zazali juga mengingatkan pentingnya keadilan hukum dalam penanganan konflik tenurial di kawasan hutan.

Menurutnya, proses hukum harus membedakan antara masyarakat kecil yang bertani untuk bertahan hidup dengan korporasi atau individu yang melakukan ekspansi besar-besaran demi keuntungan semata.

“Penerapan hukum yang adil adalah kunci keberhasilan penyelesaian konflik agraria. Satgas PKH perlu menunjukkan bahwa hukum berlaku sama bagi semua, tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas,” pungkasnya.

 

Penertiban kawasan hutan oleh Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) di TNTN menjadi sorotan publik. Terlebih, setelah Satgas mulai menebang ratusan hektare kebun sawit yang diduga milik oknum anggota DPRD.

Ahmad Zazali menilai bahwa penindakan terhadap kebun sawit ilegal dalam kawasan TNTN semestinya juga disertai penerapan sanksi denda administratif, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021.

"Tindakan penertiban kawasan TNTN yang dilakukan Satgas PKH terhadap pemilik kebun sawit ratusan hektare, seharusnya pemilik kebun sawit juga dikenakan sanksi denda sebagaimana ketentuan Pasal 33 PP 24 tahun 2021,” kata Ahmad Zazali.

Zazali menjelaskan PP 24 Tahun 2021 sebagai aturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) sudah mengatur mekanisme penyelesaian kebun sawit yang berada di kawasan hutan.

Prinsip hukum yang digunakan adalah ultimum remedium, yaitu pidana sebagai upaya terakhir.

Sebagai wujud penerapanan asas ultimum remedium tersebut, ia menyebut PP 24 tahun 2021 membagi penyelesaian sawit dalam kawasan menjadi dua, berdasarkan subjek hukumnya.

"Bagi badan usaha dan perseorangan dengan luas kebun di atas 5 hektare dikenakan denda administratif. Sedangkan bagi masyarakat kecil yang sudah tinggal di dalam atau sekitar kawasan hutan paling singkat 5 tahun secara terus menerus dengan luas paling banyak 5 hektare dikecualikan dari sanksi administratif, sebagaimana ketentuan Pasal 41 PP 24 tahun 2021, tapi diselesaikan melalui program penataan kawasan hutan dengan menggunakan skema Perhutanan Sosial, Kemitraan Konservasi dan TORA (Tanah Objek Reforma Agraria)," jelasnya.

Ia menjelaskan, jika kebun sawit berada di kawasan hutan produksi, pemilik bisa mengajukan persetujuan penggunaan kawasan hutan selama satu daur (25 tahun) sejak masa tanam, atau bermitra dengan pemegang izin kehutanan yang sah, jika terjadi tumpang tindih dengan izin kehutanan HPH maupun HTI. Namun jika kebun sawit berada di hutan lindung atau kawasan konservasi, maka lahan harus dikembalikan kepada negara.

“Upaya mengembalikan kawasan hutan kepada negara inilah yang dilakukan satgas PKH terhadap pemilik sawit ratusan hektare dalam TNTN belakangan ini,” katanya. 

Meski begitu, menurutnya, subjek hukum pemilik sawit ratusan hektare tersebut diwajibkan membayar sanksi denda administratif, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 PP 24 tahun 2021.

Sementara Satgas PKH terus melanjutkan upaya pengamanan dan pemulihan kawasan TNTN yang difokuskan pada lahan yang saat ini dikuasai warga, sebagian besar digunakan untuk perkebunan kelapa sawit ilegal.

“Apa pun ceritanya, penertiban tetap berjalan. Tidak tahu sampai kapan, tapi kami kerjakan perlahan. Jika ada oknum penghambat, kami akan laporkan ke Kapolda. Negara tidak boleh mundur. Ini sudah perintah dari Menhan,” kaat Komandan Satgas Garuda PKH, Mayjen TNI Dody Triwinarto dalam audiensi bersama Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI di Kantor Gubernur Riau, Kamis (10/7).

Komandan Satgas Garuda PKH, Mayjen TNI Dody Triwinarto, menegaskan bahwa operasi penertiban tidak akan berhenti. Namun, pelaksanaannya dilakukan secara bertahap dan humanis.

Dody menegaskan bahwa pemerintah tidak berniat menyakiti rakyat dalam proses ini.

Penertiban dilakukan untuk menyelamatkan kawasan hutan tropis yang menjadi habitat satwa langka, seperti gajah Sumatera dan harimau Sumatera, yang kini terancam punah akibat pembukaan lahan.

“TNTN adalah hutan tropis terbaik warisan dunia. Kalau tidak kita pulihkan sekarang, kapan lagi? Sudah 21 tahun kawasan ini dikuasai ribuan orang,” katanya.

Dody juga membantah memiliki kepentingan pribadi dalam misi tersebut.

“Saya tidak punya kepentingan pribadi. Ini murni untuk kepentingan negara dan rakyat,” tegasnya.

Dalam proses penertiban, Dody mengingatkan semua pihak untuk tidak memanfaatkan situasi dengan menyebar isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).

Ia mengakui bahwa sekitar 80 persen warga yang menguasai lahan di TNTN berasal dari luar Provinsi Riau, namun mereka tetap warga Indonesia yang harus dihormati.

“Jangan sampai penertiban ini diboncengi dengan isu SARA. Siapa pun yang tinggal di sini tetap warga Pak Gubernur. Ini soal penegakan hukum dan penyelamatan lingkungan, bukan soal identitas,” ucapnya.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Satgas PKH telah melakukan pemasangan plang sita dan blokade akses masuk ke kawasan TNTN sejak sebulan terakhir. Ribuan warga diminta pindah secara sukarela dan diberi waktu tiga bulan untuk meninggalkan kawasan.

Namun, sebagian warga menolak relokasi dengan alasan telah lama tinggal dan memiliki bukti pembelian lahan, meski kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai taman nasional sejak 2004. (*)


Cukong Sawit , TNTN , Tesso Nilo , Kebun Sawit ,

Tags : taman nasional tesso nilo, tntn, satgas pkh tertibkan tntn, satgas pkh beri denda cukong sawit, masyarakat kecil di tntn dikecualikan, News,