DENPASAR - Pasar ekspor sawit Indonesia sempat tercoreng, terutama dari Uni Eropa yang menuding tudingan minyak sawit (crude palm oil/CPO) asal Indonesia tidak ramah lingkungan menjadi tantang berat industri sawit.
Salah satu yang menjadi isu terbesarnya adalah isu penggundulan hutan atau deforestasi, baik dengan cara ditebang atau dibakar, yang kemudian menjadi sangat sensitif di industri kelapa sawit.
Alasan ini pula yang kemudian melatarbelakangi negara-negara di kawasan Uni Eropa menyepakati kebijakan komoditas bebas deforestasi (European Union Deforestation-Free Regulation) dan disahkan European Council dan Parlemen Eropa.
EUDR mulai berlaku sejak Juni 2023 di mana dalam kebijakan anyar tersebut, eksportir boleh menjual produknya apabila telah melewati uji tuntas guna memastikan produk tak berasal dari lahan yang mengalami degradasi atau deforestasi.
Seiring dengan itu, tuntutan regulasi kepada petani dan perkebunan sawit di Indonesia pun semakin ketat. Mulai dari Indonesia Sustainability Palm Oil (ISPO) dari pemerintah, serta Roundtable Sustainability Palm Oil (RSPO) dari kancah global.
CEO RSPO Joseph D'Cruz (JD) mengungkap bahwa sertifikasi bisa membawa keuntungan, terutama bagi petani swadaya yang kini sekadar bertani lepas bisa ikut masuk ke pasar global dan memasarkan produknya dengan harga yang lebih kompetitif.
Selain itu, dengan tersertifikasi, artinya para pelaku pertanian sawit juga dapat tetap masuk ke pasar Eropa lantaran bisa mematuhi aturan terkait EUDR, dengan memastikan perkebunannya memproduksi sawit secara berkelanjutan. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa melakukan sertifikasi bukanlah barang murah, karena prosesnya yang memang tidak mudah.
Salah satu yang diusulkan menjadi solusi adalah dengan Sertifikasi Yurisdiksi. Sistem sertifikasi yang sudah diusulkan sejak 2015 di Indonesia ini disebut bisa mendorong seluruh petani dan perkebunan sawit di satu kawasan, agar bisa memenuhi kriteria yang diatur dalam sistem sertifikasi berkelanjutan RSPO.
Beberapa kriteria yang ditentukan terkait dengan keberlanjutan lahan sawit di antaranya seperti deforestasi, legalitas lahan, keterlacakan petani dan pasokan sawit.
Salah satu wilayah di Indonesia yang sudah mulai menerapkan pilot project sertifikasi yurisdiksi adalah di Seruyan, Kalimantan Tengah. Wilayah tersebut merupakan tempat di mana petani sawit swadaya mendominasi sehingga mempersulit mereka mendapatkan sertifikasi.
Seruyan mulai melakukan sertifikasi yurisdiksi sejak 2015, bermitra dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Kaleka, untuk memastikan para petani menghasilkan produk-produk sawit yang berkelanjutan.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Seruyan, Albidinnor menyebut sudah melakukan sejumlah aksi untuk melancarkan proyek sertifikasi yurisdiksi, seperti melakukan pemetaan lokasi petani sawit swadaya untuk menjawab isu keterlacakan lahan dan petani.
Kemudian, upaya perbaikan perizinan untuk mengelola perkebunan sawit, dan upaya perbaikan tata kelola serta praktik budidaya berkelanjutan.
Tak Hanya di Indonesia
Pilot project sertifkasi yurisdiksi nyatanya juga tak hanya dilakukan di Indonesia, tapi juga di Sabah, Malaysia dan Ekuador, Amerika Selatan.
Terdapat sejumlah perbedaan penerapan sertifikasi yurisdiksi pada tiga negara ini, salah satunya dari sisi keterlibatan pemerintah, ada yang melibatkan pemerintah pusat dan ada pula yang melalui pemerintah daerah dan kabupaten.
Hal ini disebut JD sebagai salah satu tantangan dalam penyebarluasan penggunaan sertifikasi yurisdiksi sebagai salah satu sistem sertifikasi RSPO.
"Tantangannya memang dari segi detailnya banyak karena sistem dan struktur RSPO bukan sertifikasi per unit, Karena kalau pakai pendekatan yurisdiksi kita harus kumpulkan stakeholder dan memikirkan kalau di dalam satu yurisdiksi terdapat satu pelanggaran, jadi itu menjadi obligasi siapa," jelas JD dalam pertemuan di Bali, dikutip Rabu (30/8/2023).
RSPO mengharapkan dari ketiga lokasi yang sudah menerapkan sertifikasi yurisdiksi untuk menjadikan satu bentuk sistem sertifikasi sehingga bisa mencapai sertifikasi yurisdiksi sebagai salah satu metode model untuk RSPO di seluruh dunia
"Harapannya dengan adanya pilot project di tiga lokasi ini bisa ditunjukkan bahwa sertifikasi ini valid, bisa digunakan, jadi bisa diterapkan di tempat [negara] lain. Jadi kita mau belajar kepada yang sudah melaksanakan sertifikasi ini bagaimana kita bisa standarisasi dan memastikan bahwa sistem dan prosesnya bisa didukung RSPO," imbuhnya.
Patuhi Standar EUDR
JD menambahkan, dengan memiliki sertifikasi, RSPO ingin memastikan para anggotanya bisa tetap ekspor ke Uni Eropa. Meskipun berdasarkan catatan Bisnis, produksi CPO Indonesia pada 2022 mencapai 46,7 juta ton, di mana 20,97 juta ton atau 44,8 persen dikonsumsi dalam negeri. Sisanya, 25,73 juta ton diekspor ke 242 negara lainnya. Adapun, impor CPO Uni Eropa pada 2022 hanya 2,05 juta ton atau 2-3 juta ton per tahun dalam 5 tahun terakhir.
"Jadi kita lihat di sistem RSPO, seperti sistem traceability platform, bisa memastikan bahwa apakah data yang dibutuhkan importir di Eropa bisa ditransmisi oleh sistem RSPO. Pada tahap lahan jika ada yang sudah mencapai sertifikasi RSPO, maka sudah ada standar untuk patuh dengan EUDR," ujar JD.
Dia juga mengungkapkan bahwa standar RSPO sejak 2018 sudah memasukkan standar untuk EUDR. Namun, di dalam prosesnya terdapat isu terkait apakah RSPO bisa mengumpulkan data dan membuktikan bahwa standar tersebut tercapai dan bisa dilihat oleh pasar Eropa.
"Traceability [keterlacakan] itu yang menjadi tujuan. Jadi kita dalam proses akan melihat kembali sistem sertifikasi kita, untuk memastikan para anggota kita bisa digunakan untuk mencapai EUDR," imbuhnya, seperti yang dilansir dari bisnis. (*)
Tags : sawit indonesia, pasar sawit tembus regulasi eropa eudr, pasar sawit terganggu, pasar ekspor sawit sempat tercoreng,