Redaksi   2024/09/13 10:15 WIB

Seberapa Mungkin Kotak Kosong Menang Lawan Calon Tunggal?

Seberapa Mungkin Kotak Kosong Menang Lawan Calon Tunggal?

KOTAK KOSONG jadi pembahasan pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Dewan Perwakilan rakyat (DPR), langsung digelar rapat di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta pada Selasa 1 September 2024, untuk membahas mekanisme pilkada jika kotak kosong menang melawan pasangan calon tunggal.

Hasilnya, DPR dan KPU menyepakati bahwa apabila kotak kosong menang dalam Pilkada 2024, maka daerah tersebut akan kembali menggelar pilkada pada 2025.

Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung dalam rapat itu lantas menyinggung adanya daerah dengan pilkada hanya terdiri dari satu pasangan calon dan tidak mendapatkan suara lebih dari 50 persen. Dia menyetujui pilkada diselenggarakan kembali pada tahun berikutnya yakni 2025, sebagaimana diatur dalam Pasal 54D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

RDP memutuskan Komisi II DPR RI akan membahas lebih lanjut bersama KPU RI, Kemendagri, Bawaslu RI, dan DKPP RI mengenai Peraturan KPU (PKPU) yang mengatur tentang penyelenggaraan pilkada dengan satu pasangan calon pada rapat kerja dan rapat dengar pendapat (RDP) yang akan datang.

Doli Kurnia Tandjung juga mengisyaratkan daerah dengan pilkada hanya terdiri dari satu pasangan calon dan tidak mendapatkan suara lebih dari 50 persen, bahkan menyetujui pilkada diselenggarakan kembali pada tahun berikutnya yakni 2025, sebagaimana diatur dalam Pasal 54D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan mungkin bisa dilanjutkan tanggal 27 September untuk draf PKPU-nya.

Pada Pilkada 2024 yang akan berlangsung November mendatang, terdapat 41 daerah yang memiliki hanya satu calon pasangan kepala daerah.

Namun seberapa besar peluang kotak kosong meraup lebih banyak suara pada era yang disebut para pakar tersandera kartelisasi politik?

Dan mengapa sejumlah kalangan kini mendorong agar masyarakat diperbolehkan berkampanye untuk kemenangan kotak kosong?

Saat periode pendaftaran calon kepala daerah ditutup pada 29 Agustus lalu, terdapat 43 daerah dengan pasangan calon tunggal.

Satu pekan setelahnya, saat perpanjangan masa pendaftaran berakhir, jumlah itu hanya berkurang dua daerah.

Pilkada 2024 tanpa pasangan calon tunggal akhirnya gagal tercapai, meski upaya lain telah dilakukan, salah satunya penghapusan ambang batas parlemen dalam revisi UU Pilkada—yang memungkinkan hampir setiap partai mengusung kandidat mereka.

Untuk kelima kalinya, dalam penyelenggaraan pilkada yang berturut-turut, sekelompok masyarakat pemegang hak pilih dihadapkan dengan hanya satu pilihan calon kepala daerah.

Jumlah pasangan calon tunggal terus-menerus bertambah dalam setiap ajang pilkada.

Pada Pilkada 2015, terdapat tiga calon pasangan tunggal. Angka itu meningkat menjadi 9 pada Pilkada 2017, 16 pada 2018, dan 25 pada 2020.

Total calon pasangan tunggal pada Pilkada 2024 naik 60% dibandingkan Pilkada 2020.

Jumlah 41 calon pasangan tunggal pada pilkada kali ini setara 13 kali lipat daripada pilkada serentak pertama tahun 2015.

Tetapi Herdiansyah Hamzah, pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman di Samarinda, Kalimantan Timur menyatakan, apakah pilkada layak disebut pesta demokrasi jika pesertanya hanya satu pasangan calon saja?.

Pilkada dengan calon tunggal lebih pantas disebut sebagai pesta pora oligarki, tuturnya.

Herdiansyah berkata, pilkada dengan satu calon pasangan tunggal hanya menguntungkan kartel politik. Kartel yang dia maksud adalah sekelompok kecil orang yang menguasai proses politik.

Meski UU Pilkada mengharuskan calon pasangan tunggal itu bertarung melawan kotak kosong, Hendriansyah menyebut pemenang dari kontes itu hanyalah segelintir orang yang menguasai proses politik itu.

Menurutnya, kalaupun calon tunggal itu kalah, kartel itu bisa menangkat penjabat sementara yang sesuai kepentingan mereka.

Potensi besar masyarakat luas tidak merasakan manfaat dari kontes pilkada, kata Hendriansyah, juga berakar dari sikap partai yang semakin pragmatis.

Bukannya beradu ide dan gagasan untuk kepentingan publik, partai disebutnya justru memberi karpet merah pada kartel politik dengan bersama-sama mengusung calon pasangan tunggal.

Berbagai riset ilmu politik telah dilakukan untuk mencari makna dan persoalan di balik pragmatisme partai politik dan kartel politik.

Partai politik yang bersedia berbagi kekuasaan selama hal itu memberi mereka keuntungan dan kemenangan, kata Syaiful Rohman dan Biky Mubarok dalam artikel mereka di Jurnal Wacana Politik, Oktober 2022.

Keduanya, dalam artikel jurnal itu, meriset pertarungan kandidat tunggal melawan kotak kosong pada Pilkada 2020.

Syaiful dan Biky menulis, kartel politik digunakan para elite dan petahana untuk menghalangi calon lawan yang memiliki peluang meraih banyak suara. Upaya itu dilakukan dengan menggalang dukungan dari partai —dan memungkinkan untuk dilakukan karena mereka memiliki kekuatan uang dan kuasa politik.

Elite politik dan petahana melobi dan merancang berbagai cara untuk meraih surat rekomendasi pencalonan dari seluruh partai, tulis Syaiful dan Biky.

Katanya, ini berkaitan dengan mahar politik dan sistem kaderisasi di internal partai yang sangat rapuh.

Ketua MPR, sekaligus anggota Partai Golkar, Bambang Soesatyo, mengakui jumlah calon tunggal yang terus bertambah pada setiap pilkada merupakan sebuah persoalan dengan beragam penyebab.

Bambang mengakui juga tren keengganan berkompetisi dengan figur yang dianggap “terlalu kuat“ di suatu daerah, permasalahan kaderisasi hingga modal besar yang harus dikeluarkan calon kepala daerah.

Meningkatnya tren calon tunggal mengindikasikan bahwa ada banyak hal yang perlu dibenahi dalam penyelenggaraan Pilkada, kata Bambang, Senin kemarin.

Terdapat 33 dari total 41 calon pasangan tunggal pada Pilkada 2024 yang berstatus petahana.

  • Provinsi Papua Barat: Dominggus Mandacan (petahana) - Mohamad Lakotani
  • Asahan: Taufik Zainal Abidin (petahana) dan Rianto
  • Pakpak Barat: Franc Bernhard Tumanggor (petahana) dan Mutsyuhito Solin
  • Serdang Bedagai: Darma Wijaya (petahana) dan Adlin Tambunan
  • Labuhanbatu Utara: Hendriyanto Sitorus (petahana) dan Syamsul Tanjung
  • Nias Utara: Amizaro Waruwu (petahana) dan Yusman Zega
  • Batanghari: Muhammad Fadhil Arief (petahana) dan Bakhtiar
  • Ogan Ilir: Panca Wijaya Akbar (petahana) dan Ardani
  • Empat Lawang: Budi Antoni Aljufri (petahana) dan Henny Verawat
  • Bengkulu Utara: Arie Septia Adinata (petahana) dan Sumarno
  • Lampung Barat: Parosil Mabsus (petahana) dan Mad Hasnurin
  • Lampung Timur: Ela Siti Nuryamah dan Azwar Hadi (petahana)
  • Bangka: Mulkan (petahana) dan Ramadian
  • Bangka Selatan: Riza Herdavid (petahana) dan Debby Vita Dewi
  • Kota Pangkal Pinang: Maulan Aklil (petahana) dan Masagus M Hakim
  • Bintan: Roby Kurniawan (petahana) dan Deby Maryanti
  • Ciamis: Herdiat Sunarya (petahana) dan Yana D Putra
  • Banyumas: Sadewo Tri Lastiono (petahana) dan Dwi Asih Lintarti
  • Sukoharjo: Etik Suryani (petahana) dan Eko Sapto Purnomo
  • Trenggalek: Mochamad Nur Arifin (petahana) dan Syah Muhammad Nata Negara
  • Ngawi: Ony Anwar Harsono (petahana) dan Dwi Rianto Djatmiko
  • Gresik: Fandi Akhmad Yani (petahana) dan Asluchul Alif
  • Pasuruan: Adi Wibowo (petahana) dan Mokhamad Nawawi
  • Surabaya: Eri Cahyadi (petahana) dan Armuji
  • Bengkayang: Sebastianus Darwis (petahana) dan Syamsul Rizal
  • Balangan: Abdul Hadi (petahana) dan Akhmad Fauzi
  • Samarinda: Andi Harun (petahana) dan Saefuddin Zuhri
  • Malinau: Wempi W Mawa (petahana) dan Jakaria
  • Tarakan: Khairul (petahana) dan Ibnu Saud
  • Maros: Chaidir Syam (petahana) dan Suhartina Bohari
  • Pasangkayu: Yaumil (petahana) dan Herny Agus
  • Manokwari: Hermus Indou (petahana) dan Mugiyono
  • Kaimana: Fredy Thie (petahana) dan Sobar Somat Puarada

Di sisi lain, meski bukan petahana, delapan calon pasangan tunggal yang lain juga menduduki jabatan krusial di daerah tersebut.

Calon Bupati Aceh Utara, Ismail Jalil, bukan petahana tapi pernah menjabat sebagai Ketua DPRD di kabupaten tersebut.

Dalam lima tahun terakhir, dia berstatus anggota DPR Provinsi Aceh.

Armia Fahmi, calon Bupati Aceh Taming, merupakan perwira tinggi Polri dengan pangkat inspektur jenderal. Dia pernah menjadi Wakil Kepala Polda Aceh.

Khairul Kiyedi Pasaribu, calon Bupati Tapanuli Tengah, menjabat ketua DPRD kabupaten itu pada periode lalu.

Annisa Suci Ramadhani, calon bupati Dharmasraya, merupakan anak dari Marlon Martua Dt Rangkayo Mulie yang pernah menjadi orang nomor satu di kabupaten itu pada 2005-2010.

Di Tulang Bawang Barat, calon bupati Novriwan Jaya sebelumnya menjabat sebagai sekretaris daerah.

Di Brebes, calon bupati Paramitha Widya Kusuma duduk sebagai anggota DPR pada 2019-2024.

Andi Rudi Latif merupakan Wakil Bupati Kotabaru pada periode 2021-2024. November nanti dia akan menjadi calon tunggal pada pemilihan bupati Tanah Bumbu, kabupaten yang bersebelahan dengan Kotabaru.

La Ode Darwin yang akan bertarung sebagai calon bupati tunggal di Pilkada Muna Barat merupakan pengusaha tambang.

Tiga advokat pekan lalu memasukkan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk pasal 79 ayat (1) dan pasal 85 ayat (1) UU Pilkada 1/2015.

Mereka meminta MK menyatakan surat suara tidak sah jika tidak memuat kolom kosong, termasuk pada daerah yang memiliki lebih dari satu calon pasangan.

Para pemohon itu juga meminta MK mempersilakan pemilih mencoblos kolom kosong dalam surat suara—dan mewajibkan penyelenggara pilkada menghitungnya sebagai suara sah. Di UU Pilkada kita, nyoblos semua calon dianggap tidak sah. Nyoblos di luar calon juga tidak sah, kata Heriyanto, satu dari tiga pengaju uji materi itu.

Menurutnya, jika mencoblos semua atau tidak mencoblos salah satu calon itu seharusnya dihitung sebagai suara sah. Ini adalah bentuk protes. Rakyat mau melawan tapi selama ini tidak mendapat saluran hukum, ujarnya.

Heriyanto berkata, keputusan warga untuk tidak memilih kandidat yang tertera di surat suara dipicu, misalnya, kualitas calon kepala daerah yang tidak sesuai harapan publik.

Terlebih lagi, merujuk berbagai riset yang ada, Heriyanto menyebut warga memiliki opsi calon kepala daerah yang terbatas. Lucu, kalau harus memilih calon kepala daerah yang tidak mengerti apapun. Bahkan kemarin ada komedian yang hendak dimajukan sebagai calon wakil wali kota, sebutnya.

Kolom kosong dalam surat suara dalam ilmu politik disebut none of the above (NOTA), kata pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini.

Kolom kosong ini, kata Titi, dirancang untuk memungkinkan pemilih menunjukkan ketidakstujuan terhadap kandidat yang tertera pada surat suara.

Bukan bentuk makar terhadap partai politik, Titi menyebut kolom kosong pada setiap surat suara justru bisa berdampak positif, antara lain membuat pemilihan menjadi kompetitif.

Salah satu efek yang disebut Titi adalah “mendorong peningkatan angka pengguna hak pilih”.

Selain itu, kata dia, kolom kosong itu dapat memperkuat politik gagasan karena kandidat dan partai harus bekerja keras myakinkan pemilih melalui visi, misi, dan program yang baik.

Seiring munculnya calon pasangan tunggal dalam pilkada sejak tahun 2015, pertarungan yang melibatkan kotak kosong telah terjadi di sejumlah daerah.

Satu-satunya kemenangan kotak kosong adalah saat melawan kandidat tunggal pada Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar pada 2018. Kisah kemenangannya telah banyak diberitakan dan menjadi bahan penelitian ilmu politik.

Selain kemenangan di Makassar, terjadi dinamika penggalangan dukungan untuk memenangkan kotak kosong pada Pilkada Pati tahun 2017. Ketika itu, delapan partai satu suara mengusung Haryanto (petahana dari periode sebelumnya) dan Saiful Arifin.

Dua ormas Islam, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, saat itu juga mengeluarkan fatwa terkait Pilkada Pati yang hanya diikuti satu calon pasangan.

NU ketika itu menyatakan orang-orang yang memilih kotak kosong ketimbang Haryanto-Saidul Arifin adalah sebagai orang yang “sesat dan zalim”.

Adapun, Muhammadiyah mengeluarkan imbauan agar warga Pati tidak menjadi golongan putih (golput) alias tidak menggunakan hak pilih.

Dalam konteks inilah kemudian muncul Gerakan Masyarakat Pati (Geram Pati). Gerakan ini diawali orang-orang yang berkumpul dalam Aliansi Kawal Demokrasi Pati (AKDP).

Budiyono, Wakil Bupati Pati periode sebelumnya—yang gagal mendapat dukungan untuk menjadi peserta pilkada—turut menjadi inisiator gerakan ini.

Muntamah selaku politikus Pati dari Partai Nasdem juga berada di balik pembentukan kelompok ini. Ada pula dukungan kelompok warga yang menolak pembangunan pabrik semen di Sukolilo, Kayen, dan Tambakromo serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat.

Jadi aspirasi awalnya adalah warga yang tidak cocok dengan kandidat yang ada, saat itu pimpinan GP Ansor Pati yang juga aktif di AKDP. Ada ketidakpuasan terhadap sistem pemilu, di mana calon yang notabene petahana memborong semua partai pengusung, kata Itqon Hakim.

Gerakan ini lalu melakukan sosialisasi dan mengampanyekan kotak kosong. Iqton berkata, mereka membentuk tim yang berdatangan dari rumah ke rumah untuk mengedukasi warga.

Geram Pati juga berkampanye di media sosial dan memasang baliho berisi ajakan memilih kotak kosong. Mereka pun menyebarkan selebaran berisi 12 kritik terhadap calon pasangan tunggal—dari tuduhan tidak prolingkungan dan tidak prorakyat.

Dalam riset yang terbit di Jurnal PolGov tahun 2019, gerakan itu tercatat juga mengadakan pagelaran ketoprak dan jalan santai untuk mengampanyekan kotak kosong.

Walau menjalan berbagai strategi kampanye untuk kotak kosong, Iqton menyebut Geram Pati terhambat peraturan. Tidak mudah. Hambatan terbesarnya ada di aparat dan kepala-kepala desa. Karena regulasinya belum ada waktu itu, maka gerakan kami dianggap ilegal. Ada tekanan kuat dan intimidasi, kata Iqton.

Meski telah mengupayakan berbagai strategi, mereka gagal mengalahkan calon pasangan tunggal di Pati.

Kotak kosong mendapatkan 177.762 suara, sedangkan Haryanto-Saiful Arifin meraup 519.675 suara.

Para penyokong kotak kosong di Geram Pati kemudian mengajukan gugatan ke MK agar hasil perhitungan perolehan suara dibatalkan.

Namun MK saat itu menolak memeriksa gugatan tersebut. Merujuk UU Pilkada, MK saat itu menganggap Geram Pati tidak termasuk orang dan kelompok yang berhak menggugat hasil pilkada.

Geram Pati, kata MK, bukan calon kepala daerah atau pemantau terakreditasi yang terdaftar.

Walau sepanjang sejarah pilkada di Indonesia kotak kosong baru satu kali menang, KPU dan Komisi II DPR merasa perlu untuk membuat mekanisme baru jika sejarah di Pilkada Kota Makassar berulang.

Merujuk UU Pilkada, jika kotak kosong menang pilkada harus diulang pada pemilu berikutnya. Setelah 2024, pilkada selanjutnya baru akan berlangsung 2029.

Namun, menurut Ketua Komisi II, Ahmad Doli Kurnia, ketentuan itu memiliki dampak negatif karena daerah tersebut akan dipimpin oleh penjabat sementara—yang ditunjuk pemerintah. Penjabat sementara itu janganlah satu periode, setahun atau dua tahun. Kewenangannya kan juga terbatas dibandingkan dengan kepala daerah yang definitif, ujar Doli kepada pers di Jakarta, Selasa siang.

Pada Rabu 11 September 2024, DPR dan KPU menyepakati bahwa apabila kotak kosong menang dalam Pilkada 2024, maka daerah tersebut akan kembali menggelar pilkada pada 2025. (*)

Tags : kotak kosong, pilkada 2024, kotak kosong menang lawan calon tunggal, politik, hukum, pemilu 2024, populisme,