Tim Terpadu Penertiban Penggunaan Kawasan atau Lahan Secara Ilegal di Provinsi Riau kembali mendapat perintah untuk menertibkan kebun sawit ilegal, ini terkait musim kemarau yang sudah membakar hutan dan lahan [Karhutla] selama di bulan Juni 2020.
Tim Satuan Tugas (Satgas) Terpadu Penertiban Penggunaan Kawasan Hutan/Lahan secara Ilegal di Riau kembali digerakkan, guna mengatasi persoalan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Riau. Melalui Wakil Gubernur Riau (Wagubri), Edy Natar Nasution kemarin Rabu 8 Juli 2020 telah menegaskan untuk mengatasi persoalan Karhutla di Riau, Satgas penertiban perkebunan perlu digalakkan dan berdayakan lagi.
Menurutnya, pihaknya akan mencoba untuk melihat kembali efektivitas dari tim Satgas penertiban perkebunan ilegal ini, termasuk nanti yang akan dilihat mampu atau tidak melaksanakan tugasnya. Pemprov Riau juga akan melakukan penyegaran terhadap personel di tim Satgas tersebut agar penertiban perkebunan ilegal bisa lebih baik dan efektif dalam penanganan perkebunan ilegal ini.
Sengkarut lahan perkebunan sawit Riau
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) memang dirasakan merupakan bencana nasional terbesar di era reformasi. Kebakaran hutan itu menguak sejumlah fakta. Di antaranya adalah sebagian kebakaran terjadi di lahan konsesi perusahaan perkebunan. Area kebakaran di provinsi Riau merupakan terluas kelima di Indonesia.
Tahun 2015 lalu karhutla terjadi di kawasan perusahaan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau yang digawangi Komisi A masa itu dengan dorongan lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan, membentuk Panitia Khusus Monitoring Perizinan Lahan Perkebunan. Setelah ditelisik, Pansus menemukan sengkarut pengelolaan lahan perkebunan kelapa sawit di Riau, salah satunya adalah kejanggalan perizinan perkebunan. Dari total 4,2 juta hektare luas perkebunan sawit di Riau, 1,8 juta hektare di antaranya tidak memiliki izin. Mulai dari tidak memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP), izin pelepasan kawasan hutan, izin usaha budidaya, juga izin Hak Guna Usaha (HGU). “Kata lainnya, perkebunan sawit itu illegal!” kata Dr Indera Gunawan Eet PhD, Ketua DPRD Riau dikontak ponselnya yang mengaku masih menjadi wacana penertiban Pemprov Riau tadi, Sabtu (11/7/2020).
Ada 190 perusahaan yang tersebar di tujuh kabupaten di Riau. Di antaranya, 15 perkebunan berada di Kabupaten Rokan Hilir, 17 kebun di Bengkalis, 32 perkebunan lagi di Rokan Hulu. Lainnya, 18 perkebunan di Pelalawan, 28 di Indragiri Hulu, 21 di Indragiri Hilir, dan paling banyak di Kabupaten Kampar sejumlah 59 perkebunan. Selain tak berizin, perusahaan-perusahaan tersebut tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Akibatnya, pemerintah daerah kehilangan potensi penerimaan pajak sebesar Rp 15 triliun setiap tahun.
Dengan usia pohon perkebunan 10-20 tahun, sedikitnya Rp 150 triliun akumulasi pajak tidak disetor ke kas negara. Nilai lingkungan dari kerusakan ekosistem kawasan hutan akibat kebakaran itu tidak bisa diabaikan. Emisi karbon terlepas karena alih fungsi lahan, unsur hara tanah yang berkurang, sampai hilangnya habitat hewan liar.
Sebelunya, World Wide Fund for Nature [WWF] Indonesia juga telah melakukan analisis spasial tutupan lahan berdasarkan Keputusan MenLHK No 903 Tahun 2016. Kesimpulannya, seluas 1,4 juta hektare perkebunan sawit berada di kawasan hutan. Kemudian pada 2017, Eyes on The Forest melakukan pantauan lapangan terhadap 10 nama perusahaan yang disetorkan DPRD Riau kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Upaya Pemda setelah tiga tahun berlalu tanpa ada kejelasan sikap dan tindakan pemerintah daerah atas temuan Pansus Perizinan Perkebunan, Gubernur Riau Syamsuar, membentuk Satuan Tugas [Satgas] Penertiban Sawit Ilegal pada 12 Agustus 2019.
Satgas tersebut merupakan tim gabungan tim dari pemerintah provinsi, DPRD, kepolisian, kejaksaan, TNI, pemerintah pusat dan juga perpajakan. Satgas dibagi dalam tiga tim, yaitu tim pengendali, tim operasi dan tim yustisi. Syamsuar mengatakan, supaya tidak membuat keputusan yang gegabah, tim akan menyelidiki ulang apakah 1,8 juta hektare lahan perkebunan tersebut benar-benar ilegal. “Akan dicek siapa pemilik lahannya, berapa luasnya, berada di kawasan hutan atau tidak, termasuk langkah ke depan seperti apa,” tuturnya.
Meski belum menjelaskan secara rinci, Syamsuar mengatakan pemda dan satgas sudah membuat skema apa yang akan dilakukan apabila lahan perkebunan sawit tersebut benar-benar ilegal. “Prosesnya akan melibatkan banyak pihak. Jadi belum bisa saya ceritakan dulu skema yang sudah kami buat,” tuturnya.
Made Ali, Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau [Jikalari] juga ikut menyoroti lamanya proses verifikasi yang dilakukan satgas dan terkesan membuang waktu. Hingga November 2019, tim yang disebar ke seluruh kabupaten dan kota di Riau masih melakukan verifikasi ulang. “Proses hukumnya jadi tertunda. Sudah ada data, diproses saja secara hukum,” kata Made Ali.
Sudah ada usaha tata kelola sawit yang lebih baik yang dilakukan di Kabupaten Siak, Riau. KLHK mencabut HGU PT Mahakarya Eka Guna di Kabupaten Siak karena menyalahgunakan izin. Menurut Bupati Siak, Alfredi, perkebunan yang seharusnya ditanami sawit malah ditanami akasia. Setelah izin dicabut, perusahaan kemudian harus mengembalikan 10.000 hektare lahan yang dikelolanya ke negara. Dari lahan yang dikembalikan ke negara, 4000 hektare di antaranya menjadi Tanah Objek Reforma Agraria [TORA] dan sudah dibagikan kepada masyarakat.
Inpres Moraotium Sawit membuka jalan supaya pemerintah memperbaiki tata kelola perkebunan sawit, khususnya evaluasi izin perkebunan sawit dan pembentukan satu peta sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih lahan. Yang perlu diperhatikan, verifikasi lahan harus dilakukan secara efektif dan efisien agar bisa segera diproses hukum.
Kebun sawit ilegal marak
Pemerintah Provinsi Riau disebut kehilangan potensi pendapatan hingga Rp107 triliun per tahun akibat hamparan perkebunan sawit tanpa izin. Di Riau terdapat 1,4 juta hektare kebun sawit ilegal di Bumi Lancang Kuning tersebut.
Panitia Khusus Monitoring dan Evaluasi Perizinan Lahan DPRD Riau menemukan sedikitnya 1,4 juta hektare hutan yang disulap menjadi perkebunan sawit oleh beragam korporasi di sejumlah daerah di Riau. Sudah tujuh perusahaan telah diseret ke ranah hukum dan diputus bersalah, termasuk PT Peputra Supra Jaya di Kabupaten Pelalawan, sisanya masih dalam tahap banding di pengadilan tingkat pertama. “Pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk menertibkan keberadaan perkebunan sawit ilegal di Riau. Dewan akan terus melakukan pengawasan termasuk melaporkan temuan dilapangan ke penegak hukum,” sebut Indera Gunawan Eed lagi yang ia mengaku sedang berangkat ke Jakarta.
Dia menambahkan, mendukung langkah Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] yang tengah melaksanakan penertiban perkebunan sawit yang berdiri tanpa izin usaha perkebunan berdasarkan putusan Mahkamah Agung [MA] Nomor: 1087 K/Pid.Sus.LH/2018 dengan objek lahan perkebunan kelapa sawit pada kawasan hutan negara itu.
Sementara itu, Gubernur Riau Syamsuar juga sempat mengeluhkan tunggakan pajak satu juta hektare lahan perkebunan sawit dari total luas 2,4 juta hektare yang terhampar di Bumi Lancang Kuning ini. “Data kita ada 2,4 juta hektare lebih kebun sawit di Riau. Namun, kenyataannya yang bayar pajak 1,19 juta. Satu juta hektare lagi ke mana?” kata Syamsuar.
Syamsuar pun mengaku, kebun sawit ilegal ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dan juga asosiasi yang menaungi petani kelapa sawit di Riau. Menurut dia, pajak menjadi sektor yang diperhatikan untuk pembangunan negara dan daerah.
KPK tekan Pemprov Riau tertibkan kebun sawit ilegal
Sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus saja melakukan dorongan, dukungan dan suport pada Pemprov Riau untuk melakukan penertiban kebun sawit ilegal yang menyebar disetiap penjuru daerah.
“Dalam catatan kami ada 1 juta hektare perkebunan sawit mengokupasi areal hutan dijadikan perkebunan kelapa sawit. Selain dikuasi masyarakat, paling besar dikuasai perusahaan tanpa izin,” kata Wakil Pimpinan KPK, Alexander Marwata.
KPK telah membuktikan dukungannya ke Pemprov Riau dengan melakukan penandatangan kesepakatan penerimaan pajak pusat dan daerah yang dihadiri Gubernur Riau, Syamsuar. Alexander menjelaskan, dari koordinasi dan supervisi (korsup) ditemukan banyak perusahaan tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Dengan demikian, perusahaan tersebut belum pernah membayar pajak selama menguasai hutan. “Perusahaan itu sudah mengeruk kekayaan bumi, namun mereka tidak pernah membayar pajak ke negara,” kata Alexander.
KPK dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga bekerjasama untuk menertibkan perusahaan yang menguasai hutan secara ilegal di Riau. Pihaknya juga akan mengajak Geospasial dengan kebijakan satu peta. “Peta di Kementerian Kehutanan bisa jadi kawasan tersebut masih hutan. Tapi fakta di lapangan sudah jadi kebun sawit,” kata Alex.
Alex minta Pemprov Riau untuk mendata ulang perusahaan tanpa izin yang menguasai lahan. “Saat ini tim korsup KPK sudah bergerak untuk wilayah Kalimantan Timur. Kita juga minta agar Pemprov Riau juga bergerak mendata perusahaan tanpa izin tadi,” kata Alex. (rp.sdp/*)
Tags : Index, kebun sawit ilegal di riau, kpk, perkebunan sawit, sawit ilegal,