LINGKUNGAN - Akhir Agustus, seekor hewan yang diduga 'harimau Jawa' tertangkap kamera berkeliaran di Padang Penggembalaan Cidaon, Taman Nasional Ujung Kulon, Banten.
Gambar tersebut beredar ke grup percakapan online dan memancing rasa penasaran: Benarkah harimau Jawa (Panthera tigris sondaicus) belum punah?
Di dalam gambar, hewan yang diduga 'harimau Jawa' itu berjalan meninggalkan bangkai seekor banteng. Banyak yang kemudian melempar spekulasi, banteng tersebut baru saja 'dimangsa', kata Didik Raharyono yang 20 tahun terakhir meneliti harimau Jawa dirilis BBC Indonesia.
Hewan yang terfoto itu 'unik' dan 'sedikit membingungkan'. Walau cukup yakin hewan tersebut macan tutul, tapi Didik mulai penasaran setelah mencermati loreng di bagian perut yang tampak seperti milik harimau.
Seekor 'Harimau Jawa' di duga tertangkap kamera berkeliaran di Taman Nasional Ujung Kulon.
Terbuka kemungkinan ini sejenis satwa hibrida —hasil persilangan dua spesies berbeda yang bisa dipicu oleh tumpang tindih habitat.
''Saya coba utak-atik foto, diterangkan dan ditajamkan. Di bagian kaki depan menuju leher ada titik-titik ciri khas macan tutul.Tapi saya penasaran, ada pola garis-garis di bagian perutnya. Jangan-jangan ini (satwa) hibrida,'' kata dia.
''Ini masih perkiraan kasar saya, butuh pendalaman lagi memang.''
Didik yakin betul yang terfoto adalah macan tutul, berpatokan pada bentuk ekornya.
''Ekornya besar dan agak panjang, separuh dari tubuhnya. Dan itu sangat menunjukkan dia macan tutul, bukan harimau loreng,'' kata Didik.
Macan tutul suka sekali manjat lalu berpindah antarpohon. Ekornya pun dipakai untuk menjaga keseimbangan. Sedangkan, harimau dinilai kurang mahir memanjat pohon dan cenderung hidup dekat permukaan tanah, akibatnya ekor harimau lebih kecil.
Meski masih sumir, Kepala Balai Taman Nasional Ujung Kulon Mamat Rahmat — otoritas tempat hewan itu terfoto — penuh harap.
''Saya harap-harap cemas. Secara personal meyakini kucing besar tersebut masih ada,'' katanya.
Mamat berpendapat hewan yang muncul di video trap pada 25 Agustus tersebut memiliki loreng menyerupai harimau. ''Dari corak warna berbeda sekali. Lorengnya mendekati loreng harimau Jawa,'' kata dia.
Sedangkan dari ukuran, menurut Mamat, hewan tersebut cenderung masih kecil. ''Kami lihat kalau dari video itu kelihatannya jantan, masih anak remaja,'' kata dia.
Mamat sudah bertugas di belantara Ujung Kulon sejak 1998 dan kerap mendapat laporan tentang keberadaan lodaya, sebutan dalam bahasa Sunda untuk Harimau Jawa.
''Pak, kami ketemu dengan lodaya,'' begitu Mamat menirukan ucapan peziarah Sanghiyang Sirah di kawasan Ujung Kulon. ''Kami ketemu, pak, lodaya makan banteng. Lodaya sedang berjemur.''
Mamat penasaran. Akhirnya diputuskan, bulan lalu video trap mulai ditanam di perbukitan Gunung Payung, Ujung Kulon. Hasilnya, kata Mamat, yang paling banyak terekam adalah rusa, kijang, kancil, dan babi hutan.
Dia menambahkan, saat itu hujan masih turun di Ujung Kulon.
''Berbeda dengan sekarang. Kondisi sekarang kemarau, maka mangsa turun ke bawah mencari sumber air di padang penggembalaan. Ini logika kenapa predator tersebut ada di sana, mengikuti pergerakan dari mangsanya,'' kata dia.
'Klaim punah itu lemah'
Agustus ini, genap dua puluh tahun Didik Raharyono mendanai riset sendiri dengan topik harimau Jawa.
''Sebab dalam pandangan ilmiah saya, klaim punah itu lemah dalam metodenya,'' kata Didik.
Dia mengaku mengantongi banyak bukti bahwa harimau Jawa masih hidup.
Didik antara tahun 2010 dan 2011 menyebutkan bahwa dia memperoleh sampel kulit dari hewan yang diduga kuat harimau Jawa. Lantaran tidak mampu mendanai uji DNA, sampel tersebut sempat dititipkan ke berbagai lembaga riset seperti Eijkman, Institut Pertanian Bogor, LIPI, UGM, dan UPI. Sampai sekarang belum ada jawaban.
''Karena keterbatasan dari sumber dana, makanya nunut (ikut) saja,'' kata dia.
''Alhamdulilah, kemarin sempat buat film dokumenter diajak teman-teman Animal Planet dari program Extinct or Alive. Semua hasil temuan saya paparkan, berikut sampel yang saya koleksi. Mereka sangat berminat,'' kata Didik senang.
Sebab kata dia, selama ini temuan sampelnya hanya sebatas poin rekomendasi. ''Untuk riset harimau saya selalu ditolak (proposalnya) dengan alasan harimau Jawa sudah punah, kenapa diteliti?''
Apa saja bukti keberadaan harimau Jawa yang dimiliki oleh Didik?
Menurut dia, kelompok pecinta alam di Jember sudah sejak lama mengoleksi plaster cast dari jejak harimau Jawa. Ukuran jejak tersebut bervariasi, dari 24 x 25 cm sampai 16 x 14 cm. ''Itu sudah di luar ukuran jejak macan tutul. Macan tutul maksimal diameter jejaknya 10 cm.''
Diantar pemburu lokal ke tepian Taman Nasional Meru Betiri, Banyuwangi, Didik juga pernah menjumpai bekas cakaran pohon setinggi 2 meter 80 cm. Lagi-lagi, menurutnya itu di luar jangkauan macan tutul yang biasanya hanya setinggi 150 cm.
''Ciri khas kukunya, jarak antar kukunya juga kita pelajari.''
''Saya sudah gembar-gembor lama tapi tidak ada institusi manapun yang berminat kerja sama di riset ini,'' ujar dia.
Sepanjang risetnya, menurut Didik temuan menarik didapat dari para pemburu dan sejumlah pencari madu serta pencari burung yang intensitas masuk hutan cukup sering dan durasinya sangat lama. Itu sebabnya peluang mereka bertemu satwa sangat tinggi.
''Pemburu, mereka sudah membedakan loreng harganya bisa Rp5 juta sampai Rp15 juta, ada syarat-syarat khusus. Kalau tutul rata-rata Rp3-4 juta kisarannya. Nah, dari situ kan mereka sudah benar-benar paham.''
Data-data masyarakat itu yang kemudian ditelusuri Didik ke lokasi.
Dari sumber data yang sama, dia menarik kesimpulan bahwa perdagangan bagian tubuh harimau Jawa masih ramai antara tahun 2004 dan 2008 sesudah status hewan tersebut dinyatakan punah.
Di Taman Nasional Meru Betiri, yang menjadi lokasi penentu kepunahan harimau Jawa, terakhir kali hewan yang diduga harimau Jawa mati terbunuh pada 2012. Sedangkan di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat, menurut Didik masih cukup sering laporan perjumpaan masyarakat dengan harimau Jawa.
Ekspedisi kucing besar
etelah menerima laporan petugas lapangan yang berhasil mendapat video hewan yang diduga harimau Jawa, Balai Taman Nasional Ujung Kulon membentuk tim khusus.
Gunanya memastikan, apakah hewan yang tampak memangsa banteng tersebut dari jenis macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) atau harimau Jawa (Panthera tigris sondaicus).
''Tim kami sudah menemukan kotoran kucing, cuma apakah itu kotoran macan tutul atau yang lainnya, masih kami kumpulkan untuk dianalisis,'' ungkap Mamat.
Tim berangkat menyisir lokasi dan mengambil sampel kotoran, cakaran, serta rambut untuk kemudian dianalisis DNA-nya. Sekaligus memasang video di lapangan.
''Mereka masih di lapangan. Kami rencanakan tim bekerja selama 10 hari. Sampai saat ini belum ada hasil, karena tim masih bekerja di lapangan.''
Wilayah yang disisir oleh tim diawali dari titik penemuan gambar, yakni Padang Penggembalaan Cidaon, di seberang Pulau Peucang. Dari situ tim terbagi dua, satu menyisir ke arah Gunung Payung, sedangkan lainnya ke arah perbukitan Talanca yang menurut Mamat merupakan habitat kucing besar.
Masyarakat dilibatkan dalam tim, kata Mamat. Ada juga seorang pengamat yang berpengalaman melakukan survei Harimau Sumatera.
Adapun Didik memberi masukan, bangkai banteng yang terlihat dekat hewan yang diduga harimau Jawa tadi sesungguhnya merekam banyak informasi.
Kalau mau mendetailkan, kata dia, bisa dilihat dimana luka pada banteng. Apakah dia mati karena dibunuh atau mati tua?
''Kalau memang bangkai banteng itu dibunuh, maka bisa kelihatan sekali bekas pembunuhan dari karnivor besarnya. Kalau ada luka bekas taring, misalnya di bagian tengkuk atau di leher banteng, itu jelas adalah bekas harimau Jawa. Dan kalau itu bekas harimau jawa, analisis saya macan tutul itu hanya melintas dan memanfaatkan itu,'' kata Didik.
Menurut dia, hewan yang mampu membunuh banteng dan mampu menerkam banteng sebesar itu hanya harimau Jawa. (*)
Tags : Seekor Harimau Jawa, Tertangkap Kamera, Berkeliaran di Taman Nasional Ujung Kulon,