Headline Artikel   2022/11/25 18:14 WIB

Sejak Awal Peradaban, Manusia Mengandalkan Rasa Manis untuk Bertahan Hidup

Sejak Awal Peradaban, Manusia Mengandalkan Rasa Manis untuk Bertahan Hidup

ADA ALASAN mengapa kita kecanduan rasa manis. Karena sejak awal peradaban, manusia mengandalkan rasa ini untuk bertahan hidup; untuk membedakan mana makanan aman dan mana beracun — yang biasanya pahit. 

Rasa manis juga menyediakan kalori tinggi dengan cepat. Dan begitu ada teknologi yang mampu mengubah tetes tebu jadi ‘madu kristal’—menggantikan  madu alami yang berasal dari lebah— tebu segera jadi favorit. 

Tebu bisa jadi salah satu tanaman paling mematikan buat manusia. Akibat budi daya rumput raksasa ini, 20 juta lebih orang Afrika ditangkap, dikerangkeng, ditempatkan di dasar-dasar kapal, dipaksa menempuh perjalanan laut yang maut, dijual, dan disuruh bekerja tanpa upah. 

Di nusantara, tebu jadi andalan untuk kebijakan Tanam Paksa pada era kolonial yang bikin warga sengsara. Hingga sekarang, gula—yang salah satunya berasal dari tebu—juga dikaitkan dengan obesitas dan diabetes.

Rakit Nugini berlayar hingga jauh 

Tebu kemungkinan berasal New Guinea. Batangnya digunakan sebagai rakit untuk melintasi lautan, menyebar ke Kepulauan Pasifik lalu ke nusantara hingga ke India. 

Di India, batang-batang tebu diolah menjadi kristal-kristal yang disebut orang Arab sebagai saccharum—ini diserap bahasa Inggris jadi sugar. 

Teknologi ini juga menyebar ke China. Dan orang-orang China lah yang membawa teknologi ini ke nusantara. 

“Sebelum kedatangan Belanda, gula telah dibudidayakan di Banten. Yang menjadi para industriawannya adalah orang-orang China dari provinsi Fukkien dan Ghuang Zhou,” kata Bondan Kanumoyoso sejarawan Universitas Indonesia (UI) seperti dilansir dari BBC News Indonesia. 

Permintaan atas kristal-kristal ini semakin melejit juga karena kreasi bangsa-bangsa Eropa yang mencampur gula dengan kopi, cokelat, dan teh ke dalam minumannya. 

Padahal di tempat asalnya, minuman-minuman ini dikonsumsi tanpa gula.

Tapi, menurut Bondan, ada satu hal lagi yang bikin gula tebu jadi komoditas favorit. 

“Kuantitas rempah yang banyak (yang jadi komoditas primadona saat itu) tidak membuat kapal itu stabil,” kata dia.

Di sinilah gula jadi semacam komoditas yang wajib diangkut. Gula dikemas dalam gentong-gentong kayu dan ditaruh di dasar kapal. 

“Gula berfungsi sebagai pemberat kapal. Jadi kapal bisa berlayar dengan stabil di samudra luas yang biasanya ombaknya sangat besar.” 

Deforestasi pertama?  

Hutan-hutan di Jawa, termasuk di Batavia, telah bertahan ribuan tahun. Menyediakan rumah dan kehidupan buat tanaman dan hewan, termasuk manusia. 

Tapi hanya butuh waktu kurang dari dua abad saja untuk hancur akibat industri tebu setelah kedatangan bangsa Eropa. Mungkin inilah deforestasi besar-besaran pertama di Pulau Jawa. 

“VOC mendorong entrepreneur China untuk membuka kebun-kebun tebu di hutan-hutan di sekitar Batavia,” kata Bondan.

Untuk memasak air gula dan menjadikannya kristal memang dibutuhkan kayu bakar. Kata Bondan, inilah yang mendorong ekspansi yang tidak terkendali sepanjang abad ke-17 dan awal abad ke-18. 

“Penggilingan gula semakin lama semakin jauh dari Kota Batavia. Pada akhir abad ke-18, penggilingan-penggilingan gula itu sudah sampai perbatasan Jawa Tengah karena hutan-hutan di sekitar Batavia, bahkan di bagian Priangan Timur terutama di daerah pesisir itu sudah habis.” 

Kejayaan yang tumbuh dari tebu

Di nusantara, pabrik-pabrik gula telah jadi mesin kolonialisme yang efektif mendatangkan uang setelah kas kerajaan Belanda terkuras gara-gara Perang Jawa. 

Setelah Tanam Paksa dan modal swasta masuk, jelang abad ke-20, pabrik-pabrik pengolahan bermekaran seperti jamur di musim hujan. 

Nina Tanjung, penulis buku Jejak Gula, menyebut di sekitar kompleks didirikan rumah sakit, lapangan tenis, dan fasilitas lainnya.

“Orang kerja di pabrik gula itu sangat sejahtera deh, rumahnya bagus-bagus dan gede,” katanya sambil mengenang masa kecilnya di Kota Surakarta yang juga punya beberapa pabrik gula besar. 

Gula telah membuat gairah seluruh kota. Kata Nina Tanjung, konsumsi batik di kota Solo meningkat. Ini juga memicu pertumbuhan pabrik batik cap di Laweyan. 

Di sekitar pabrik tumbuh tradisi Cembengan yang menandai musim panen tebu dan musim giling. Pada tradisi itu sesaji kepala kerbau dihadirkan. Sepasang tebu didandani bak pengantin lalu diarak. 

Lalu ada juga pasar malam yang segera jadi pusat hiburan masyarakat sekitar—tradisi ini terus bertahan hingga sekarang di beberapa tempat. 

Kota-kota tumbuh karena tebu. Termasuk Kota Pasuruan, yang pernah jadi salah satu kota paling kaya di Jawa. 

“Pasuruan ini suatu kota atau Regentschaap setingkat kabupaten mempunyai 27 pabrik gula. Itu yang terbanyak, “ kata Tjahjana Indra Kusuma, pegiat sejarah di Malang yang leluhurnya juga tercatat sebagai pegawai pabrik gula. 

Pada awal abad ke-20, dalam luasan lahan tebu, kawasan Pasuruan hanya kalah dari produsen nomor satu di dunia saat itu: Kuba.

Rumah-rumah mewah bergaya Eropa melimpah. Gereja, kantor-kantor, sekolah, stasiun, pecinan, pabrik, rumah-rumah bangsawan dibangun. 

“Tahun 1850-an, lampu gas yang pertama juga dimulai di situ, mendahului Batavia dan Surabaya,” tutur Tjahjana.

Gula-gula tak lagi manis

Sampai dengan abad ke-19, gula masih terhitung sebagai produk mewah yang hanya dinikmati orang-orang kaya saja. 

Dan inilah yang menyebabkan gigi-gigi bangsawan Inggris di abad itu hancur, bila dibandingkan rakyat jelatanya. 

Inggris memonopoli gula dari Hindia Barat—yang meliputi kepulauan di Laut Karibia. 

Gerah dengan monopoli, Napoleon mengembangkan tanaman yang akarnya bisa dikembangkan sebagai pengganti gula. Namanya bit. 

Tapi rekayasa akar bit sebagai pemanis baru sukses dikembangkan di Jerman, lalu dalam skala industri di Amerika bertahun-tahun setelahnya. 

Bit sukses memukul industri tebu. Belum selesai dari situ, industri tebu menghadapi penyakit sereh. Tebu yang harusnya tumbuh gagah mengerdil jadi seperti batang sereh saja. 

Di sinilah, Proefstation Oost Java, berbasis di Pasuruan, sebuah lembaga riset tebu yang didirikan perusahaan-perusahaan swasta dengan dukungan pemerintah kolonial berperan. 

POJ—sekarang Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia—melahirkan benih rekayasa yang masyhur dikenal sebagai wondercane. 

“Kita bisa bilang varietas POJ 2878 (wondercane) itu varietas tebu yang menyelamatkan industri gula dunia. Dirilis pada 1921 lalu sudah mulai disebarkan mulai 1925 dan bisa meningkatkan produksi 33 persen produksi gula dunia,” kata Edi Supriyanto Kepala Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia atau P3GI. 

Tebu unggul dari Pasuruan untuk sementara menyelamatkan industri tebu. Tapi Depresi Ekonomi dunia pada tahun tiga puluhan meluluhlantakkan semua. Tebu terkapar sekali lagi. 

Pasuruan perlahan ditinggal orang-orang kaya dan pebisnisnya. Kontribusinya terhadap ekonomi nasional semakin mengecil hingga secara administratif dilebur dengan Malang—yang kelak akan jauh lebih berkembang.

Pabrik-pabrik gula yang tersisa dilebur, ditutup, atau beroperasi seadanya. 

Yang tutup dan terbengkalai kemudian dialih-fungsi jadi museum, ruang serba guna, atau jadi rest area di jalan tol. 

Sementara P3GI masih tetap berdiri. Para penelitinya, dari ruang-ruang yang sama di kantor yang sama, masih setia menyuplai benih-benih baru dan inovasi pada seluruh perkebunan tebu, termasuk 52% di antaranya yang dikelola rakyat. (*)

Tags : Pertanian, Sejarah, Indonesia, Perubahan iklim, Anak-anak, Lingkungan, Alam, Pelestarian,