AGAMA - Pemerintahan dinasti-dinasti Muslim di Sisilia sejak era Aghlabiyah hingga Emirat memperkenalkan banyak produk peradaban Islam.
Pertama-tama, para penguasa Muslim menginisiasi reformasi agraria di sana.
Dengan demikian, menurut Ataullah Bogdan Kopanski dalam artikel Islam in Italy and Its Libyan Colony (720-1992), masyarakat dari kelas nonningrat dapat memiliki atau mengolah tanah untuk penghasilan mereka sendiri.
Dalam skala luas, pemasukan negara juga meningkat pesat, terutama dari sektor jizyah atau zakat.
Orang-orang Arab juga membangun sistem irigasi yang lebih baik dibanding peninggalan Bizantium berabad silam.
Mereka membuat sumur-sumur yang disebut qanat untuk mengangkat air dari dalam ke permukaan tanah. Kemajuan dalam bidang pengairan pada gilirannya mendukung produktivitas pertanian dan perkebunan.
Kaum Muslimin, lanjut Kopanski, memiliki keahlian dalam bertani dan berkebun. Penduduk lokal Sisilia pun belajar banyak keterampilan menumbuhkan berbagai tanaman buah dan sayuran dari mereka.
Di bawah pemerintahan bangsa Arab, orang-orang Sisilia mulai mengenal dan kemudian menghasilkan dengan baik jeruk, lemon, tebu, dan kacang pistacio.
Ibnu Hauqal, seorang ahli geografi dari Baghdad, singgah di Sisilia pada 872 M. Petualang tersebut menulis tentang pulau yang ketika itu merupakan sebuah emirat Muslim yang merdeka.
Menurut dia, istana sang amir berdiri dengan megah di Palermo, ibu kota setempat. Di de kat nya terdapat masjid agung dan katedral.
Ia juga mencatat, kehidupan di Sisilia sangat dinamis. Untuk urusan ibadah, penguasa setempat membangun masjidmasjid.
Dikatakan Ibnu Hauqal, jumlah masjid di pulau tersebut lebih banyak daripada yang ada di kota-kota lain yang pernah disambanginya. Perayaan Idul Fitri dan Idul Adha pun selalu lebih meriah.
Untuk perkara ekonomi, Emirat Sisilia mementingkan kenyamanan bisnis dan perniagaan di tengah masyarakat. Ibnu Hauqal menghitung, tidak kurang dari 150 pasar berdiri di Sisilia.
Pelabuhan-pelabuhan di kawasan pantainya tentu selalu ramai. Pulau terbesar seantero Laut Tengah ini memang sejak era pra-Islam menjadi salah satu bandar utama di Mediterania.
Emirat Sisilia pun mengembangkan beragam industri, termasuk kertas serta kerajinan emas dan perak. Para raja Muslim menetapkan koin emas yang dinamakan ruba'ya sebagai mata uang.
Dinamakan demikian karena nilainya setara seperempat dinar. Penggunaan ruba'ya diterima di kota-kota pelabuhan Mesir dan Syam.
Walaupun lebih masyhur sebagai daerah perdagangan, Sisilia tetap menghasilkan sederet ahli ilmu. Sejumlah cendekiawan Muslim menjadikan pulau itu sebagai negerinya.
Misalnya, Ismail bin Khalaf, seorang pakar ilmu qiraat yang menulis Kitab Alfi al-Qira'at; Yahya bin Umar, seorang ulama Maliki; serta Abu Bakar Muhammad at-Tamimi, pakar tasawuf yang pengikut tarekat Syekh Junaid al- Baghdadi.
Beberapa manuskrip Arab terkesan melebih-lebihkan jumlah penduduk Emirat Sisilia. Namun, umumnya sejarawan modern memperkirakan, total populasi setempat di bawah pemerintahan Islam mencapai 250 ribu hingga 350 ribu jiwa.
Mereka menunjukkan kemajemukan, dengan jumlah warga Nasrani dan Yahudi yang cukup signifikan. Semuanya hidup dengan aman di tengah mayoritas Muslim.
Walaupun pada masa kekuasaan Fathimiyah, umumnya umat Islam setempat adalah ahlussunnah yang berpaham fikih Maliki atau Hanafi.
Di samping orang Arab, Yunani, dan penduduk asli, kelompok-kelompok etnis lainnya juga dapat dijumpai di Sisilia, semisal Berber, Yahudi, Jerman, Slavia, Persia, Turki, dan Nubia.
Emirat ini menjadi zona peleburan (melting pot) budaya-budaya. Bahkan sesudah pulau tersebut lepas dari kuasa Muslimin sejak abad ke-12 M, budaya Islam tetap memengaruhi masyarakat lokal sebagai contoh, para wanita Nasrani di sana sering kali memakai hijab dan henna. (*)
Tags : sisilia, sisilia italia, penaklukkan sisilia, peradaban islam, islam taklukkan sisilia, bizantium, kejayaan islam di sisilia,