Headline Sorotan   2024/10/31 16:33 WIB

Sejak Tahun 2013 Masyarakat Adat Sudah Tak Mau Ada Lagi Perkebunan Sawit, SALAMBA: 'karena Pemerintah Lebih Lindungi Perusahaan'

Sejak Tahun 2013 Masyarakat Adat Sudah Tak Mau Ada Lagi Perkebunan Sawit, SALAMBA: 'karena Pemerintah Lebih Lindungi Perusahaan'

"Pada 2013 masyarakat adat sudah melakukan aksi tolak perkebunan karena melihat Pemerintah yang dinilai selalu lindungi dan lebih dukung perusahaan"

asyarakat adat Suku Sakai sudah melakukan aksi tolak perkebunan, karena selama ini dinilai tak jelas masuk melalui siapa bahkan tidak ada sosialisasi terlebih dahulu, ujar Beni.

Beni adalah Tokoh Pemuda di Kampung  Simpang Belutu, Siak, didepan Calon Bupati Siak Dr Afni Z menyempatkan waktu mengunjungi masyarakat Suku Sakai di Kandis, Siak Riau.

"Kami tidak mau ada perkebunan sawit masuk lagi' yang diterbitkan Pusaka dan beberapa organisasi masyarakat sipil lain selama ini," kata Beni dengan logat memastikan dan sedikit mengeluh.

Pernyataan Beni ini disampaikan dalam kunjungan calon Bupati Siak Afni Z. Seperti diskusi yang digelar organisasi masyarakat sipil bersama masyarakat adat di Kampung itu.

Masyarakat adat semakin marah setelah mengetahui pemerintah daerah telah memberikan izin keberbagai perusahaan seluas kurang lebih 20 ribu hektare di wilayah permukiman Suku Sakai.

"Suku ini terbagi beberapa sub suku, terbagi lagi dalam marga-marga, wilayah adat marga sangat kecil, jika perusahaan ambil kita makan apa, anak cucu bagaimana," kata salah satu Ketua Marga Kampung itu.

 Di sela padatnya jadwal kampanye, Calon Bupati Siak Dr Afni Z yang juga tenaga ahli menteri KLHK itu menyempatkan waktu mengunjungi masyarakat Suku Sakai di Kandis.

Di tempat sangat sederhana, calon Bupati perempuan pertama Siak ini duduk bersama puluhan warga Sakai mendengarkan curhatan dan pengaduan mereka.

Salah seorang warga suku Sakai, mewakili masyarakat menyampaikan keluh kesahnya perihal keprihatinan kehidupan sosial masyarakat. Terutama untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan pendidikan.

"Tolonglah Buk kami warga sakai di Kandis ini. Kami kesulitan belikan anak-anak kami baju sekolah. Kami sudah baca program Ibu soal baju sekolah gratis," curhat seorang ayah yang tak dapat menahan tangisnya saat menceritakan kondisi kelompoknya, pada Rabu (30/10) kemarin.

"Semoga benar terwujud  karena sangat diharapkan. Anak-anak kami malu kalau ke sekolah tidak pakai baju baru. Yang dipakai baju lama dan kadang tidak muat. Kami ingin anak-anak tetap bisa sekolah di tengah susahnya hidup kami," sebutnya lagi.

Dalam kegiatan tersebut, Dr Afni mendengarkan cerita kegiatan masyarakat Suku Sakai yang hari-harinya hanya berkebun dan menjadi buruh.

Masyarakat Suku Sakai adukan soal kesulitan ekonomi pada calon bupati Siak Dr Afni Z

Bahkan diantara mereka ada yang terpaksa bekerja kasar dengan mengutip brondolan sawit. Dan itupun kadang harus berurusan dengan aparat keamanan perusahaan.

Dan berharap Dr Afni akan terpilih menjadi Bupati Siak. Sehingga program seragam sekolah gratis dapat menjadi kenyataan dan meringankan beban para orangtua yang ingin menyekolahkan anaknya.

Tak hanya masyarakat Suku Sakai, beberapa warga di Simpang Belutu, juga Bekalar Pondok 6 Sam-Sam juga harapkan hal yang sama, mereka merasa keberatan dengan mahalnya harga seragam sekolah.

Dr Afni dalam kegiatan kampanye dialogisnya mengatakan kepada masyarakat, bahwa program seragam gratis benar-benar akan dilakukan. Meskipun banyak yang mengatakan hoaks.

"Banyak masyarakat kita yang merasa kesulitan untuk membayar seragam sekolah. Untuk itu saya menjadikan program ini prioritas guna membantu meringankan para orangtua dalam menyekolahkan anaknya," ungkapnya.

Menanggapi hal tersebut, Dr Afni berharap seluruh masyarakat dapat mendukungnya terpilih dan mewujudkan program seragam sekolah gratis.

"Uang kita di Kabupaten Siak cukup untuk itu, asalkan dilakukan efesiensi anggaran. Kegiatan yang rasanya tidak penting dihapus saja dan diganti dengan kegiatan yang bermanfaat untuk rakyat. Selain masalah seragam sekolah, kita juga ingin memperjuangkan hak rakyat terhadap hutan tanah," kata Dr Afni.

Beberapa lokasi kampanye dialogis Afni-Syamsurizal tampak ramai dibanjiri masyarakat Kandis , meski cuaca yang cukup terik tak menyurutkan niat para masyarakat hadiri kampanye Calon Bupati Siak nomor urut 2 itu.

Terlihat di lokasi kampanye Telaga Sam-sam ramai dengan ibu-ibu hampir 300 an orang memadati lokasi untuk mendengarkan orasi Calon Bupati Kelahiran Siak asli itu.

Dalam setiap titik kampanye juga didampingi beberapa tokoh penting Kandis salah satunya Ariandi Tarigan,  Marihot Tobing, juga beberapa tim koalisi dan tokoh Kandis lainnya.

Aktivis sorotin penggunaan lahan 

Tetapi Ketua Yayasan Sahabat Alam Rimba [SALAMBA] Ir. Ganda Mora M.Si mengapresiasi langkah pihak Penegakkan Hukum Kemeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (Gakkum KLHK RI), dalam proses penanganan kasus Pencemaran Lingkungan.

"Limbah dari pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) PT Sawit Inti Prima Perkasa (PT SIPP) berlokasi di KM 6 Kelurahan Pematang Pudu, Mandau, Bengkalis, Riau mencemari lingkugan," kata Ganda Mora mencontohkan kasus yang terjadi yang sudah merugikan penduduk setempat.

Selain itu, Ganda juga menyatakan apresiasinya, bukti keseriusan KLHK RI dalam penegakan hukum pada kasus pencemaran lingkungan.

Ditambahkannya, Dukungan dari Yayasan Lingkungan Sahabat Alam Rimba (SALAMBA) untuk mengawal dan mengawasi penegakan hukum kasus ini hingga Vonis Majelis Hakim dalam persidangan.

Seperti pada perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Riau PT Duta Swakarya Indah (DSI) ternyata baru memohon izin Hak Guna Usaha (HGU) tahun 2021 lalu seluas kurang lebih 900 hektare ke Badan Pertanahan Nasional.

"Puluhan tahun kuasai lahan, PT DSI baru urus HGU tahun 2023, tetapi bagi pemerintah belum ada penerimaan untuk negara," kata Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Siak, Budi Satrya.

Padahal, kata Budi Satrya, PT DSI sudah 23 tahun mendapat izin dan mengelola lahan di Siak. PT DSI awalnya mendapat Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH) dari Kementerian Kehutanan sejak 1998 seluas 13.500 hektare.

Kemudian mendapat Izin Lokasi (Ilok) yang diterbitkan Bupati Siak pada masa Bupati Arwin AS seluas 8.000 hektare.

Selanjutnya PT DSI juga mendapat Izin Usaha Perkebunan (IUP) dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) pada 2009 seluas 8.000 sama dengan luasan Ilok. Namun selama itu PT DSI tidak mengantongi HGU sebagaimana mestinya.

Budi Satrya mengungkapkan pihak PT DSI baru sekali memohon HGU pada 2021 lalu dan sampai sekarang belum terbit. Sehingga sejak berdiri, PT DSI belum memberikan pemasukan bagi negara.

"PT DSI tahun lalu baru memohon HGU dengan luas di bawah 1.000 Ha. Nah itu kami teruskan ke Kanwil karena wewenang pengukuran di atas 10 Ha itu di Kanwil, kalau kantor di Siak batas wewenang hanya 10 Ha per bidang," kata Budi menyikapi bayaknya perusahaan kebun sawit yang mulai menanamkan investasi di Siak, Senin (8/8) lalu.

Upaya memperjuangkan hutan adat Suku Sakai

Dalam perjalanannya, PT DSI sampai saat ini baru dapat mengelola 2.800 Ha dari Iloknya 8.000 Ha yang terbit di 2006.

Semestinya berdasarkan aturan agraria jika dalam setahun perusahaan tidak bisa menggarap 50 persen dari Ilok yang diperoleh maka izinnya gugur.

Kemudian dari 2.800 Ha yang digarap DSI, terdapat ada 1.300 Ha lahan yang tumpang tindih dan telah dikuasai oleh masyarakat setempat.

Bahkan alas hak lahan itu sudah berstatus Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan oleh BPN Siak.

Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Riau PT Duta Swakarya Indah (DSI) ternyata baru memohon izin Hak Guna Usaha (HGU) tahun 2021 lalu seluas kurang lebih 900 hektare ke Badan Pertanahan Nasional.

Padahal PT DSI sudah 23 tahun mendapat izin dan mengelola lahan di Siak. PT DSI awalnya mendapat Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH) dari Kementerian Kehutanan sejak 1998 seluas 13.500 hektare.

Kemudian mendapat Izin Lokasi (Ilok) yang diterbitkan Bupati Siak pada masa Bupati Arwin AS seluas 8.000 hektare.

Selanjutnya PT DSI juga mendapat Izin Usaha Perkebunan (IUP) dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) pada 2009 seluas 8.000 sama dengan luasan Ilok. Namun selama itu PT DSI tidak mengantongi HGU sebagaimana mestinya.

Budi Satrya mengungkapkan pihak PT DSI baru sekali memohon HGU pada 2021 lalu dan sampai sekarang belum terbit. Sehingga sejak berdiri, PT DSI belum memberikan pemasukan bagi negara.

Dalam perjalanannya, PT DSI sampai saat ini baru dapat mengelola 2.800 Ha dari Iloknya 8.000 Ha yang terbit di 2006.

Semestinya berdasarkan aturan agraria jika dalam setahun perusahaan tidak bisa menggarap 50 persen dari Ilok yang diperoleh maka izinnya gugur.

Kemudian dari 2.800 Ha yang digarap DSI, terdapat ada 1.300 Ha lahan yang tumpang tindih dan telah dikuasai oleh masyarakat setempat.

Bahkan alas hak lahan itu sudah berstatus Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan oleh BPN Siak.

Suku Sakai

Kembali seperti disebutkan Ganda Mora, seharusnya perusahaan buat diskusi dengan masyarakat adat atau desa.

Pada kenyataanya banyak wilayah kampung itu masuk ke dalam wilayah konsensi perusahaan yang sudah dicabut Bupati Siak.

"Kami temukan banyak pelanggaran hak masyarakat adat akibat dari penerbitan izin-izin sebelumnya," kata dia.

Pelanggaran tersebut termasuk pelanggaran prinsip free, prior, informed dan consent (FPIC), pelanggaran hak masyarakat adat, pelanggaran hak atas lingkungan, pelanggaran hak atas kesehatan dan pelanggaran penghidupan yang layak.

Ganda menguraikan, di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, masyarakat adat tidak memberikan persetujuan perusahaan mengambil alih tanah dan hutan adat.

Menurutnya, persoalan serupa juga terjadi di kampung-kampung lainnya, yang mana izin yang diberikan pemerintah daerah tidak diketahui oleh masyarakat adat.

Ganda mengungkapkan, hasil evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pemerintah Provinsi disambut masyarakat dengan melakukan unjuk rasa menuntut Pemerintah Daerah Kabupaten Siak untuk mengeluarkan keputusan mencabut izin-izin perusahaan dalam usaha perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Siak.

Kabupaten Siak harus segera melakukan tindak lanjut untuk meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersinergi.

"Kalau di laporan KPK ada banyak izin lagi yang harus ditindaklanjuti pemberian sanksi, tapi belum dilakukan pemda."

Pasca-pencabutan izin-izin perusahaan perkebunan kelapa sawit, secara tegas masyarakat menyampaikan dua hal:

Pertama, pemerintah daerah tidak lagi memberikan izin-izin baru kepada perusahaan apapun di wilayah adat masyarakat. 

Kedua, masyarakat menginginkan adanya kepastian perlindungan dan pengamanan terhadap tanah dan hutan adat dalam bentuk pengakuan hak atas wilayah adat dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

"Hasil diskusi masyarakat menyatakan sikap tidak ingin ada perkebunan kelapa sawit masuk lagi ke wilayah adatnya atau penerbitan izin-izin baru terkait perkebunan apapun."

"Masyarakat inginnya agar wilayah adat dikelola sendiri oleh masyarakat adat."

"Skap penolakan dan permintaan masyarakat tersebut dikarenakan kekhawatiran aktifitas perkebunan kelapa sawit akan menggusur hutan dan menghilangkan sumber kehidupan masyarakat adat," kata Ganda.

Masyarakat Suku Sakai Pasang Plank di Perkebunan Sawit Desa Bumbung

Menurutnya, masyarakat adat (Suku Sakai) sudah mengalami dan melihat dampak dari aktifitas perusahaan perkebunan kelapa sawit di Distrik Wilayahnya.

Masyarakat adat setempat kehilangan mata pencaharian dan menjadi buruh perusahaan, kehidupan masyarakat adat tidak mengalami kesejahteraan sebagaimana yang dijanjikan.

Di Kampung-kampung masyarakat adat Suku Sakai di Siak, masyarakat adat memprioritaskan merawat pohon langsat hutan, buah langsat Wersar sangat terkenal karena manisnya.

Bila musim panen masyarakat memperoleh untung besar.

Begitu juga masyarakat adat mengelola hasil hutan berupa damar dan gaharu.

Masyarakat pernah merasakan kekecewaan dengan program yang dilaksanakan pemerintah daerah, masyarakat diminta membuka lahan untuk mengembangkan pohon jati dan kakao, setelah ditanam dan proses perawatan program berhenti.

Saat masa panen, hasilnya tidak terserap pasar. Saat ini, jati dan kakao dibiarkan tumbuh tanpa perawatan.

Selain berkebun dan memanfaatkan hasil hutan, masyarakat juga mengelola dan menjual pasir, buat bahan bangunan.

Masyarakat telah mengatur jadwal penjualan setiap kampung secara bergantian, pengelolaan mandiri telah dilakukan masyarakat.

Ganda menuturkan, beragam dampak negatif dirasakan masyarakat adat atas masuknya perkebunan sawit di wilayah adat, seperti, hilangnya budaya dan adat istiadat.

"Dimana perkebunan kelapa sawit mengkonversi dan menggusur kawasan hutan dan lahan dalam skala luas, yang akan menghilangkan tempat sejarah asal-usul, tempat sakral, properti adat, yang diyakini masyarakat sebagai tempat penting dan identitas masyarakat adat," kata dia.

"Kemudian dampak ekologis," katanya.

Potensi kehilangan ratusan ribu hektare hutan beralih menjadi perkebunan kelapa sawit akan berdampak menurunkan kualitas ekologis lingkungan dan terjadinya pemanasan iklim dengan menurunnya fungsi tanah, air, udara, hilangkan keanekaragaman hayati (flora dan fauna), yang pada gilirannya menurunkan kualitas hidup masyarakat.

"Selanjutnya, juga kehilangan orientasi hidup," sebutnya.

Masyarakat adat mempunyai kehidupan erat dan tergantung mengelola tanah dan hutan secara mandiri. Hilangnya hutan akan mengubah mata pencaharian dan menjadikan masyarakat sebagai buruh kasar.

Menurutnya, praktik itu terjadi di berbagai tempat yang mengubah masyarakat masuk ke dalam corak ekonomi industri dan merugikan masyarakat, karena tidak merasa lagi sebagai pemilik atas ruang hidupnya.

Berikutnya, hilangnya pendapatan masyarakat. Perkebunan kepala sawit dengan sistem tebang hutan habis dan mengganti tanaman dengan monokultur, menghilangkan pengelolaan hutan yang sejak lama dilakukan sekaligus pendapatan masyarakat.

Pengelolaan hutan yang dilakukan saat ini memberikan pendapatan ekonomi bagi masyarakat dalam skala rumah tangga. Mencukupi kebutuhan pangan dan papan.

Bagi masyarakat pengelolaan hutan saat ini sudah cukup menunjang kebutuhannya, sebutnya.

Rekomendasi masyarakat adat suku sakai

Pemerintah Daerah Kabupaten Siak melakukan pengakuan masyarakat adat menggunakan instrumen hukum PermendagriNomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat melalui keputusan kepala daerah atau membentuk Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat yang memuat pengakuan kepada masyarakat adat, perlindungan dan pengakuan wilayah adat hak-hak masyarakat adat.

Pemerintah Daerah kabupaten Siak terus memantau dan menghentikan pembangunan berbasis industri yang merampas tanah dan hutan adat masyarakat dengan cara tidak memberikan izin apapun kepada perusahaan atau pihak lain.

Pemerintah Daerah Kabupaten Siak menghormati dan mengembangkan upaya pengelolaan hutan dan ekonomi rakyat yang dilakukan oleh masyarakat adat.

Pemerintah Daerah Kabupaten Siak segera menindaklanjuti secara keseluruhan temuan dan rekomendasi Laporan Hasil evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Provinsi Riau.

Menurutnya, penolakan perkebunan sawit sebetulnya tidak hanya dilakukan oleh Suku Sakai itu saja. Namun Suku Besar lainnya, juga menolak perkebunan sawit masuk di wilayah adatnya.

Tetapi kembali dis3but Beni, tokoh masyarakat Suku Sakai itu diakui juga punya relawan di wilayah permukimannya.

"Secara individu dan kelompok suku, mereka 100 persen menolak sawit. Hanya beberapa tokoh saja di wilayah ini yang dibungkam suaranya," kata dia.

Penolakan yang dilakukan Suku Sakai, terutama yang dilakukan oleh masyarakat adat terhadap kehadiran PT DSI yang sebenarnya sudah mulai disuarakan oleh masyarakat sejak 2013.

Sejak itu hampir setiap tahun masyarakat adat menyampaikan protes kehadiran PT DSI itu kepada pemerintah daerah.

"Terakhir 2019 itu mereka melakukan upacara adat penolakan kelapa sawit. Namun tidak dipublis secara luas," sebutnya.

Sementara itu, menurut Ganda Mora lagi, mengenai penolakan perkebunan sawit oleh Suku Sakai, memang tidak terlalu gencar mengemuka.

"Selain karena hanya beberapa kepala keluarga saja yang tanahnya masuk dalam areal izin perkebunan sawit, keterlibatan pemuda dan tokoh wilayahnya dalam menolak kehadiran perkebunan sawit di distrik itu juga kurang greget," ungkapnya menilai.

Datuk Puyan

Perjuangan Suku Sakai yang melelahkan 

Tengok seperti disebutkan Datuk Puyan, Ia mengaku perjuangan Suku Sakai untuk mempertahankan lahannya tidak dicaplok oleh pengusaha sawit sungguh melelahkan hingga selama 20 tahun terakhir ini.

Lahan Suku Batin Botuah (Suku Sakai) dicaplok dan dijadikan kebun sawit selama 20 tahun terakhir tidak memiliki kejelasan

Seluas 7.800 hektar lahan persukuan Batin Batuoh Suku Sakai dikuasai oleh PT Murini Wood Indah Industri (MWII) dijadikan kebun sawit selama 20 tahun tanpa ada kontribusi.

Bagindo Raja Puyan, Kepala Suku Batin Botuah (Suku Sakai) tetap memerjuangkan kembali lahannya yang dicaplok pengusaha sawit.

Selama 20 tahun terakhir, warga disini (Desa Batin So Lapan dan Desa Botuah Kecamatan Batin so Lapan), Bengkalis memmerjuangkan tanahnya 7.800 hektare. Tanah kami dicaplok dijadikan kebun sawit, kata Puyan.

Puyan memmerjuangkan haknya sejak 10 tahun terakhir atas lahan yang dicaplok pertama melakukan gugatan Perdata Nomor 06/PDT.G/2008/PN.DUM, tanggal 20 Februari 2008 terhadap lahan 2.100 hektar (masuk pada kawasan hutan konfersi) dikelola MWII tanpa pelepasan hutan dan tanpa memilik Hak Guna Usaha (HGU).

Gugatan pertama itu hasilnya dinyatakan NO (Niet Onytvankelijkverklarard) disebabkan objek perkara ulayat yang menjadi gugatan adalah 10.000 hektar.

Karena yang digugat 2.100 hektar sehingga Majelis Hakim berpendapat objek gugatan tidak jelas oleh karena penggugat tidak menjelaskan batas-batas tanah ulayat seluas 2.100 tersebut yang ada hanya batas tanah seluas 10.000 hektar bukan 2.100 ha, kata Ganda Mora yang mengaku mendapat kuasa dari Batin Batuoh Suku Sakai.

Satu sisinya, kata Ganda, pihak perusahaan melakukan banding sampai PK (Peninjauan Kembali) karena tidak menerima putusan NO Pengadilan Dumai.

Namun hasilnya pihak Mahkamah Agung (MA) menolak hasil banding perusahaan itu. Tapi putusan MA belum membuat Datuk Puyan bernapas lega.

Demi memperjuangkan tanahnya yang sudah didirikan kebun sawit permanen.

Gugatan pertama diterima oleh Pengadilan Negeri (PN) Dumai diperkuat karena dasar kepemilikan tanah ulayat yang diterbitkan berdasarkan peta renkotruksi batas tanah ulayat Batin So Lapan Suku Sakai Botuah berdasarkan piagam perjanjian (Besluit), Kerajaan Siak Sri Indrapura dengan Gouverlemen Hindia Nederland (Kerajaan Hindia Belanda) 28 Februari 1940 bersamaan hari 15 Muharam 1859, terang Ganda Mora yang yang juga dari Barisan Relawan Jokowi Presiden (BARA-JP) ini.

BARA-JP melayangkan surat kepada Presiden RI melalui Kepala Staf Kepresidenan dengan nomor 023/LAP-BARAJP/VII/2019, tanggal 3 Juli 2019 tentang; mohon perlindungan hukum atas penyerobotan lahan Batin Batuoh oleh PT Murini Wood Indah Industri (MWII), agar Presiden membentuk tim untuk membantu persoalan tersebut.

Tak sampai di situ, Datuk Puyan kembali melakukan upaya hukum lain, yang dikuasakan pada IPSPK3 RI melaporkan para pengusaha yang diduga berbuat tindak pidana melanyangkan surat Nomor 023/LAP-IPSPK3 RI/VII/2019, tanggal 3 Juli 2019 terkait dugaan penggelapan pajak atas alih fungsi lahan diatas hutan produksi konversi selama 14 tahun atas lahan seluas 2.300 hektar.

"Ini contoh akibat kesalahan BPN Bengkalis menerbitakan HGU sebelum pelepasan kawasan oleh Menteri KLHK, kemudian laporan dugaan korupsi dan kolusi antara PT Murini Wood Indah Industri (MWII) atas pemutihan lahan seluas 1.465,17 hektar setelah 14 tahun dikuasai dan dimanafaatkan untuk perkebunan kelapa sawit dan berpotensi merugikan negara dan laporan penerimaan ganti rugi tanah atas pembangunan jalan tol," kata dia.

Atas perkara dalam laporan ini, sebutnya, Polda Riau belum melakukan penyegelan terhadap lahan yang dikuasai perusahaan itu.

Satu sisinya Ganda mengapresiasi langkah hukum kepolisian.

Lahan yang sudah menjadi kebun sawit itu ternyata sudah menghasilkan walaupun diduga bodong. Kami mengharapkan pihak perusahaan menghormati proses ini.

"Kami apresiasi upaya yang dilakukan aparat hukum walaupun belum memasang plang penyegelan, yang bertuliskan lahan sedang bermasalah hukum," jelasnya.

Ganda menilai, berdasarkan berbagai putusan yang didapat pendamping kami baik data-data dan syahnya kepemilikan tanah oleh Datuk Puyan, rasanya sudah cukup negara ini untuk mengakui legalitas kepemilikan tanah 10.000 hektare itu yang selama ini diserobot dan dicaplok oleh pengusaha MWII.

"Kita mengharapkan Presiden segera membentuk tim dan menindaknya, mengingat dalam waktu dekat Raja Datuk Puyan akan mendaftarkan gugatan baru atas keseluruhan lahan 10.000 hektar yang dikusai PT Murini Wood Indah Industrik," ungkapnya.

"Kita sudah memerjuangkan pendamping kita (Datuk Puyan) sejak lama, yakni tahun 2008," ujar Ganda.

"Kita juga minta pada pemerintah melalui BPN agar tidak memperpanjang HGU perusahaan, namun lokasi berpekara itu dapat dijadikan TORA untuk dibagikan kepada masyarakat, anak kemanakan Datuk Batin Batuoh," tambahnya.

Namun Ganda kembali menerangkan, di percepatnya reforma agraria melalui TORA saat ini dinilainya sudah clean and clear datanya.

Maksudnya, keberadaan tanah, jumlah luasan, dan pengusul sudah jelas.

Di tingkat calon penerima pun, tak ada perbedaan pendapat menyangkut sistem dan luasan bagian atas tanah, terangnya.

Pada anak kemanakan Suku Sakai pun kini tengah mempersiapkan data lahan yang akan diusulkan dan bersedia masuk TORA program reforma agraria Kabupaten Bengkalis.

Jadi Ganda Mora menyimpulkan, ada dua skema yang bisa dijalankan dalam reforma agraria. Pertama, redistribusi tanah yakni tanah sengketa akan diserahkan dan diatasnamakan suku sakai, baik secara komunal maupun pribadi. Kedua, perhutanan sosial dimana tanah tetap dimiliki oleh negara, namun dikelola oleh masyarakat dengan sejumlah perjanjian bagi hasil. (*)

Tags : kebun sawit, tolak kebunsawit, masyarakat adat tolak kebun sawit, sejak tahun 2013 masyarakat adat tolak perkebunan, masyarakat adat tak mau masuk sawit, riau, pemerintah lebih lindungi perusahaan sawit, sorotan, riaupagi.com,