Sorotan   2024/10/31 16:33 WIB

Sejak Tahun 2013 Masyarakat Adat Sudah Tak Mau Ada Lagi Perkebunan Sawit, SALAMBA: 'karena Pemerintah Lebih Lindungi Perusahaan'

Sejak Tahun 2013 Masyarakat Adat Sudah Tak Mau Ada Lagi Perkebunan Sawit, SALAMBA: 'karena Pemerintah Lebih Lindungi Perusahaan'

"Pada 2013 masyarakat adat sudah melakukan aksi tolak perkebunan karena melihat Pemerintah yang dinilai selalu lindungi dan lebih dukung perusahaan"

asyarakat adat Suku Sakai sudah melakukan aksi tolak perkebunan, karena selama ini dinilai tak jelas masuk melalui siapa bahkan tidak ada sosialisasi terlebih dahulu, ujar Beni.

Beni adalah Tokoh Pemuda di Kampung  Simpang Belutu, Siak, didepan Calon Bupati Siak Dr Afni Z menyempatkan waktu mengunjungi masyarakat Suku Sakai di Kandis, Siak Riau.

"Kami tidak mau ada perkebunan sawit masuk lagi' yang diterbitkan Pusaka dan beberapa organisasi masyarakat sipil lain selama ini," kata Beni dengan logat memastikan dan sedikit mengeluh.

Pernyataan Beni ini disampaikan dalam kunjungan calon Bupati Siak Afni Z. Seperti diskusi yang digelar organisasi masyarakat sipil bersama masyarakat adat di Kampung itu.

Masyarakat adat semakin marah setelah mengetahui pemerintah daerah telah memberikan izin keberbagai perusahaan seluas kurang lebih 20 ribu hektare di wilayah permukiman Suku Sakai.

"Suku ini terbagi beberapa sub suku, terbagi lagi dalam marga-marga, wilayah adat marga sangat kecil, jika perusahaan ambil kita makan apa, anak cucu bagaimana," kata salah satu Ketua Marga Kampung itu.

 Di sela padatnya jadwal kampanye, Calon Bupati Siak Dr Afni Z yang juga tenaga ahli menteri KLHK itu menyempatkan waktu mengunjungi masyarakat Suku Sakai di Kandis.

Di tempat sangat sederhana, calon Bupati perempuan pertama Siak ini duduk bersama puluhan warga Sakai mendengarkan curhatan dan pengaduan mereka.

Salah seorang warga suku Sakai, mewakili masyarakat menyampaikan keluh kesahnya perihal keprihatinan kehidupan sosial masyarakat. Terutama untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan pendidikan.

"Tolonglah Buk kami warga sakai di Kandis ini. Kami kesulitan belikan anak-anak kami baju sekolah. Kami sudah baca program Ibu soal baju sekolah gratis," curhat seorang ayah yang tak dapat menahan tangisnya saat menceritakan kondisi kelompoknya, pada Rabu (30/10) kemarin.

"Semoga benar terwujud  karena sangat diharapkan. Anak-anak kami malu kalau ke sekolah tidak pakai baju baru. Yang dipakai baju lama dan kadang tidak muat. Kami ingin anak-anak tetap bisa sekolah di tengah susahnya hidup kami," sebutnya lagi.

Dalam kegiatan tersebut, Dr Afni mendengarkan cerita kegiatan masyarakat Suku Sakai yang hari-harinya hanya berkebun dan menjadi buruh.

Bahkan diantara mereka ada yang terpaksa bekerja kasar dengan mengutip brondolan sawit. Dan itupun kadang harus berurusan dengan aparat keamanan perusahaan.

Dan berharap Dr Afni akan terpilih menjadi Bupati Siak. Sehingga program seragam sekolah gratis dapat menjadi kenyataan dan meringankan beban para orangtua yang ingin menyekolahkan anaknya.

Tak hanya masyarakat Suku Sakai, beberapa warga di Simpang Belutu, juga Bekalar Pondok 6 Sam-Sam juga harapkan hal yang sama, mereka merasa keberatan dengan mahalnya harga seragam sekolah.

Dr Afni dalam kegiatan kampanye dialogisnya mengatakan kepada masyarakat, bahwa program seragam gratis benar-benar akan dilakukan. Meskipun banyak yang mengatakan hoaks.

"Banyak masyarakat kita yang merasa kesulitan untuk membayar seragam sekolah. Untuk itu saya menjadikan program ini prioritas guna membantu meringankan para orangtua dalam menyekolahkan anaknya," ungkapnya.

Menanggapi hal tersebut, Dr Afni berharap seluruh masyarakat dapat mendukungnya terpilih dan mewujudkan program seragam sekolah gratis.

"Uang kita di Kabupaten Siak cukup untuk itu, asalkan dilakukan efesiensi anggaran. Kegiatan yang rasanya tidak penting dihapus saja dan diganti dengan kegiatan yang bermanfaat untuk rakyat. Selain masalah seragam sekolah, kita juga ingin memperjuangkan hak rakyat terhadap hutan tanah," kata Dr Afni.

Beberapa lokasi kampanye dialogis Afni-Syamsurizal tampak ramai dibanjiri masyarakat Kandis , meski cuaca yang cukup terik tak menyurutkan niat para masyarakat hadiri kampanye Calon Bupati Siak nomor urut 2 itu.

Terlihat di lokasi kampanye Telaga Sam-sam ramai dengan ibu-ibu hampir 300 an orang memadati lokasi untuk mendengarkan orasi Calon Bupati Kelahiran Siak asli itu.

Dalam setiap titik kampanye juga didampingi beberapa tokoh penting Kandis salah satunya Ariandi Tarigan,  Marihot Tobing, juga beberapa tim koalisi dan tokoh Kandis lainnya.

Aktivis sorotin penggunaan lahan 

Tetapi Ketua Yayasan Sahabat Alam Rimba [SALAMBA] Ir. Ganda Mora M.Si mengapresiasi langkah pihak Penegakkan Hukum Kemeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (Gakkum KLHK RI), dalam proses penanganan kasus Pencemaran Lingkungan yang disebabkan Limbah dari Pabrik Minyak Kelapa Sawit (PMKS) PT Sawit Inti Prima Perkasa (PT SIPP) yang berlokasi di KM 6 Kelurahan Pematang Pudu, Mandau, Bengkalis, Riau.

"Itu contoh masuknya perusahaan dan menguasai lahan didaerah sudah merugukan penduduk setempat.," kata dia.

Dia mengapresiasi setelah penyidik KLHK RI Menahan Erick Kurniawan selaku Direktur Pabrik Kelapa Sawit PT SIPP di Rutan kelas I Salemba dan Agus Nugroho selaku Manager Pabrik Kelapa Sawit PT SIPP di Rumah Tahanan Bareskrim Mabes Polri, Sebagai diduga Tersangka pencemaran Lingkungan.

“SALAMBA mengapresiasi kinerja penyidik Gakkum KLHK RI yang telah Menahan dua tersangka diduga Pelaku Pencemaran lingkungan yang terjadi di kelurahan Pematang Pudu, Mandau, Bengkalis.” 

Selain itu, Ganda juga menyatakan apresiasinya, Bukti Keseriusan KLHK RI dalam penegakan hukum pada kasus Pencemaran Lingkungan ini.

“Penyidik KLHK RI, tidak hanya menahan manager, Namun juga menahan dan menetapkan Top Leader atau Direktur PT. SIPP sebagai Tersangka dugaan pelanggaran UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana diubah dengan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo Pasal 55 KUHAP, sehingga PT SIPP terbukti melakukan pencemaran lingkungan. Ini bukti keseriusan KLHK RI,” kata Ir Ganda Mora, aktifis lingkungan yang getol melaporkan berbagai kasus kerusakan dan pencemaran Lingkungan ke Aparat Berwenang di Provinsi Riau.

Ditambahkannya, Dukungan dari Yayasan Lingkungan Sahabat Alam Rimba (SALAMBA) untuk mengawal dan mengawasi penegakan hukum kasus ini hingga Vonis Majelis Hakim dalam persidangan nanti.

"Kami akan mensupport dan mengawal kinerja Aparat Penegak Hukum, diutarakannya, dalam rangka pelestarian lingkungan, dan kami juga akan turut mengawasi kasus ini agar sanksi benar -benar diterapkan dari tingkat Penyidik, Jaksa Penuntut dan sampai ke Hakim, untuk memberikan sanksi berat yaitu sesuai ancaman Pidana kurungan 10 tahun penjara dan denda Rp. 10.000.000.000,-  (Sepuluh Milyar Rupiah).

“Dengan kasus ini, semoga menjadi efek jera dan juga sebagai percontohan bagi perusahaan pabrik kelapa sawit ‘nakal’ yang ada di Indonesia, khususnya di Riau agar tidak merusak dan mencemari lingkungan,” pungkasnya.

Puluhan tahun perusahaan kuasai lahan

Seperti pada perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Riau PT Duta Swakarya Indah (DSI) ternyata baru memohon izin Hak Guna Usaha (HGU) tahun 2021 lalu seluas kurang lebih 900 hektare ke Badan Pertanahan Nasional.

"Puluhan tahun kuasai lahan, PT DSI baru urus HGU tahun 2023, tetapi bagi pemerintah belum ada penerimaan untuk negara," kata Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Siak, Budi Satrya.

Padahal, kata Budi Satrya, PT DSI sudah 23 tahun mendapat izin dan mengelola lahan di Siak. PT DSI awalnya mendapat Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH) dari Kementerian Kehutanan sejak 1998 seluas 13.500 hektare.

Kemudian mendapat Izin Lokasi (Ilok) yang diterbitkan Bupati Siak pada masa Bupati Arwin AS seluas 8.000 hektare.

Selanjutnya PT DSI juga mendapat Izin Usaha Perkebunan (IUP) dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) pada 2009 seluas 8.000 sama dengan luasan Ilok. Namun selama itu PT DSI tidak mengantongi HGU sebagaimana mestinya.

Budi Satrya mengungkapkan pihak PT DSI baru sekali memohon HGU pada 2021 lalu dan sampai sekarang belum terbit. Sehingga sejak berdiri, PT DSI belum memberikan pemasukan bagi negara.

"PT DSI tahun lalu baru memohon HGU dengan luas di bawah 1.000 Ha. Nah itu kami teruskan ke Kanwil karena wewenang pengukuran di atas 10 Ha itu di Kanwil, kalau kantor di Siak batas wewenang hanya 10 Ha per bidang," kata Budi menyikapibayaknya perusahaan kebun sawit yang mulai menanamkan investasi di Siak, Senin (8/8) lalu.

Dalam perjalanannya, PT DSI sampai saat ini baru dapat mengelola 2.800 Ha dari Iloknya 8.000 Ha yang terbit di 2006.

Semestinya berdasarkan aturan agraria jika dalam setahun perusahaan tidak bisa menggarap 50 persen dari Ilok yang diperoleh maka izinnya gugur.

Kemudian dari 2.800 Ha yang digarap DSI, terdapat ada 1.300 Ha lahan yang tumpang tindih dan telah dikuasai oleh masyarakat setempat. Bahkan alas hak lahan itu sudah berstatus Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan oleh BPN Siak.

Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Riau PT Duta Swakarya Indah (DSI) ternyata baru memohon izin Hak Guna Usaha (HGU) tahun 2021 lalu seluas kurang lebih 900 hektare ke Badan Pertanahan Nasional.

Padahal PT DSI sudah 23 tahun mendapat izin dan mengelola lahan di Siak. PT DSI awalnya mendapat Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH) dari Kementerian Kehutanan sejak 1998 seluas 13.500 hektare. Kemudian mendapat Izin Lokasi (Ilok) yang diterbitkan Bupati Siak pada masa Bupati Arwin AS seluas 8.000 hektare.

Selanjutnya PT DSI juga mendapat Izin Usaha Perkebunan (IUP) dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) pada 2009 seluas 8.000 sama dengan luasan Ilok. Namun selama itu PT DSI tidak mengantongi HGU sebagaimana mestinya.

Budi Satrya mengungkapkan pihak PT DSI baru sekali memohon HGU pada 2021 lalu dan sampai sekarang belum terbit. Sehingga sejak berdiri, PT DSI belum memberikan pemasukan bagi negara.

Dalam perjalanannya, PT DSI sampai saat ini baru dapat mengelola 2.800 Ha dari Iloknya 8.000 Ha yang terbit di 2006. Semestinya berdasarkan aturan agraria jika dalam setahun perusahaan tidak bisa menggarap 50 persen dari Ilok yang diperoleh maka izinnya gugur.

Kemudian dari 2.800 Ha yang digarap DSI, terdapat ada 1.300 Ha lahan yang tumpang tindih dan telah dikuasai oleh masyarakat setempat. Bahkan alas hak lahan itu sudah berstatus Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan oleh BPN Siak

Kembali seperti disebutkan Ganda Mora, seharusnya perusahaan buat diskusi dengan masyarakat adat atau desa. Pada kenyataanya banyak wilayah kampung itu masuk ke dalam wilayah konsensi perusahaan yang sudah dicabut Bupati Siak.

"Kami temukan banyak pelanggaran hak masyarakat adat akibat dari penerbitan izin-izin sebelumnya," kata dia.

Pelanggaran tersebut termasuk pelanggaran prinsip free, prior, informed dan consent (FPIC), pelanggaran hak masyarakat adat, pelanggaran hak atas lingkungan, pelanggaran hak atas kesehatan dan pelanggaran penghidupan yang layak.

Ganda menguraikan, di di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, masyarakat adat tidak memberikan persetujuan perusahaan mengambil alih tanah dan hutan adat.

Menurutnya, persoalan serupa juga terjadi di kampung-kampung lainnya, yang mana izin yang diberikan pemerintah daerah tidak diketahui oleh masyarakat adat.

Ganda mengungkapkan, hasil evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pemerintah Provinsi disambut masyarakat dengan melakukan unjuk rasa menuntut Pemerintah Daerah Kabupaten Siak untuk mengeluarkan keputusan mencabut izin-izin perusahaan dalam usaha perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Siak.

Kabupaten Siak harus segera melakukan tindak lanjut untuk meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersinergi.

"Kalau di laporan KPK ada banyak izin lagi yang harus ditindaklanjuti pemberian sanksi, tapi belum dilakukan pemda."

Pasca-pencabutan izin-izin perusahaan perkebunan kelapa sawit, secara tegas masyarakat menyampaikan dua hal. Yang pertama, pemerintah daerah tidak lagi memberikan izin-izin baru kepada perusahaan apapun di wilayah adat masyarakat. Yang kedua, masyarakat menginginkan adanya kepastian perlindungan dan pengamanan terhadap tanah dan hutan adat dalam bentuk pengakuan hak atas wilayah adat dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

"Hasil diskusi masyarakat menyatakan sikap tidak ingin ada perkebunan kelapa sawit masuk lagi ke wilayah adatnya atau penerbitan izin-izin baru terkait perkebunan apapun. Masyarakat inginnya agar wilayah adat dikelola sendiri oleh masyarakat adat."

Ganda melanjutkan, sikap penolakan dan permintaan masyarakat tersebut dikarenakan kekhawatiran aktifitas perkebunan kelapa sawit akan menggusur hutan dan menghilangkan sumber kehidupan masyarakat adat.

Masyarakat adat (Suku Sakai) sudah mengalami dan melihat dampak dari aktifitas perusahaan perkebunan kelapa sawit di Distrik Wilayahnya. Masyarakat adat setempat kehilangan mata pencaharian dan menjadi buruh perusahaan, kehidupan masyarakat adat tidak mengalami kesejahteraan sebagaimana yang dijanjikan.

Di Kampung-kampung masyarakat adat Suku Sakai di Siak, masyarakat adat memprioritaskan merawat pohon langsat hutan, buah langsat Wersar sangat terkenal karena manisnya. Bila musim panen masyarakat memperoleh untung besar.

Begitu juga masyarakat adat mengelola hasil hutan berupa damar dan gaharu. Masyarakat pernah merasakan kekecewaan dengan program yang dilaksanakan pemerintah daerah, masyarakat diminta membuka lahan untuk mengembangkan pohon jati dan kakao, setelah ditanam dan proses perawatan program berhenti.

Saat masa panen, hasilnya tidak terserap pasar. Saat ini, jati dan kakao dibiarkan tumbuh tanpa perawatan.

Selain berkebun dan memanfaatkan hasil hutan, masyarakat juga mengelola dan menjual pasir, buat bahan bangunan.

Masyarakat telah mengatur jadwal penjualan setiap kampung secara bergantian, pengelolaan mandiri telah dilakukan masyarakat.

Ganda menuturkan, beragam dampak negatif dirasakan masyarakat adat atas masuknya perkebunan sawit di wilayah adat. Seperti, hilangnya budaya dan adat istiadat. Yang mana, perkebunan kelapa sawit mengkonversi dan menggusur kawasan hutan dan lahan dalam skala luas, yang akan menghilangkan tempat sejarah asal-usul, tempat sakral, properti adat, yang diyakini masyarakat sebagai tempat penting dan identitas masyarakat adat.

Kemudian dampak ekologis. Potensi kehilangan ratusan ribu hektare hutan beralih menjadi perkebunan kelapa sawit akan berdampak menurunkan kualitas ekologis lingkungan dan terjadinya pemanasan iklim dengan menurunnya fungsi tanah, air, udara, hilangkan keanekaragaman hayati (flora dan fauna), yang pada gilirannya menurunkan kualitas hidup masyarakat.

Selanjutnya, kehilangan orientasi hidup.

Masyarakat adat mempunyai kehidupan erat dan tergantung mengelola tanah dan hutan secara mandiri.

Hilangnya hutan akan mengubah mata pencaharian dan menjadikan masyarakat sebagai buruh kasar.

Praktik ini terjadi di berbagai tempat yang mengubah masyarakat masuk ke dalam corak ekonomi industri dan merugikan masyarakat, karena tidak merasa lagi sebagai pemilik atas ruang hidupnya.

Berikutnya, hilangnya pendapatan masyarakat. Perkebunan kepala sawit dengan sistem tebang hutan habis dan mengganti tanaman dengan monokultur, menghilangkan pengelolaan hutan yang sejak lama dilakukan sekaligus pendapatan masyarakat.

Pengelolaan hutan yang dilakukan saat ini memberikan pendapatan ekonomi bagi masyarakat dalam skala rumah tangga. Mencukupi kebutuhan pangan dan papan. Bagi masyarakat pengelolaan hutan saat ini sudah cukup menunjang kebutuhan.

Rekomendasi masyarakat adat suku sakai

Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong Selatan melakukan pengakuan masyarakat adat menggunakan instrumen hukum PermendagriNomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat melalui keputusan kepala daerah atau membentuk Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat yang memuat pengakuan kepada masyarakat adat, perlindungan dan pengakuan wilayah adat hak-hak masyarakat adat.

Pemerintah Daerah Kabupaten Siak melakukan perubahan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sorong Selatan, untuk memastikan pengaturan wilayah masyarakat adat ke dalam RTRW.

Pemerintah Daerah kabupaten Siak menghentikan pembangunan berbasis industri yang merampas tanah dan hutan adat masyarakat dengan cara tidak memberikan izin apapun kepada perusahaan atau pihak lain.

Pemerintah Daerah Kabupaten Siak menghormati dan mengembangkan upaya pengelolaan hutan dan ekonomi rakyat yang dilakukan oleh masyarakat adat.

Pemerintah Daerah Kabupaten Siak segera menindaklanjuti secara keseluruhan temuan dan rekomendasi Laporan Hasil evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Provinsi Riau.

Menurutnya, penolakan perkebunan sawit sebetulnya tidak hanya dilakukan oleh Suku Sakai itu saja. Namun Suku Besar lainnya, juga menolak perkebunan sawit masuk di wilayah adatnya.

"Kami juga punya relawan di wilayah ini. Secara individu dan kelompok suku, mereka 100 persen menolak sawit. Hanya beberapa tokoh intelektual saja di wilayah ini yang dibungkam suaranya," kata dia.

Penolakan yang dilakukan Suku Sakai, terutama yang dilakukan oleh masyarakat adat terhadap kehadiran PT DSI sebenenarnya sudah mulai disuarakan oleh masyarakat sejak 2013.

Sejak itu hampir setiap tahun masyarakat adat menyampaikan protes kehadiran PT DSI itu kepada pemerintah daerah.

"Terakhir 2019 itu mereka melakukan upacara adat penolakan kelapa sawit. Namun tidak dipublis secara luas."

Sementara itu, kata Ganda Mora lagi, mengenai penolakan perkebunan sawit oleh Suku Sakai, memang tidak terlalu gencar mengemuka. Selain karena hanya beberapa kepala keluarga saja yang tanahnya masuk dalam areal izin perkebunan sawit, keterlibatan pemuda dan tokoh intelektual dalam menolak kehadiran perkebunan sawit di  distrik itu juga kurang greget. (*)

Tags : kebun sawit, tolak kebunsawit, masyarakat adat tolak kebun sawit, sejak tahun 2013 masyarakat adat tolak perkebunan, masyarakat adat tak mau masuk sawit, riau, pemerintah lebih lindungi perusahaan sawit,