KH Hasyim Asyari merintis berdirinya Ponpes Tebuireng.
AGAMA - KH Hasyim Asy'ari lahir di Jombang (Jawa Timur) pada 14 Februari 1871. Sejak masih muda, dirinya menuntut ilmu di pelbagai pondok pesantren (ponpes); dan kemudian Masjidil Haram, Makkah al-Mukarramah.
Begitu kembali dari Tanah Suci, Kiai Hasyim Asy'ari mendapati bahwa Dukuh Tebuireng masih menjadi kawasan tertinggal, terutama dari segi nilai-nilai keislaman. Ia pun bertekad untuk menggerakkan dakwah Islam di sana.
Kiai Hasyim lantas membeli sebidang tanah milik seorang dalang terkenal di Dusun Tebuireng. Kemudian, tepat pada tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H atau 3 Agustus 1899 M, ia mendirikan sebuah bangunan kecil di sana.
Bentuknya amat sederhana. Bangunan itu terbuat dari anyaman bambu berukuran 6x8 meter persegi. Ini kemudian disekat menjadi dua bagian.
Bagian belakang dijadikan tempat tinggal Kiai Hasyim dan istrinya, Nyai Khodijah. Adapun bagian depan difungsikan sebagai mushala.
Ketika itu, para santri Kiai Hasyim "hanya" berjumlah delapan orang. Mereka inilah para santri awal Ponpes Tebuireng. Sekira tiga bulan kemudian, jumlah penuntut ilmu di sana meningkat menjadi 28 orang.
Awalnya, kehadiran Kiai Hasyim di Dukuh Tebuireng ditanggapi sinis oleh mayoritas penduduk lokal. Mereka bahkan beberapa kali meneror ponpes tersebut.
Para santri seringkali harus tidur bergerombol di tengah ruangan karena takut tertusuk benda tajam yang dihunuskan pemuda-pemuda lokal saat malam gelap.
Dua setengah tahun lamanya, para warga berusaha menakut-nakuti Kiai Hasyim dan para santri.
Akhirnya, sang kiai mengutus muridnya untuk menemui sejumlah tokoh alim di Cirebon, termasuk Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Panguragan, Kiai Samsuri Wanantara, dan Kiai Abdul Jamil Buntet.
Keempat sosok itu merupakan sahabat karib Kiai Hasyim. Mereka lalu bersedia datang ke Tebuireng untuk melatih para santri dengan praktik pencak silat dan kanuragan.
Sekira delapan bulan lamanya pelatihan itu berlangsung.
Hingga akhirnya, para santri menjadi jago bertarung. Mereka pun tidak lagi khawatir terhadap gangguan dari luar.
Bahkan, Kiai Hasyim sendiri ikut menjaga keamanan Ponpes Tebuireng. Kadang kala, ia berpapasan denngan kawanan penjahat yang hendak meneror para santri pada malam gelap.
Alumnus Haramain itu lalu beradu fisik dengan mereka.
Dengan cekatan, Kiai Hasyim dapat mengatasi para penjahat itu. Ada yang lari tunggang langgang dan tak kembali. Namun, tak sedikit pula yang balik lagi dengan tujuan, meminta sang kiai agar mengajarkannya ilmu pencak silat.
Sejak saat itu, Kiai Hasyim mulai diakui sebagai bapak, guru, dan sekaligus pemimpin masyarakat.
Bukan hanya membimbing masyarakat dalam hal ilmu-ilmu agama dan pencak silat, sang alim juga mengajarkan mereka agar produktif dalam bertani dan mengolah tanah.
Ini tentunya berdampak signifikan bagi perkembangan Ponpes Tebuireng. Bermula dari 28 orang santri pada tahun 1899, kemudian menjadi 200 orang pada tahun 1910.
Sekira 10 tahun berikutnya, jumlah sanri pesantren ini melonjak menjadi lebih dari dua ribu orang. Ada dari mereka yang berasal dari Malaysia dan Singapura.
Kiai Hasyim Asy'ari memusatkan perhatian pada usaha-usaha mendidik para santri sampai sempurna.
Ia juga aktif membantu pendirian pesantren-pesantren yang dirintis oleh para alumi Tebuireng, seperti Pesantren Lasem (Rembang, Jawa Tengah); Darul Ulum (Peterongan, Jombang); Mambaul Ma’arif (Denanyar, Jombang); Lirboyo (Kediri); Salafiyah-Syafi’iyah (Asembagus, Situbondo), dan Nurul Jadid (Paiton Probolinggo).
Pada masa pendudukan Jepang, jumlah santri Tebuireng atau yang terafiliasi dengannya mencapai lebih dari 25 ribu orang.
Karena kemasyhurannya, para kiai di Jawa mempersembahkan gelar Hadratu asy-Syeikh, yang berarti 'Tuan Guru Besar', kepada Kiai Hasyim.
Sebelum wafatnya pada tahun 1926, Syaikhona KH Kholil Bangkalan telah memberi sinyal bahwa Kiai Hasyim Asy'ari adalah pewaris kekeramatannya.
Pernah pada suatu ketika sang Syaikhona secara diam-diam hadir di Tebuireng untuk mendengarkan pengajian kitab hadis Bukhari-Muslim yang disampaikan Kiai Hasyim.
Kehadiran itu dinilai sebagai petunjuk bahwa setelah Kiai Kholil tiada, para alim ulama di Jawa-Madura hendaknya berguru kepada Kiai Hasyim.
Konon, nama Tebuireng berasal dari legenda kebo ireng atau kerbau hitam.
Secara administratif, Pedukuhan Tebuireng berlokasi di Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Seperti dilansir dari laman Tebuireng Online, nama daerah tersebut berasal dari ungkapan "kebo ireng" (kerbau hitam).
Konon, dahulu kala seorang penduduk setempat memiliki kerbau berkulit kuning. Namun, pada suatu hari hewan itu menghilang dari kandang. Si pemilik mencarinya ke mana-mana.
Akhirnya, kerbau itu ditemukan dalam keadaan hampir mati karena terperosok dalam rawa-rawa yang dihuni banyak lintah.
Sekujur tubuh hewan tersebut digerogoti lintah. Warnanya yang semula kuning pun berubah menjadi hitam. Melihat itu, si pemilik kerbau berteriak-teriak, "Kebo ireng! Kebo ireng!"
Sejak saat itu, dukuh tempat peristiwa ini terjadi disebut sebagai Keboireng. Namun, pada akhirnya nama itu berubah lagi menjadi Tebuireng, seiring dengan bertambanya jumlah penduduk setempat.
Apakah perubahan nama tersebut berkaitan dengan munculnya pabrik gula di selatan dusun tersebut? Mungkin saja. Terlebih lagi, tebu yang para petani tanam di sana berwarna hitam (ireng).
Ketokohan Mbah Hasyim
Pada akhir abad ke-19 M, banyak pabrik gula berdiri di sekitar Pedukuhan Tebuireng. Adanya industri tersebut tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi, melainkan juga sosial-budaya masyarakat setempat.
Ketergantungan rakyat terhadap pabrik kemudian berlanjut pada penjualan tanah-tanah rakyat yang memungkinkan hilangnya hak milik atas tanah.
Diperparah lagi oleh gaya hidup masyarakat buruh yang cenderung jauh dari nilai-nilai agama.
Kondisi ini menyebabkan keprihatinan mendalam pada diri KH Hasyim Asy'ari. Ulama yang lahir di Jombang pada 14 Februari 1871 ini pernah menuntut ilmu di pelbagai pondok pesantren (ponpes); dan kemudian Masjidil Haram, Makkah al-Mukarramah.
Begitu pulang dari Tanah Suci, Kiai Hasyim Asy'ari membeli sebidang tanah milik seorang dalang terkenal di Dusun Tebuireng.
Kemudian, tepat pada tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H atau 3 Agustus 1899 M, ia mendirikan sebuah bangunan kecil di sana.
Bentuknya amat sederhana. Bangunan itu terbuat dari anyaman bambu berukuran 6x8 meter persegi. Ini kemudian disekat menjadi dua bagian.
Bagian belakang dijadikan tempat tinggal Kiai Hasyim dan istrinya, Nyai Khodijah. Adapun bagian depan difungsikan sebagai mushala.
Ketika itu, para santri Kiai Hasyim "hanya" berjumlah delapan orang. Mereka inilah para santri awal Ponpes Tebuireng. (*)
Tags : sejarah Jombang, sejarah Tebuireng, sejarah pesantren, KH Hasyim Asyari Nahdlatul Ulama, sejarah Tebuireng, Pondok Pesantren Tebuireng, KH Hasyim Asyari, sejarah pesantren,