PEPATAH orang Melayu "Biar Kami Mati Berdiri daripada Hidup Berlutut."
Demikian pepatah itu yang sampai kini dipegang masyarakat Rempang dimana kampungnya hendak digusur demi pembangunan pabrik kaca terbesar kedua di dunia.
Ironis memang, demi sebuah investasi China, pemerintah tega mengusir rakyatnya sendiri.
Apa tidak bisa pembangunan dilakukan dengan tetap memperhatikan kearifan lokal?
Apa tidak bisa pembangunan dilakukan dengan memperhatikan kemaslahatan masyarakat sekitar?
Setidaknya demikian yang menjadi pertanyaan H. Darmawi Wardhana Bin Zalik Aris, Ketua Umum Lembaga Melayu Riau [LMR] Pusat Jakarta ini yang kembali menilai bahwa relokasi masyarakat Rempang sama dengan pengusiran mereka dari kampung halaman.
Dikutip dari Kitab Tuhfat An-Nafis karya Raja Ali Haji (terbit perdana tahun 1890), dijelaskan bahwa penduduk Pulau Rempang, Galang dan Bulang adalah keturunan dari prajurit-prajurit/Laskar Kesultanan Riau Lingga yang sudah mendiami pulau tersebut sejak tahun 1720 M di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I.
"Jadi adalah keliru jika para pejabat negeri ini menganggap penduduk 16 kampung tua di Pulau Rempang sebagai pendatang," sebutnya.
Penduduk Melayu yang berdiam di Pulau Rempang, termasuk juga Galang dan Bulang sudah eksis sejak lebih dari 300 tahun yang lalu, beranak-pinak berketurunan, hidup mendiami pulau tersebut serta menjaga nilai dan tradisi nenek moyang mereka sampai hari ini.
Apalagi salah satu tujuan utama proyek ini adalah menarik wisatawan dari Singapura. Pasalnya, letaknya yang strategis di Batam serta dapat dicapai dengan perahu cepat dalam waktu singkat dari Singapura.
"Pemerintah mengklaim Rempang Eco City akan menjadi destinasi favorit bagi wisatawan Singapura."
"Tetapi bagaimana bisa pengembangan Kawasan Eco City di Pulau Rempang akan memberikan dampak positif yang signifikan bagi ekonomi dan komunitas lokal, jika masyarakat asli Rempang justru terusir dari kampung halaman mereka," tanya dia.
Proyek yang diklaim menciptakan lapangan kerja baru di berbagai sektor, termasuk pariwisata, konstruksi, perhotelan, dan perdagangan, namun abai dengan akan lenyapnya pekerjaan penduduk lokal.
Apa memang seperti ini wajah pembangunan negeri ini?
Pemerintah selayaknya mencabut proyek Rempang Eco-City di Batam sebagai proyek strategis nasional (PSN) karena dianggap sangat bermasalah.
Menurut Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Hikmah, Busyro Muqoddas, disebutkan payung hukum Rempang Eco-City baru disahkan pada 28 Agustus 2023, melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Daftar PSN.
Namun proyek tersebut tidak pernah dikonsultasikan secara bermakna kepada masyarakat Rempang yang akan terdampak.
Pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD yang menyatakan bahwa "tanah di Pulau Rempang itu belum pernah digarap" sangat keliru.
Faktanya masyarakat di sana telah ada sejak tahun 1720 M (Kitab Tuhfat An-Nafis karya Raja Ali Haji, terbit perdana tahun 1890).
Penggusuran di Pulau Rempang jelas menunjukkan kegagalan pemerintah menjalankan mandat konstitusi Indonesia.
Darmawi mengingatkan kembali, dalam UUD 1945 disebutkan tujuan pendirian negara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selain itu, negara gagal menjalankan Pasal 33 yang menyebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sungguh, masyarakat Rempang lebih berhak atas tanah mereka dari pada investor asing China.
Negara termasuk BP Batam tidak berhak mengambil alih apa yang telah menjadi milik mereka.
Wahai para pemangku jabatan negeri ini takutlah akan doa Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam yang doanya diaminkan oleh malaikat Jibril, “Ya Allah, barangsiapa yang diberi tanggung jawab untuk menangani urusan umatku, lalu ia mempersulit mereka, maka persulitlah hidupnya. Dan barangsiapa yang diberi tanggung jawab untuk mengurusi umatku, lalu ia memudahkan urusan mereka, maka mudahkanlah hidupnya.” (HR Muslim).
Beberapa pekan ini, kata dia lagi sudah menjadi ramai pemberitaan mengenai bentrok warga dengan aparat terkait penguasaan lahan di Pulau, Rempang, Batam, Kepulauan Riau.
Seluruh penduduk di Pulau Rempang yang berjumlah sekitar 7.500 orang akan direlokasi. Untuk pengembangan investasi di Pulau Rempang yang rencananya akan dibangun kawasan industri, jasa, dan pariwisata bernama Rempang Eco City.
Namun rencana ini mendapat penolakan keras dari warga Rempang sehingga bentrok terjadi pada Kamis lalu 7 September 2023.
Seperti apa sejarah Pulau Rempang?
A. REMPANG TANAH BERTUAN
Dikutip dari Kitab Tuhfat An- Nafis karya Raja Ali Haji (terbit perdana tahun 1890), dijelaskan bahwa penduduk Pulau Rempang, Galang dan Bulang adalah keturunan dari Prajurit2 /Lasykar Kesultanan Riau Lingga, yang sudah mendiami pulau2 tersebut sejak tahun 1720 M, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I.
Salama Perang Riau I (1782 - 1784) melawan Belanda, mereka menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah (salah seorang Pahlawan Nasional). Kemudian dalam Perang Riau II, juga melawan Belanda (1784-1787) mereka menjadi prajurit yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Riayat Syah.
Ketika kemudian Sultan Mahmud Riayat Syah hijrah memindahkan pusat pemerintahan ke Daik- Lingga pada tahun 1787, pulau Rempang, Galang dan Bulang dijadikan basis pertahanan terbesar dari Kesultanan Riau Lingga, yang dipimpin oleh Engku Muda Muhammad, dan Panglima Raman, yang diangkat langsung oleh Sultan Mahmud.
Kuatnya basis pertahanan di Pulau Rempang, Galang dan Bulang, sehingga pasukan Belanda dan Inggris tidak berani memasuki wilayah Kesultanan Riau Lingga.
Anak cucu prajurit itulah yang sampai saat ini mendiami pulau Rempang, Galang dan Bulang secara turun temurun.
Pada Perang Riau I dan Riau II, nenek moyang mereka disebut sebagai Pasukan Pertikaman Kesultanan (semacam pasukan elite).
Jadi adalah keliru jika penguasa Negara Indonesia menganggap Penduduk 16 Kampung Tua di Pulau Rempang sebagai pendatang.
Penduduk Melayu yang berdiam di Pulau Rempang, termasuk juga Galang dan Bulang sudah eksis sejak lebih dari 300 tahun yang lalu, beranak-pinak berketurunan, hidup mendiami pulau tersebut serta menjaga nilai dan tradisi nenek moyang mereka sampai hari ini. Pada umumnya mereka beragama Islam.
Hari ini jumlah penduduk Pulau Rempang diperkirakan 5.000 Jiwa (tidak termasuk Galang dan Bulang), bermata-pencaharian pada umumnya sebagai nelayan dan berdagang.
B. MASUKNYA INVESTOR
Masuknya investor ke Rempang, diawali dengan ditandatanganinya MOU tahun 2004 antara Walikota Batam (Nyat Kadir) dengan investor dari Group Artha Graha yakni PT MEG.
Akan tetapi selama 19 tahun lahan yang diberikan kepada investor tersebut tidak digarap (diterlantarkan).
Lalu masuklah sejumlah orang orang dari luar Rempang yang membuka berbagai usaha seperti ternak babi, ternak ayam, dan kebun buah2an dll, mereka adalah pendatang yang menempati bagian darat dari Pulau Rempang.
Sedangkan penduduk asli keturunan Prajurit Sultan Riau Lingga sejak dulu hingga kini menempati dan berdiam di bagian pesisir di 16 kampung tua Pulau Rempang.
Selama 19 tahun ditelantarkan seharusnya Hak atas Lahan sudah dicabut oleh Pemerintah sesuai dengan UUPA (UU Nomor 5 Tahun 1960).
Pada tahun 2023 ini PT MEG menggandeng investor dari Cina dengan investasi disebutkan sebesar Rp 381 Trilyun. Masuknya investor dari Cina ini adalah hasil kunjungan Presiden RI ke Cina akhir2 ini.
Masuknya investor Cina bersama PT MEG akan membangun megaproyek yang disebut REMPANG ECO CITY, dan untuk itu BP Batam mengalokasikan tanah seluas 117.000 Hektare.
Berarti seluruh pulau Galang yang luasnýa 116.000 Hektare, ditambah dengan pulau2 disekitarnya (seperti Pulau Galang dll).
Untuk itu seluruh penduduk Pulau Rempang yang berdiam di 16 kampung tua, akan dipindahkan (direlokasi) ke tempat lain, yang sampai saat ini tempat relokasi itu sama sekali belum dibangun.
Belakangan ini ramai pemberitaan mengenai konflik tanah di Pulau Rempang, Batam. Sejumlah warga terlibat bentrok dengan aparat, buntut rencana pengembangan kawasan wisata baru, Rempang Eco City.
Bentrokan tersebut tidak dapat dielakkan, sehingga situasi saat itu sempat ricuh.
Setidaknya dari bentrokan yang terjadi usai aksi penolakan masyarakat terhadap rencana proyek Rempang Eco City, beberapa orang mengalami luka-luka menyusul situasi penolakan yang kian ricuh.
Atas kejadian tersebut sejumlah mata tertuju pada isu konflik penguasaan Pulau Rempang antara pihak BP Batam dan masyarakat adat setempat.
Sejumlah tokoh nasional turut menanggapi isu yang menjadi hangat diperbincangkan ini, tidak terkecuali dengan pendakwah kondang asli Riau, Ustad Abdul Somad.
Ustad Abdul Somad yang merupakan sosok pendakwah kondang itu turut berkomentar usai bentrok penolakan penguasaan lahan untuk Rempang Eco City.
Dalam unggahannya menanggapi kisruh yang terjadi di Pulau Rempang dan Galang, Ustad Abdul Somad, menyebutkan bahwa masyarakat rempang merupakan prajurit terbilang.
Hal itu sebagaimana ia ungkapkan dengan menukil perkataan salah seorang cendekiawan Melayu Prof Dr Dato Abdul Malik MPd.
"Sebetulnya penduduk asli Rempang, Galang dan Bulang adalah keturunan para prajurit Kesultanan Riau Lingga yang sudah eksis sejak 1720 masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah I," tulis Ustad Abdul Shomad seraya menukil seorang cendekiawan Melayu tersebut dari akun Instagram @ustadzabdulsomad_official.
Mereka inilah yang pada zamannya itu menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah selama Perang Riau I (1782-1784). Di bawah pimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah, mereka menjadi prajurit pada Perang Riau II (1784-1787).
Sultan Mahmud Riayat Syah kemudian sempat hijrah ke Daik-Lingga pada tahun 1787, saat itu Rempang, Galang dan Bulang dijadikan tempat basis pertahanan terbesar Kesultanan Riau Lingga.
"Kala itu pasukan Belanda dan Inggris tak berani memasuki wilayah Kesultanan Riau Lingga. Anak cucu merekalah sekarang yang mendiami Rempang Galang secara turun temurun," ungkapnya.
Namun setelah bertahun-tahun mendiami Pulau Rempang dan Galang, kini masyarakat adat yang secara turun temurun mendiami pulau di Batam tersebut harus berkikisan dengan proyek industrialisasi Rempang Eco City. (*)
Tags : rempang, pulau rempang, riau, konflik lahan, sejarah pulau rempang, basis pertahanan prajurit elite era kesultanan riau lingga,