Headline News   2025/11/13 12:20 WIB

Sejumlah Pekerja di Dapur MBG Ngaku 'Tak Punya Kontrak, Jam Kerja tak Menentu dan Telat Terima Gaji'

Sejumlah Pekerja di Dapur MBG Ngaku 'Tak Punya Kontrak, Jam Kerja tak Menentu dan Telat Terima Gaji'
Pekerja menata omprengan berisi makan bergizi gratis (MBG) di Dapur SPPG Kemala Bhayangkari Polres Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Senin (3/11/2025).     

JAKARTA - Sejumlah pekerja di dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) mengklaim bekerja tanpa kontrak tertulis, jam kerja yang tidak menentu, dan kini terlambat menerima gaji.

Kini, akun media sosial Instagram Badan Gizi Nasional (BGN) dipenuhi komentar berisi tuntutan agar upah pekerja segera dibayarkan.

Kepala BGN, Dadan Hindayana, mengakui ada persoalan dalam sistem penggajian Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) yang bekerja di dapur MBG. Ia menyatakan pembayaran gaji itu akan diselesaikan dalam waktu dekat.

Seorang pekerja di dapur MBG mengenai apa yang dialaminya selama bekerja di dapur MBG.

Dani sudah hilang kesabaran. Sudah beberapa bulan terakhir, gajinya tak kunjung dibayarkan.

Pekerja di salah satu dapur MBG di Jawa Timur ini lantas mampir ke akun media sosial Instagram Badan Gizi Nasional (BGN) dan menulis komentar yang isinya meminta pemerintah membayar hasil keringatnya, secepatnya.

"Kami dituntut [bekerja] tidak boleh lengah sedikit pun, karena ini menyangkut banyak nyawa. Masak gaji aja terlambat?" ungkapnya penuh kesal.

Dani adalah satu dari ribuan lulusan program Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) Batch 3, yang sedianya bakal ditugaskan sebagai Kepala Program Makan Bergizi Gratis alias kepala dapur di sejumlah daerah.

Tapi, karena dapur di wilayahnya belum seluruhnya dibangun, Dani dipekerjakan sebagai pengawas dengan status "magang" di salah satu Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang telah beroperasi.

"Kami yang belum dapat dapur ini diarahkan untuk magang ke dapur terdekat wilayah kami. Walaupun pada praktiknya, enggak dekat, jauh dari lokasi tempat tinggal saya sekarang," tuturnya.

Sebelum terjun ke dapur MBG, pria bergelar sarjana hukum di salah satu universitas negeri ini sempat menjalani pendidikan militer dasar selama satu bulan. Ia digembleng agar patuh pada perintah atasan dan siap bekerja 1x24 jam.

Hingga awal Agustus, Dani bilang ditempatkan di salah satu dapur MBG, yang menurutnya cukup jauh. Jarak antara rumah dan lokasi dapur kira-kira 10 kilometer.

Tak ada perjanjian kerja, apalagi kontrak kerja tertulis.

Semuanya disampaikan lewat instruksi, mulai dari gaji sebesar Rp5,5 juta per bulan hingga apa-apa saja pekerjaan di lapangan.

"Ya aneh banget sebenarnya, tapi enggak tahu lah, saya juga bingung," imbuhnya.

Sebagai pengawas di dapur MBG, Dani mulai bekerja dari jam 01.00 WIB, mengontrol masakan yang akan disajikan ke penerima manfaat.

Proses masak, katanya, biasa rampung sekitar pukul 05.00 WIB. Setelahnya, ia harus melototi proses penyajian masakan yang sudah matang ke ribuan ompreng agar sesuai standar BGN sampai jam 09.00 WIB.

"Harus benar-benar jeli. Bayangkan ada 4.000 ompreng dan kami mengawasi satu per satu, supaya teliti dan enggak ada yang namanya keracunan atau kesalahan," paparnya.

Pukul 09.00 WIB, dia akan ikut mengawal proses distribusi MBG ke seluruh penerima manfaat, mulai dari pelajar, ibu hamil, ibu menyusui, juga balita.

Sekitar jam 12.00 WIB, lagi-lagi Dani mengontrol dan menghitung ompreng yang dikembalikan dari penerima manfaat. Sebab, kalau sampai kurang, menjadi tanggung jawabnya.

Pekerjaannya berlanjut memantau pencucian ompreng sampai betul-betul bersih hingga pukul 18.00 WIB.

"Jam 6 sore itu, kami lanjut persiapan memotong sayur, lauk, dan lain-lain, sampai jam 10 malam. Itu baru kami bisa rehat," ucapnya.

"Nanti saya berangkat lagi ke dapur jam 1 pagi, begitu terus dari Senin sampai Jumat. Sekarang bayangkan kami kerja enggak bisa napas, enggak bisa bergerak ke mana-mana."

Kalau dihitung, Dani bekerja 20 jam lebih sehari. Kadang, dia terpaksa curi-curi waktu untuk tidur selepas salat supaya badannya tidak ambruk.

Pekerjaan ini, katanya, menuntut ketelitian dan ketepatan waktu. Sebab mereka, selalu diwanti-wanti bahwa makanan yang mereka siapkan menyangkut nyawa banyak orang.

Perkaranya, hasil keringatnya tak kunjung cair di bulan ketiga bekerja.

Gaji di bulan pertama dan kedua saja, dibayar sekaligus pada Oktober lalu.

Sementara, dia butuh uang untuk keperluan sehari-hari: makan, beli bensin, dan kuota internet.

"Kami punya grup SPPI Batch 3, dan semuanya mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, belum terima [gaji]. Kami disuruh sabar aja, tapi belum ada kepastian kapan dibayar," akunya.

Dani, mengaku tak punya pilihan. Ia harus tetap bekerja di dapur MBG seperti biasanya demi menyukseskan program jagoan Presiden Prabowo Subianto.

Dia pun tidak mau para pekerja di dapur MBG dicap tidak becus.

"Intinya kami sudah mendedikasikan hidup kami untuk MBG, tapi masak gaji kami ditunda-tunda."

"Walaupun saya merasa kerja ini sebenarnya enggak manusiawi loh. Tapi ya bagaimana lagi, saya sudah mengabdikan diri untuk negara. Cari pekerjaan lain juga susah, banyak PHK. Kalau enggak kerja begini, mau makan apa?" akunya.

Untuk mengisi rekeningnya yang betul-betul kosong, Dani terpaksa kerja sambilan menjadi pengemudi ojek online di hari libur.

Dia juga tidak tahu sampai kapan status magang ini berakhir dan ditempatkan sebagai kepala dapur.

Semuanya, serba tidak pasti. Tapi yang pasti, Dani merasa dieksploitasi.

"Ini sudah eksploitasi sebenarnya. Saya ngerasa banget. Saya kira kayak gini berhenti di rezim Orde Baru, tapi mau gimana, nyari kerja susah. Jalanin saja walaupun setengah kerja rodi," cetusnya.

Risky bernasib serupa dengan Dani.

Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) Batch 3 yang kini bekerja di dapur MBG di Provinsi Aceh itu juga belum menerima gaji.

"Seharusnya tanggal 6 November terima gaji, tapi enggak ada. Sampai ramai di media sosial BGN. Ya, karena enggak ada informasi apakah akan dirapel atau bagaimana," katanya.

"Sedangkan kami sudah melaksanakan kewajiban di dapur," sambungnya penuh emosi.

Seperti halnya Dani, Risky saat ini berstatus "magang" lantaran masih menunggu dapur-dapur baru dibangun.

Sembari itu, dia dipekerjakan sebagai pengawas di salah satu Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang sudah beroperasi. Tujuannya, supaya ketika dia menjadi kepala dapur, setidaknya khatam dengan persoalan-persoalan yang terjadi dan bagaimana mengatasinya.

Jika Dani tak punya kontrak kerja tertulis, Risky rupanya mendapat Surat Pemberitahuan Kontrak (SPK) yang memuat besaran gaji hingga apa saja tugasnya selama "magang".

"Kewajiban kami intinya mengawasi dapur," akunya.

Mengawasi yang dimaksud Risky, ternyata tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Dani—intinya meminimalisir insiden yang tak diinginkan, salah satunya keracunan makanan.

Untuk itulah, dia harus memantau betul-betul setiap proses pengerjaan di dapur. Mulai dari menyortir bahan baku, menyiapkan bahan makanan, mengamati proses memasak, pemorsian, pendistribusian, hingga membuat laporan ke Badan Gizi Nasional.

Dan, karena di dapurnya ada dua pekerja "magang", ia dan seorang rekannya bisa membagi kerja dalam dua shift.

"Saya misalnya, kerja jam 7, sudah di tahap persiapan atau pengemasan. Setelah selesai, baru distribusi ke sekolah-sekolah dari jam 8 sampai jam 11 siang," tuturnya.

"Kemudian, pengambilan ompreng sekitar jam 1 sampai 2 siang. Itu semua harus diawasi untuk dibuat laporan ke BGN pada sore hari, apakah ada yang kurang atau komplain dari siswanya."

Kelar kerja pukul 19.00 WIB, pekerjaan mengawasi disambung oleh shift berikutnya, yang dimulai dengan mempersiapkan bahan-bahan makanan yang akan dimasak sekitar jam 02.00 WIB.

"Jadi 24 jam aktif dapur itu," cetusnya.

Sarjana agribisnis di salah satu universitas di Sumatra Selatan ini mengaku digaji Rp6 juta per bulan. Baginya, upah segitu terbilang "aman" dengan beban kerja yang menurutnya masih masuk akal.

Masalahnya, kini hak mereka tak jelas. Sementara, mereka butuh uang untuk keperluan sehari-hari: makan, beli bensin, dan lain-lain.

Apalagi jarak rumahnya ke dapur cukup jauh, sekitar 20 menit mengendarai sepeda motor.

Untuk bertahan dari hari ke hari, Risky harus meminjam uang ke orang tua, atau teman-temannya dengan janji bakal melunasi begitu menerima gaji.

"Itu solusi untuk bertahan sementara. Nanti kalau sudah dapat gaji, baru tutup lubang. Apalagi banyak teman-teman saya yang sudah berkeluarga, apa enggak susah?" ungkapnya.

"Ya, pada intinya keselnya kayak kami nih… sudah menunaikan kewajiban, sudah mematuhi aturan, bahkan kalau ada kesalahan ditegur. Tapi kenapa ketika ingin mengambil hak, tidak ada kejelasan."

Pakar hukum perburuhan dari Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati, menilai persoalan yang terjadi ini menunjukkan proyek jagoan Presiden Prabowo Subianto memang tidak dipersiapkan dengan matang dari berbagai sisi.

Kalau dari sisi produksi, masih ditemukan kasus keracunan makanan, maka dari sisi sumber daya manusianya muncul persoalan hubungan ketenagakerjaan yang tidak jelas.

"Dari cerita-cerita yang muncul itu, memang kecenderungannya situasi kerja yang mereka alami sangat dekat dengan situasi kerja yang biasa dialami oleh pekerja informal yang tentu saja rentan," papar Nabiyla.

"Karena salah satu faktor utamanya adalah ketiadaan kontrak tertulis."

Dalam kasus pekerja MBG, Nabiyla mengaku tak habis pikir dengan ketiadaan kontrak kerja tertulis, sebab hal itu sama saja menempatkan mereka—pekerja dapur MBG—sebagai pekerja informal yang rentan dieksploitasi, bahkan dipangkas hak-haknya.

Eksploitasi yang terjadi pada pekerja informal, antara lain besaran upahnya tidak jelas, jam kerja tidak menentu, termasuk waktu pembayaran upah yang tak pasti.

Dan, jika semua hal itu terjadi, tidak ada jalur hukum yang bisa ditempuh oleh pekerja tersebut untuk mendapatkan hak-haknya.

"Jadi kalau menurut saya sih [masalah ini] enggak bisa ditolerir ya. Karena ketika hubungan kerja itu berjalan ya seharusnya hubungan kerja itu berjalan sebagaimana mestinya," jelas Nabiyla.

"Apalagi ketika kita bicara proyek strategis nasional, yang digadang-gadang akan membawa pekerjaan baru, lapangan kerja baru, seharusnya lapangan pekerjaan baru yang layak, bukan justru yang rentan," sambungnya.

Itu mengapa, Nabiyla menilai dinas ketenagakerjaan harus turun tangan mengurus permasalahan tersebut. Bersamaan, para pekerja di dapur MBG harus meminta kepastian dalam bentuk kontrak kerja tertulis.

Sebab, bagaimanapun, katanya, hubungan antara pekerja dengan pengelola dapur MBG merupakan relasi kerja, bukan pengabdian.

Lebih dari itu, Nabiyla mengatakan Presiden Prabowo harus mengevaluasi ulang proyek andalannya ini. Seandainya memang Prabowo ingin MBG menciptakan lapangan pekerjaan baru, maka harus dipastikan pekerjaan yang layak.

"[MBG] membuka lapangan kerja baru, tapi yang belum layak. Jadi harus bersamaan lah, menyerap tenaga kerja baru, tetapi lapangan kerja yang layak."
Apa kata BGN?

Kepala (BGN, Dadan Hindayana, mengakui adanya keterlambatan gaji pekerja MBG. Ia menjanjikan dalam pekan ini persoalan keterlambatan gaji itu akan beres.

"Kami sekalian untuk menyelesaikan minggu ini, kami sudah geser anggaran untuk tuntas sampai Desember. Jadi bulan depan sudah tidak akan ada keterlambatan lagi," kata Dadan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR RI, Rabu (12/11).

Dadan kemudian menjelaskan para Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) pada Batch 1 dan 2 statusnya sudah menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Mereka ini sudah tidak ada masalah dengan gaji. Bahkan telah menerima tunjangan kinerja, klaimnya.

Sedangkan untuk Batch 3, katanya, karena tesnya baru bulan ini maka anggarannya berbeda. Imbasnya, ada keterlambatan beberapa hari untuk pembayaran sebab menunggu proses pergeseran anggaran.

"Tapi karena masih ada hal yang harus diselesaikan, maka sementara ini SPPI batch 3 ini dan juga AG (petugas ahli gizi) dan AK (akuntan) masih harus digaji dengan sistem istilahnya konsultan perorangan," ucapnya.

"Jadi kami secara administrasi harus menggeser anggaran," tambahnya.

Terkait dugaan eksploitasi kerja, Dadan Hindayana belum ingin merespons. (*)

Tags : makan bergizi grais, mbg, pekerja mbg, pekerja dapur mbg tak punya kontrak, jam kerja tak menentu, pekerja mbg telat terima gaji, pangan, pekerjaan, News,