KESEHATAN - Sejumlah pengguna BPJS Kesehatan khawatir penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) akan membuat semakin sulit mendapatkan kamar di rumah sakit.
"Sejumlah pengguna BPJS Kesehatan khawatir penerapan KRIS."
“Saat ini saja, di mana ruang perawatan kelas 1, 2 dan 3 diabdikan semuanya untuk pasien JKN, masih terjadi kesulitan mengakses ruang perawatan, apalagi nanti dengan KRIS,“ kata Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, Selasa (14/05).
Sementara pihak BPJS Kesehatan menegaskan sistem kelas tidak akan dihapus. Apa perbedaan sistem KRIS dengan sistem kamar rawat inap lama?
Kepala Humas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Rizky Anugrah, memastikan bahwa dalam aturan Perpres terbaru tidak ada klausa yang menyebut penghapusan sistem kelas 1, 2, dan 3, yang kini berlaku untuk pelayanan rawat inap BPJS.
Melainkan, katanya, semua kamar untuk peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) akan dibuat standar sesuai 12 kriteria standar KRIS yang tertuang dalam Perpres Nomor 59 tahun 2024.
Tetapi Timboel Siregar, menilai pelaksanaan KRIS berpotensi menimbulkan penumpukan pasien karena dapat menghambat akses ruang rawat inap.
Menanggapi hal ini, Juru Bicara Kementerian Kesehatan mengatakan pihaknya sudah melakukan perhitungan untuk memastikan jumlah tempat tidur di rumah sakit cukup untuk menyediakan KRIS, sehingga “seharusnya tidak ada pengurangan daripada tempat tidur“.
Sementara, Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI), Noor Arida Sofiana, mengaku bahwa proses standarisasi KRIS “masih berat“ bagi sejumlah rumah sakit swasta karena pengadaan sarana dan prasarana yang masih berjalan.
Pengamat Kebijakan Kesehatan, Hermawan Saputra, mengatakan perlu ada “reinvestasi besar-besaran“ dari pihak manajemen rumah sakit, khususnya rumah sakit swasta, jika ingin memenuhi standarisasi kualitas yang dibutuhkan untuk menerapkan KRIS.
Dalam Perpres Nomor 59 tahun 2024, disebut bahwa penerapan fasilitas KRIS akan dilakukan secara bertahap oleh rumah sakit hingga 30 Juni 2025. Sedangkan penetapan manfaat, tarif, dan iuran untuk KRIS akan mulai berlaku paling lambat pada 1 Juli 2025.
Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizky Anugrah, menjelaskan bahwa KRIS merupakan sistem standarisasi baru yang digunakan dalam pelayanan rawat inap BPJS Kesehatan di rumah sakit.
Dengan berlakunya kebijakan ini, semua golongan masyarakat mendapat pelayanan yang sama dari rumah sakit, baik dalam hal medis maupun non-medis, tanpa membeda-bedakan kelas.
“Dengan KRIS, harapannya seluruh fasilitas kesehatan dapat memberikan pelayanan secara merata. Karena institusi ini sudah ditetapkan bagaimana KRIS itu menjadi standar,” ujar Rizky kepada BBC News Indonesia.
Lebih lanjut, ia menyebut 12 kriteria dalam Perpres yang akan dijadikan standar minimal bagi kelas rawat inap untuk peserta JKN.
Berikut 12 kriteria fasilitas dan layanan yang akan tersedia di setiap KRIS:
Meski begitu, Rizky mengatakan penerapan KRIS dalam rumah sakit tidak berarti sistem kelas rawat inap kelas 1,2, dan 3 akan dihapus.
Ia mengatakan sistem kelas tersebut akan tetap berlaku, hanya saja kualitas kamarnya dibuat sesuai standar.
“Untuk saat ini, masih berlaku untuk kelas 1, 2, 3. Ini memang sesuai dengan Perpres Nomor 64. Kami masih mengacu, karena Perpres perubahan ketiga ini hanya sebagian pasal,” ungkapnya.
Terkait berapa iuran yang perlu dibayar per kelas setelah berlakunya KRIS, Rizky mengatakan bahwa pihak BPJS Kesehatan masih menunggu peraturan turunan berupa peraturan menteri yang akan diterbitkan Kementerian Kesehatan.
Ia mengatakan sebetulnya iuran memang disesuaikan setiap dua tahun sekali. Kali ini, perubahan itu akan dibarengi penentuan iuran lewat Permenkes yang mengatur terkait KRIS.
“Tentu saja ketika nanti akan ada perubahan iuran, tidak hanya melihat dari kebutuhan, ataupun kenaikan, ataupun penyesuaian, tapi dilihat dari kemampuan juga dari masyarakat,” ucap Rizky.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan bahwa pihaknya masih belum mulai membahas besaran iuran untuk pemberlakuan KRIS untuk peserta BPJS.
“Peserta BPJS itu hak-nya adalah mendapatkan kelas rawat inap standar, dan sudah tidak ada lagi kelas 1, 2, 3. Jadi sudah tidak ada pilihan kalau kelas 1 maka bayar iurannya seperti ini begitu," ucap Nadia.
Ia mengatakan untuk saat ini, Kemenkes masih fokus pada penyiapan pelayanan dan standarisasi rumah sakit.
Pada kesempatan lain, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan, KRIS tidak menghapus kelas BPJS Kesehatan, tapi pelayanan di rumah sakit ditingkatkan dengan kualitas yang seragam untuk semua layanan.
“Jadi itu ada kelas tiga, sekarang semua naik ke kelas dua dan kelas satu. Jadi diharapkan lebih sederhana dan layanan masyarakat lebih bagus," ujar Budi, seperti dikutip oleh Kompas.com pada Selasa (14/05).
Namun sebelum standarisasi itu berlaku, Budi meminta publik menunggu aturan teknis mengenai sistem pelayanan pasien BPJS itu. Ia menjamin bahwa pihaknya akan segera menerbitkan Permenkes lanjutan Perpres soal jaminan kesehatan yang akan ditandatangani Presiden Joko Widodo.
Akan tetapi, perbedaan persepsi antara pemerintah dan BPJS soal wacara perubahan kelas layanan BPJS Kesehatan ini memicu polemik di masyarakat. Komisi IX DPR akan memanggil Menkes Budi Gunadi Sadikin dan pihak BPJS Kesehatan buntut polemik wacana perubahan kelas I, II, dan III BPJS Kesehatan ke KRIS.
Pemanggilan akan dilakukan pada 29 Mei mendatang.
Mima (bukan nama sebenarnya), seorang pengidap leukemia, mengatakan dirinya khawatir jika sistem KRIS mulai berlaku sepenuhnya. Sebab, sekarang pun ia sudah merasakan sulitnya mendapatkan kamar di rumah sakit.
“Masalahnya, pasti nanti bakal tambah penuh lagi karena semua kamar jadi satu [jenis]. Kekhawatiranku, apakah semua kamar akan tersedia atau tidak di setiap kelas,” katanya.
Ia mengaku sudah menjalankan pengobatan rawat inap selama satu setengah tahun terakhir. Dua minggu yang lalu, rumah sakit yang ia sering kunjungi, kehabisan ruang inap. Sehingga, Mima harus menunggu satu setengah bulan. Selama menunggu, kesehatannya semakin memburuk.
“Akhirnya aku drop, makanya harus ulang lagi kemo [kemoterapi] dari awal. Jadi memang benar-benar enggak bisa putus obat,” ucapnya.
Mima sebut dirinya tidak pernah mempermasalahkan kelas. Ia rela mengambil kelas manapun asal ada kamar yang tersedia.
“Tergantung apa saja yang tersedia. Enggak apa-apa kalau kondisi AC mati atau banyak tempat tidur, yang penting dapat kamar dan kemo-nya tetap jalan,” kata Mima.
Berbeda dengan Mima, Agnes (bukan nama sebenarnya), seorang pengidap kanker yang sudah berobat selama enam bulan. Bagi Agnes, ia terbiasa mengambil kamar kelas 3 dan sejauh ini tidak pernah kesulitan mendapatkan kamar.
“Setiap kali kemoterapi selalu dapat ruang. Saya pribadi selalu banyak kemudahan. Enggak pernah terhambat,” ucapnya.
Agnes menceritakan bagaimana di rumah sakit tempat ia berobat, penerapan KRIS sudah berlaku. Sehingga, ia merasakan sendiri perbedaan ruangan kelas 3 dengan standar KRIS.
“Sudah berlaku sekarang, bagus kok,“ kata Agnes.
Ia mengatakan jikalau iuran untuk kelas 3 menjadi lebih tinggi setelah penetapan tarif KRIS berlaku, ia hanya bisa pasrah dan membayarnya. Karena ia perlu terus menjalankan pengobatan untuk kankernya.
“Ya enggak masalah, kalau memang harus begitu. Kalau saya lihat memang tidak ada yang menjadi masalah [demi pengobatan],“ ujarnya.
Pengamat BPJS peringatkan KRIS ‘jangan sampai menghambat akses‘
Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan bahwa memang di dalam Perpres Nomor 59 tahun 2024, tidak ada kata yang secara eksplisit mengatakan sistem kelas dalam BPJS akan dihapus.
Namun, menurut dia, pemerintah sudah “mengarah ke sana”.
Timboel mengatakan kalaupun sistem pembayaran iuran berdasarkan kelas masih berlaku, maka semakin banyak orang akan lebih memilih kelas 3. Karena standar kamar di kelas 3 ia anggap sama saja dengan kelas 1 maupun kelas 2.
Sebagai informasi, saat ini iuran yang berlaku untuk kelas 1 adalah Rp150.000, kelas 2 Rp100.000 dan kelas 3 dengan iuran Rp35.000.
“Kalau yang sekarang ke fase transisi, saya akan mendapatkan perawatan di ruang KRIS. Kenapa saya harus bayar Rp150.000?,” ujarnya.
Ia mengatakan sistem penerapan KRIS akan membuat pendapatan dari iuran berkurang sehingga pendapatan untuk BPJS Kesehatan pun akan menurun sehingga terjadi defisit.
“Itu kejadian di 2014 sampai 2020 yang berdarah-darah. Jangan sampai begitu. Kalau sudah begitu, yang korban siapa? Ya pasien lagi,” kata Timboel.
Oleh karena itu, ia memprediksi iuran paling tidak untuk kelas 3 akan naik seiring diberlakukannya KRIS. Bahkan, Timboel menilai mungkin saja iuran akan menggunakan sistem tarif tunggal, di mana iuran kelas 1 dan kelas 2 akan turun, sementara iuran kelas 3 akan naik.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa kuota untuk penyediaan KRIS di rumah sakit, yakni 60% untuk rumah sakit pemerintah dan 40% untuk rumah sakit swasta, justru berpotensi membatasi akses pasien untuk mendapatkan kamar rawat inap.
Sehingga, kata Timboel, pasien yang tidak mendapatkan kamar dengan BPJS akan dialihkan menjadi pasien umum karena hanya kamar umum yang tersedia jika kuota KRIS habis.
“Jangan sampai itu menghambat akses peserta mendapatkan ruang perawatan. Makanya saya bilang, kalau pun dipaksa, pemerintah harus mengeluarkan "sekoci",” katanya.
Sekoci yang dimaksud Timboel berupa tenaga kesehatan yang siap siaga membantu pasien mencari ruang kosong di rumah sakit lain yang memiliki kerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Dengan begitu, pasien tidak perlu terpaksa beralih menjadi pasien umum atau pusing mencari sendiri kamar kosong.
Sekretaris Jenderal ARSSI, Noor Arida Sofiana, mengatakan bahwa proses penyesuaian untuk KRIS masih tergolong berat bagi sebagian rumah sakit swasta. Karena tidak semua memiliki modal atau pembiayaan besar.
Ia mengatakan memang ada rumah sakit yang memiliki kapasitas dan jumlah tempat tidur yang mumpuni. Namun, ada pula yang akan kesulitan menerapkan KRIS.
Bahkan, pada Perpres sebelumnya, pihak ARSSI memberikan saran agar tenggat waktu pelaksanaan KRIS diundur dari 1 Januari 2024 menjadi 30 Juni 2025 karena rumah sakit swasta belum semua mampu menyiapkan sarana dan prasarana sesuai standar yang dibutuhkan.
“Mungkin rumah sakit banyak yang nanti berkurang jumlah tempat tidurnya kecuali rumah sakit yang punya modal yang cukup besar,” sebutnya.
Saat ini, pihaknya melakukan pendataan rumah sakit swasta mana saja yang sudah memenuhi kriteria penyediaan untuk KRIS dan melaporkannya kepada Kemenkes lewat Dinas Kesehatan di masing-masing daerah.
“Kalau dia punya anggaran, mungkin dia akan mengisi kekurangan itu dengan membangun [ruangan] lagi, menambah jumlahnya. Tapi tidak semua rumah sakit mempunyai dana yang sama,” ujar Arida.
Pengamat Kebijakan Kesehatan, Hermawan Saputra, mengatakan bahwa rumah sakit swasta akan menjadi pihak yang paling diberatkan perihal penyiapan KRIS.
Sebab, berbeda dengan rumah sakit yang dikelola langsung oleh pemerintah, rumah sakit swasta tidak selalu memiliki pembiayaan yang cukup. Sehingga, mereka memerlukan investasi besar untuk melakukan penyesuaian standar dari berbagai aspek.
“Kalau bagi rumah sakit swasta, tidak hanya persoalan investasi bangunan, tapi konsekuensi penambahan investasi itu akan berdampak juga pada SDM, peningkatan kualitas, area training, dan juga akan ada revolusi terhadap kinerja.
“Pada akhirnya, itu mempengaruhi semua bisnis proses yang ada,” kata Hermawan.
Juru Bicara Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, mengatakan bahwa saat ini terdapat sekitar 2.600 rumah sakit yang menyatakan siap untuk memfasilitasi penerapan KRIS.
“Sudah kita hitung bahwa sebenarnya harusnya tidak ada pengurangan daripada tempat tidur,” ucapnya.
Untuk mencegah kurangnya penyediaan tempat tidur, Nadia mengatakan pihak rumah sakit bisa menggunakan dana dari BPJS untuk melakukan renovasi dan penambahan ruang jika memang dibutuhkan.
“Bekerja dengan BPJS itu berarti mendapatkan pembayaran dari BPJS. Itu bisa digunakan untuk rumah sakit, untuk melakukan renovasi kalau memang ataupun penambahan ruang rawat, karena itu syarat bekerja sama dengan BPJS,” ungkap Nadia. (*)
Tags : Masyarakat, Indonesia, Kesehatan, Pengguna BPJS Kesehatan, Penerapan KRIS, Perbedaan Sistem Kelas 1, 2, dan 3 di BPJS,