JAKARTA - Berbanding terbalik dengan Joko Widodo yang memulai rezimnya dengan “perang terhadap narkoba”, Presiden Prabowo Subianto kini tampak bermurah hati menyetujui pemulangan sejumlah terpidana narkoba top ke negara asalnya, dari Mary Jane Veloso asal Filipina hingga lima anggota “Bali Nine” asal Australia. Apa motifnya?
Perdana Menteri (PM) Australia Anthony Albanese mengangkat isu pemulangan terpidana narkoba saat bertemu Prabowo di sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Peru pada 15-16 November lalu, kata Stephen Jones, Asisten Bendahara Negara Australia, saat konferensi pers pada Sabtu (23/11).
Di hari yang sama, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengonfirmasi bahwa Indonesia telah sepakat memulangkan lima anggota tersisa “Bali Nine”, kelompok penyelundup narkoba yang ditangkap di Bali pada 2005, seraya mengusahakan untuk merepatriasi sejumlah warga negara Indonesia yang kini ditahan di Australia.
“Ini diskresi presiden, tapi pada prinsipnya presiden sudah setuju dengan alasan kemanusiaan,” kata Supratman, seperti dilaporkan Reuters.
“Ini penting untuk menjaga hubungan baik dengan negara-negara sahabat. Namun, ini juga demi kepentingan kita karena kita memiliki tahanan di luar negeri.”
Prancis juga telah meminta pemulangan seorang warga negaranya yang ditahan di Indonesia, imbuh Supratman.
Meski begitu, Supratman bilang ia saat ini masih mengkaji pemulangan para terpidana narkoba tersebut bersama dengan para pihak terkait, termasuk Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra.
“Hasil kajian tersebut nantinya akan kami konsultasikan kepada Presiden RI Bapak Prabowo, sehingga keputusan yang nantinya diambil adalah yang terbaik," kata Supratman, seperti dilaporkan Detik.
Sebelumnya, Rabu (20/11), Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. mengungkapkan bahwa telah tercapai kesepakatan dengan Indonesia untuk memindahkan terpidana mati kasus narkoba Mary Jane ke Filipina.
Mary Jane ditangkap di Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta, pada 2010 karena kedapatan membawa 2,6 kilogram heroin di kopernya.
“Setelah lebih dari satu dekade melakukan diplomasi dan konsultasi dengan pemerintah Indonesia, kami berhasil menunda eksekusi matinya,” kata Marcos Jr. dalam pernyataan tertulisnya.
“Cukup lama untuk mencapai kesepakatan dan akhirnya [kami akan] membawanya kembali ke Filipina.”
Eduardo Jose de Vega, pejabat Kementerian Luar Negeri Filipina, bahkan mengatakan Filipina tak sekadar berniat memulangkan Mary Jane dengan mekanisme pemindahan tahanan, tapi juga memberikan grasi padanya.
Pegiat HAM mengapresiasi, tapi mengingatkan ‘PR masih banyak’.
Jaringan Tolak Hukuman Mati (JATI), yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil dan individu yang mengadvokasi penghapusan hukuman mati, mengapresiasi kesepakatan pemulangan Mary Jane Veloso ke Filipina.
JATI mendorong pemerintah Indonesia dan Filipina untuk segera menetapkan langkah-langkah dan linimasa yang “pasti dan terukur” agar kesepakatan yang ada bisa menjadi “konkret”, sembari mengingatkan untuk menghormati dan memenuhi hak-hak Mary Jane sebagai korban perdagangan manusia.
Pemulangan Mary Jane pun diharapkan membuka jalan bagi pemerintah Indonesia untuk mengevaluasi status ratusan orang lain yang hingga kini masih berada di deret tunggu eksekusi pidana mati.
“Pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan melakukan mekanisme transfer of prisoner, komutasi [pengubahan hukuman], atau amnesti bagi terpidana mati yang terbukti sebagai korban perdagangan manusia, mengambil contoh baik dari rencana pemulangan Mary Jane Veloso,” kata JATI dalam pernyataan tertulisnya.
Tak hanya Mary Jane, kesepakatan pemulangan lima anggota “Bali Nine” yang kini menjalani hukuman penjara seumur hidup di Indonesia juga disambut baik sejumlah pegiat HAM. Namun, mereka berharap pemerintah tak hanya berhenti di situ.
Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, mendorong pemerintah untuk setidaknya menerapkan moratorium pelaksanaan hukuman mati, sembari merencanakan penghapusan hukuman mati sepenuhnya.
“Bila itu terjadi, baru saya mungkin bisa apresiasi yang serius,” kata Usman.
Senada, Yosua Octavian, koordinator penanganan kasus di Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), mengatakan “masih banyak PR yang harus dikerjakan” pemerintah.
Yosua bilang ia mengapresiasi rencana pemerintah memulangkan sejumlah terpidana narkoba ke negara asalnya, tapi menurutnya bukan berarti pemerintah kini sudah “progresif”.
Apalagi, menurut catatan LBHM, masih ada lebih dari 400 orang berstatus terpidana mati di Indonesia per 2022, yang 70% di antaranya merupakan warga negara Indonesia (WNI).
“Indonesia sampai saat ini tidak mengeluarkan pernyataan apa pun soal moratorium [hukuman mati],” kata Yosua.
“Sekarang terpidana mati masih ada enggak? Masih ada. Kita enggak boleh tutup mata. Bisa enggak ke depannya orang-orang itu dieksekusi mati? Masih bisa.”
Ia pun mempertanyakan pemerintah yang tidak kunjung meninjau kembali para terpidana mati, meski sebagian di antaranya telah menghabiskan lebih dari 10 tahun di penjara dan tercatat berkelakuan baik.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional terbaru yang terbit pada 2023 mengatur masa percobaan 10 tahun bagi terpidana mati.
Bila terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji selama masa percobaan tersebut, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan keputusan presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung.
“Ya ngapain juga lama-lama di dalam lapas, ngabisin uang negara? Dan, praktik lapas kan masih korup, kita enggak boleh bohong soal itu,” kata Yosua.
Dinna Prapto Raharja, dosen hubungan internasional Universitas Bina Nusantara, menilai Presiden Prabowo Subianto mengambil pendekatan yang “sangat transaksional” dengan menyepakati pemulangan sejumlah terpidana kasus narkoba ke Filipina dan Australia tanpa negosiasi berkepanjangan.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas memang telah mengatakan rencana memulangkan lima anggota tersisa “Bali Nine” akan diikuti upaya merepatriasi warga negara Indonesia yang kini ditahan di Australia.
Namun, di luar itu, belum ada informasi lebih lanjut mengenai apa saja yang bakal Indonesia dapatkan dari kesepakatan tersebut.
“Yang tidak terungkap tentu adalah permintaan di luar dari exchange of prisoners itu,” kata Dinna.
“Apakah memang cuma masalah prisoners? Saya sih ragu cuma sebatas itu.”
Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, mengatakan bisa saja Prabowo “berubah haluan” menjadi lebih lunak dalam penanganan terpidana narkoba karena ingin mencari peluang kerja sama lebih lanjut dengan negara-negara terkait, entah yang terkait ekonomi ataupun keamanan.
Apalagi, Indonesia di masa pemerintahan Joko Widodo disebutnya kerap mengisolasi diri dari perkembangan hukum internasional dan bersikap “hypernationalistic”, sehingga mengabaikan imbauan PBB ataupun sejumlah negara yang telah meninggalkan praktik hukuman mati.
Yang pasti, yang diberikan Indonesia mesti sebanding dengan apa yang didapatnya, kata Teuku Rezasyah, dosen hubungan internasional di Universitas Padjadjaran.
Bila ini murni pertukaran tahanan, Teuku bilang tahanan Indonesia yang bakal dipulangkan dari Australia harus “setara” dengan para anggota “Bali Nine”.
“Pertukarannya harus jelas dan apple to apple,” kata Teuku.
“Jangan sampai terkesan Indonesia lunak. Harus ada keseimbangan.”
Yosua Octavian, koordinator penanganan kasus di Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), berharap Indonesia dapat bernegosiasi dengan negara-negara selain Filipina dan Australia untuk memulangkan orang Indonesia yang berstatus terpidana mati di sana.
Menurut data Kementerian Luar Negeri, ada 233 warga negara Indonesia yang terancam pidana mati di luar negeri per September 2022.
Di sisi lain, Dinna melempar sejumlah kekhawatiran dari pendekatan transaksional Prabowo yang terkesan “mem-bypass” atau menerobos prosedur.
Apalagi, informasi yang beredar sejauh ini mengindikasikan kesepakatan pemulangan anggota “Bali Nine” tercapai hanya melalui pertemuan singkat antara Prabowo dan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese di sela KTT APEC di Peru.
“Ini juga bahaya. Masa urusan peradilan mau di-bypassed hanya oleh eksekutif lewat proses pembicaraan informal? Kalau side meeting itu kan informal,” kata Dinna, yang juga pendiri lembaga penelitian Synergy Policies.
“Jadi transaksi yang dilakukan oleh Pak Prabowo ini sebenarnya preseden yang kurang baik.”
Seharusnya, kata Dinna, ada permohonan resmi secara tertulis yang diajukan ke Indonesia untuk memulangkan para terpidana narkoba atau melakukan penukaran. Kemudian ada proses perundingan yang biasanya tidak selesai dalam satu atau dua kali pertemuan.
Kalaupun Indonesia ingin berdiplomasi dengan pihak lain untuk mencapai kesepakatan tertentu, prosesnya pun disebut mesti melibatkan pihak-pihak terkait, dari perjabat yang berwenang hingga masyarakat sipil yang terdampak.
“Jadi, enggak bisa itu ada namanya pengambilan keputusan diplomasi melulu hanya diputuskan di level kepala negara,” ujar Dinna.
Hikmahanto Juwana, guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, menyampaikan hal serupa.
Menurutnya, apa yang terjadi mengindikasikan Prabowo tidak melibatkan para birokrat yang memiliki “memori institusi” dan mengerti aturan yang berlaku dalam mengambil keputusan memulangkan para terpidana narkoba.
Itu karena kesepakatan pemulangan tersebut sebenarnya tidak memiliki landasan hukum, kata Hikmahanto.
UU Pemasyarakatan No. 22/2022 memang menyebutkan bahwa dalam hal tertentu, narapidana dapat dipindahkan ke negara lain berdasarkan perjanjian.
Namun, ketentuan mengenai pemindahan narapidana tersebut mesti diatur dengan UU.
Masalahnya, kata Hikmahanto, hingga saat ini belum ada UU terkait pemindahan narapidana di Indonesia, ataupun perjanjian antara Indonesia dan negara lain mengenai hal tersebut.
Di masa lalu, Indonesia pun menolak memulangkan terpidana narkoba Schapelle Corby dengan alasan tidak adanya UU soal pemindahan narapidana, tapi kini Mary Jane yang sama-sama terjerat kasus narkoba mendapat perlakuan berbeda.
“Dalam konteks demikian, kebijakan antara satu pemerintahan dan pemerintahan lain di Indonesia di mata negara lain jadi tidak ada konsistensi,” kata Hikmahanto.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, dan Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi belum bisa mengomentari ini.
Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, menilai bisa jadi Presiden Prabowo Subianto tengah berusaha mengubah citranya.
Selama ini, katanya, Prabowo dengan sejumlah dugaan pelanggaran HAM-nya dikenal berkarakter keras dan kerap menyampaikan narasi anti-asing dalam retorikanya.
Namun, belakangan ia merangkul sejumlah aktivis 1998 dan kini tampak bermurah hati memulangkan para terpidana narkoba ke negara asalnya.
“Itu mungkin bagian dari politik whitewashing-nya,” kata Usman.
“Di tingkat dalam negeri dia mengooptasi aktivis PRD [Partai Rakyat Demokratik], mengooptasi keluarga korban yang berhubungan langsung dengan penculikan. Dan, di tingkat luar negeri mungkin itu dilakukan dengan membuka keran-keran diplomatik yang selama ini sangat tertutup, cenderung kaku untuk urusan transfer of sentenced person.”
Yosua Octavian, koordinator penanganan kasus di Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), berpendapat sama.
Menurutnya, sejak setidaknya masa kampanye pemilu presiden 2024, Prabowo berulang kali berusaha mengubah citranya yang lekat dengan dugaan pelanggaran HAM, termasuk dengan merangkul para aktivis 1998.
Namun, imbuhnya, masih banyak yang harus Prabowo buktikan.
“Yang menarik bagi saya kalau dia berani kasih statement, ‘Saya tolak hukuman mati. Batalkan KUHP, bikin peraturan pemerintah, kasih bahan evaluasi besar kepada para penegak hukum,’” kata Yosua.
“Itu baru bagi saya tindakan nyata". (*)
Tags : sejumlah tahanan, lolos hukuman mati, tahanan dipulangkan ke negara asal, perdagangan narkoba, hukuman mati, hukum,