Headline Pendidikan   2023/09/03 10:37 WIB

Sekolah-sekolah di Indonesia Mulai Terapkan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), 'yang tak Jauh Beda dengan Penataran P4'

Sekolah-sekolah di Indonesia Mulai Terapkan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), 'yang tak Jauh Beda dengan Penataran P4'

PENDIDIKAN - Sekolah-sekolah di Indonesia mulai menerapkan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), yang merupakan cara baru untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada pelajar.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengatakan P5 berbeda dari cara-cara pendidikan Pancasila sebelumnya dengan melibatkan kegiatan penunjang berbasis proyek.

Namun tampaknya belum semua sekolah menerapkan program yang merupakan bagian dari Kurikulum Merdeka secara optimal.

Pengamat pendidikan mengatakan banyak guru di sekolah belum mendapatkan pelatihan yang cukup, sehingga tujuan program P5 itu tidak tercapai. 

Apa itu Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila?

Istilah P5 barangkali mengingatkan sebagian orang pada penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) di masa Orde Baru. Namun program ini sangat berbeda.

Jauh dari pidato dan diskusi satu arah yang oleh banyak orang dianggap sebagai indoktrinasi, P5 yang merupakan bagian dari Kurikulum Merdeka mengajak siswa untuk aktif terlibat dalam berbagai kegiatan proyek ko-kurikuler (menunjang mata pelajaran utama).

Dalam program P5, siswa tidak diajari nilai-nilai Pancasila secara mentah tetapi didorong untuk menangani isu-isu yang relevan di lingkungan mereka.

“Pelajar Pancasila yaitu pelajar sepanjang hayat yang kompeten, berkarakter, dan berperilaku sesuai nilai-nilai Pancasila, maka sangat penting untuk peserta didik mempelajari hal-hal di luar kelas yang berkaitan dengan isu penting yang dekat dengan kehidupan sehari-hari seperti perubahan iklim, kesehatan mental, teknologi, nasionalisme, dan isu-isu lainnya,” kata Kepala Pusat Penguatan Karakter di Kemendikbudristek, Rusprita Putri Utami didepan media.

Prita mengatakan setiap sekolah diberikan keleluasaan untuk menjalankan proyek tersebut, mulai dari memilih tema yang paling sesuai dengan konteks sekolah, alokasi waktu, modul proyek, atau kegiatan yang akan dilakukan.

Menurut buku panduan P5, Pelajar Pancasila diharapkan memiliki kompetensi-kompetensi yang berkaitan dengan konteks kehidupan dan tantangan bangsa Indonesia di abad ke-21 serta berpartisipasi dalam “pembangunan global yang berkelanjutan”.

Kompetensi-kompetensi tersebut dibagi ke dalam enam dimensi — Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia; berkebhinekaan global; bergotong-royong; mandiri; bernalar kritis; dan kreatif.

Bagaimana penerapan P5 di sekolah?

Bagaimanapun, tidak semua sekolah menjalankan program P5 dengan cara yang sama.

Avriela, seorang siswi kelas X di sebuah SMK swasta di Jakarta, mengatakan sekolahnya menyediakan satu jam setiap minggu untuk program tersebut. Setiap kelas diberi sebuah tema, kemudian siswa diminta untuk membuat kreasi bebas dari tema itu. Kelasnya sendiri kebagian tema “terima kasih”.

“Aku sih buat kliping tentang terima kasih. Kita dibebasin mau ngucapin terima kasih kepada guru, orang tua, atau teman. [bentuknya] ada poster, puisi, atau pantun,” ujarnya.

“Kita ngumpulinnya dengan cara upload di media sosial kemudian nanti gurunya menilai sendiri. Tapi proyek yang kita buat tetap kita bawa ke sekolah buat ditunjukkin secara langsung.”

Anak perempuan belasan tahun itu mengaku merasa program P5 ini “agak aneh” karena tujuan dan tugasnya kurang berkorelasi dengan tema.

“Kalau misalnya ini memang tujuannya buat kewarganegaraan dan lain-lain itu menurutku kurang nyambung. Tugasnya disuruh kreasi sendiri tanpa dijelasin apa-apa. Jadi menurut aku P5 ini kurang jelas,” katanya.

Silvia, guru di sebuah SD Islam terpadu di Bekasi, Jawa Barat, menceritakan pengalaman berbeda.

Dia menjelaskan kegiatan P5 di sekolahnya dilaksanakan dalam dua pertemuan setiap minggu. Proyek itu baru diterapkan di kelas 1 dan 4 bersamaan dengan Kurikulum Merdeka. Tim fasilitator yang terdiri dari guru-guru memilih tema kegiatan dari buku panduan P5 dari Kemendikbudristek.

“Tema-tema itu memuat sifat-sifat Pancasila di dalamnya, jadi nggak langsung isi Pancasila mentah-mentah. Tapi kita sesuaikan dengan isu-isu di lingkungan sekitar, yang di dalamnya bisa memuat nilai-nilai Pancasila,” ujarnya.

Misalnya, sekolah Silvia memilih topik “Sampahku hasil karyaku”. Siswa diajak untuk mendefinisikan apa itu sampah, memilah sampah, hingga membuat karya dari sampah.

Menurut Silvia, cara pendidikan P5 lebih cocok dengan anak SD karena tidak banyak memuat teori dan melibatkan banyak macam kegiatan seperti menonton video dan praktikum.

"Anak SD itu kan kalau terlalu banyak memuat teori pasti akan jenuh, akan bosan ... Kalau P5 kita benar-benar langsung menerapkan, bisa mengimplementasikan nilai pancasila itu lebih maksimal. dalam membentuk kemandirian, meningkatkan kreativitas, kemampuan komunikasi siswa. Itu lebih efektif daripada hanya pelajaran teori,” kata Silvia.

Para pengkritik P5 mempertanyakan hubungan program tersebut dengan nilai-nilai fundamental Pancasila seperti nasionalisme, musyawarah, dan keadilan sosial.

Direktur Pendidikan Karakter Education Consulting, Doni Koesoema, berpendapat bahwa enam dimensi kompetensi pelajar Pancasila, yang diharapkan menjadi luaran P5, tidak menunjukkan secara eksplisit nilai-nilai Pancasila.

Malah tidak semua dimensi tersebut adalah nilai, kata Doni; bernalar kritis dan kreativitas lebih merupakan keterampilan.

“Lalu kemudian yang paling saya kritik adalah di situ nasionalisme nggak eksplisit disebut. Nilai nasionalisme itu ada di iman, takwa, akhlak mulia. Dan kalau kalian perhatikan di buku panduannya di bagian akhlak mulia, di situ ada akhlak terhadap diri, akhlak terhadap sesama, akhlak terhadap Tuhan dan akhlak terhadap bangsa. Jadi nasionalisme itu direduksi menjadi semacam akhlak yang personal padahal bukan,” dia menuturkan.

Selain itu, imbuh Doni, banyak guru belum menerima pelatihan yang cukup untuk melaksanakan P5. Sejak Kemendikbudristek meluncurkan Kurikulum Merdeka, banyak guru diminta untuk belajar di platform digital. Cara ini menurutnya masih belum optimal.

“Dan akhirnya apa yang terjadi? Saya lihat banyak kekeliruan, banyak kekacauan sehingga malah tujuan profil pelajar Pancasila itu enggak tercapai. Karena apa, guru-guru tidak disiapkan dan tidak dilatih,” ujarnya.

“Kemudian bagi guru-guru yang tidak paham bagaimana cara menerapkannya, mereka ya asal-asalan saja. Karena asal-asalan lalu siswa itu merasa bosan.”

Kepala Pusat Penguatan Karakter Kemendikbudristek, Rusprita Putri Utami, mengatakan kementerian telah menyosialisasikan implementasi kurikulum merdeka dan platform merdeka mengajar melalui sosialisasi dan publikasi melalui kanal-kanal sosial media, aktivitas dengan komunitas guru dan kepala sekolah, serta melalui pelatihan-pelatihan.

Untuk guru-guru di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), imbuhnya, kurikulum merdeka juga disampaikan melalui flashdisk USB yang berisi panduan implementasi kurikulum merdeka dan modul-modul pelatihan termasuk yang terkait P5.

“Kami sangat berharap pendidik dapat secara aktif mengakses platform merdeka mengajar sehingga pendidik mendapatkan referensi, inspirasi, dan pemahaman untuk mengembangkan praktik mengajar,” kata Prita.

Dia mengklaim sudah banyak pendidik yang membagikan cerita praktik P5 di platform Merdeka Mengajar yang menunjukkan dampak positif bagi siswa seperti meningkatkan kesadaran, pemahaman murid, dan penguatan karakter murid.

“Namun, secara praktik memang masih ditemui satuan pendidikan ataupun guru yang meniru program P5 satuan pendidikan ataupun guru lain tanpa menyesuaikan dengan konteks/kondisi sekolah dan tantangan yang dihadapi di lapangan sehingga beberapa program terkesan tidak berjalan dengan baik,” ujarnya.

Pengamat pendidikan, Dharmaningtyas, mengatakan idealnya pendidikan nilai-nilai Pancasila dapat memberikan contoh implementasi nilai-nilai tersebut di dunia nyata termasuk di lingkungan sekolah sendiri.

“Misalnya, bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan di sekolah? Kalau dulu kan orang belum sempat berpikir soal hak-hak kaum difabel, yang berkebutuhan khusus. Jadi zaman itu, enggak ada bangunan sekolah dirancang untuk mereka yang berkebutuhan khusus.

“Tapi sekarang kalau kita mau mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan, ya kita harus berpikir juga memenuhi kebutuhan atau memenuhi hak-hak mereka yang berkebutuhan khusus,” ujarnya. (*)

Tags : sekolah mulai terapkan proyek penguatan profil pelajar pancasila, proyek P5, pendidikan, anak-anak,