Pendidikan   2021/06/07 15:8 WIB

Sekolah Tatap Muka Terbatas Mulai Diberlakukan, Demi Atasi 'Learning Loss'

Sekolah Tatap Muka Terbatas Mulai Diberlakukan, Demi Atasi 'Learning Loss'
Guru memeriksa suhu tubuh murid saat hari pertama masuk sekolah di SDN 11 Marunggi, Pariaman, Sumatera Barat, Juli 2020 lalu.

PENDIDIKAN - Pemerintah daerah di Indonesia diminta untuk hanya membuka sekolah ketika angka penularan Covid-19 di wilayah itu terkendali, menyusul dorongan Kemendikbud-Ristek agar sekolah segera membuka opsi pendidikan tatap muka terbatas (PTM) mulai Juli. Saran itu disampaikan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dalam konferensi pers Minggu (06/06).

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) mendasarkan argumen mereka pada kerugian jangka panjang terhadap pembelajaran anak-anak atau yang disebutnya learning loss jika pembelajaran tetap dilakukan secara daring. Namun demikian, sejumlah orang tua mengatakan belum yakin akan mengizinkan anak-anak mereka kembali ke sekolah karena alasan keselamatan.

Menurut pakar kesehatan, sekolah sebaiknya tetap menerapkan campuran pembelajaran secara daring dan tatap muka, mengingat ancaman kesehatan terhadap anak-anak jika terkena Covid-19, terutama mereka yang memiliki komorbid atau penyakit bawaan. 

Lenny Tambun, seorang warga Jakarta, menyatakan ragu bahwa dia akan mengizinkan anaknya kembali ke sekolah untuk mengikuti pelajaran tatap muka bulan Juli. Putrinya kini berusia 15 tahun dan akan segera melanjutkan ke bangku SMA. "Seketat-ketatnya protokol kesehatan di sekolah, pasti akan ada kelengahan anak-anak. Mungkin ada yang nggak sengaja, pengap lalu buka masker, kemungkinan penularannya pasti terbuka lebar, meski tatap muka hanya 50%. Nggak mungkin guru yang hanya belasan atau puluhan mengawasi semua murid yang bisa ratusan jumlahnya," ujar Lenny dirilis BBC News Indonesia.

Senada dengan Lenny, Wulan Kusumawardhani, warga Kota Tangerang, ibu dari dua anak yang duduk di bangku SD dan SMP, juga mengatakan ragu. "Terus terang saya dan suami belum rela lepas anak tatap muka. Apalagi, anak saya yang besar sekolahnya di sekolah negeri, yang kita tau muridnya bisa ratusan hingga ribuan. Walau ada pembatasan anak di sekolah, saat pergantian itu, tetap saja mereka akan bersinggungan di depan sekolah," kata Wulan.

'Learning loss'

Sebelumnya, Mendikbudristek Nadiem Makarim mendorong sekolah-sekolah membuka opsi pembelajaran tatap muka mulai Juli. Dalam skema PTM terbatas, hanya 50% anak yang masuk ke sekolah. Apalagi, katanya, sekitar 28% guru di Indonesia sudah divaksin. Di Jakarta, guru yang divaksin bahkan sudah mencapai hampir 80 persen. Namun, baru sekitar 30 persen sekolah yang menerapkan kebijakan opsi tatap muka, kata Nadiem.

Potensi learning loss juga disorot oleh pakar epidemiologi dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman. Menurutnya, masalah buka dan tutup sekolah kompleks, karena pada dasarnya penutupan sekolah harusnya menjadi opsi terakhir dalam pengendalian pandemi. Menurut Dicky, sekolah sangat penting, tak hanya karena terkait dengan pendidikan anak, tapi juga kondisi mental anak-anak.

Namun, ujarnya, yang terjadi adalah kini pelonggaran-pelonggaran sudah diterapkan, seperti dalam hal pembukaan mall, tapi sekolah belum dibuka. "Itu pendekatan salah dan tak berbasis ilmiah. Seakan kita memproteksi anak, padahal tidak," ujar Dicky.

Daerah didesak jujur dengan data kasus

Di sisi lain, dalam konferensi pers Minggu (06/06), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), meminta daerah benar-benar memperhatikan angka penularan kasus, sebelum memutuskan memberi izin pembukaan suatu sekolah. "Jangan membuka PTM di sekolah/madrasah hanya dengan pertimbangan gurunya sudah divaksin. KPAI mendorong pemerintah daerah melibatkan ahli penyakit menular dan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) di daerahnya untuk meminta pertimbangan saat hendak memutuskan membuka madrasah/sekolah tatap muka pada Juli 2021 nanti. Jika positivity rate di atas 10% sebaiknya pemerintah daerah menunda pembukaan sekolah tatap muka," ujar Jasra Putra, komisioner KPAI.

Yang dimaksudnya dengan positivity rate adalah persentase jumlah kasus positif virus corona dibandingkan dengan jumlah orang yang dites. Menurutnya, ketika suatu daerah memiliki angka penularan tinggi atau masuk ke zona merah, misalnya, hal itu dapat membahayakan peserta didik. Apalagi, kata Jasra, sekarang sudah ditemukan varian-varian virus corona baru di Indonesia.

Di Jakarta, misalnya, tingkat positivity rate masih berada di angka 14%, menurut data Pemprov Jakarta. Dalam konferensi pers yang sama, KPAI mengatakan, dari 42 sekolah di tujuh provinsi yang dikunjungi badan itu mulai Januari hingga Juni 2021, ditemukan hampir 80% sekolah yang sudah siap melaksanakan pembelajaran tatap muka. Namun, KPAI mengatakan, daerah perlu jujur terkait data Covid-19 di wilayahnya dan menggunakan angka positivity rate sebagai dasar membuka sekolah.

Menjawab sejumlah kekhawatiran terkait sekolah tatap muka, PLT Kepala Biro Humas dan Kerjasama Kemendikbud-Ristek, Hendarman mengatakan jika orang tua merasa tak aman untuk mengirimkan anaknya ke sekolah, opsi pembelajaran jarak jauh tetap bisa dipilih. Dalam keterangan tertulis, ia memastikan, pelaksanaan pembelajaran tatap muka terbatas tidak serentak dan tidak dipaksakan untuk semua sekolah. "Pemda berwenang menghentikan PTM Terbatas dan menutup sekolah jika terdapat kasus Covid-19 di sekolah. Kemudian menindaklanjuti dengan protokol testing, tracing, dan treatment (3T) sesuai prosedur yang berlaku," ujarnya.

Risiko dengan penyakit bawaan

Sementara itu, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam, menyarankan pemerintah mempertimbangkan hasil penelitian terbaru, yang menunjukkan bahwa sebanyak 40% anak dengan komorbid, yang dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, karena Covid-19, meninggal dunia. Penelitian itu diterbitkan FK UI dan RSCM dalam jurnal internasional. Maka itu, menurutnya sistem belajar daring dan tatap muka, atau yang disebutnya blended learning, tetap harus dilaksanakan. "Jika ada anak yang berisiko atau komorbid, ya dia harus di off-kan atau belajar di rumah. Jadi harus tetep blended, nggak bisa murni tatap muka gitu karena ada anak-anak yang nggak mungkin bisa tatap muka" kata Ari.

Ia menambahan, jika pemerintah menetapkan kapasitas 50% siswa yang masuk ke sekolah, menurutnya kapasitas maksimal sebaiknya hanya 30%. Pembukaan sekolah adalah hal krusial, menurut pakar epidemiologi Dicky Budiman, tapi sekolah disebutnya harus benar-benar harus siap dengan strategi pencegahan penularan Covid-19. Yang harus diperhatikan, misalnya masalah sirkulasi udara dalam kelas, jaga jarak, juga penggunaan masker. "Ini kompleks tapi worth it ketika kita benar-benar serius. Kita harus serius banget menyiapkan PTM ini. Bukan hanya semangatnya saja, tapi jaring pengamannya juga harus benar," ujarnya.

Evaluasi berkala, katanya, juga harus diterapkan dalam hal PTM di suatu sekolah sudah dilaksanakan. Ketika suatu sekolah berhasil menerapkan protokol kesehatan yang ketat di sekolah, kata Dicky, sekolah dapat berjalan dengan aman dan tak menjadi sumber penularan, sebagaimana yang dilihatnya terjadi di Australia. Ia juga merujuk data Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) yang menyatakan hal senada. (*)

Tags : Sekolah Tatap Muka Terbatas, Sekolah Tatap Muka Diberlakukan, Sekolah Tatap Muka Atasi Learning Loss,