"Tiga bulan setelah karantina wilayah selama pandemi diterapkan kelihatanya hubungan seks virtual menjadi penting untuk menggantikan aktivitas dengan sentuhan fisik"
i Inggris seorang mahasiswi Emma berusia 26 tahun, masuk ke pesta virtual di aplikasi Zoom. Di sana dia bergabung dengan orang-orang yang hanya pernah dia temui secara virtual. Pertemuan itu diadakan oleh Killing Kittens, sebuah perusahaan yang sebelum pandemi menyediakan jasa pesta seks personal yang berfokus pada penguatan perempuan. Pesta di Zoom yang diikuti Emma tadi dimulai dengan permainan meneguk minuman keras. Acara itu tidak seperti yang biasa Emma ikuti.
"Kami memutar serial 'Never Have I Ever' dan penyelenggara mengajukan pertanyaan seperti, 'Selebritas mana yang paling ingin Anda lihat di pesta Killing Kittens?'," kata Emma seperti dirilis BBC.
Pertanyaan itu memicu peserta pesta berbicara tentang fantasi dan preferensi seksual mereka. Itu menjadi transisi halus ke acara malam yang tidak disusun secara ketat. Emma berkata, beberapa peserta pesta kemudian mulai melepas pakaian mereka. "Itu adalah interaksi yang sangat baik dan cukup seksi dengan orang lain". Hubungan semacam inilaih yang selama ini diinginkan Emma. Saat teman serumahnya tinggal bersama keluarga dan kehilangan pekerjaan Maret tahun lalu, Emma menghabiskan sebagian besar pandemi tanpa hubungan fisik dengan orang lain. Ada saat-saat di mana situasi itu memicu perasaan sangat kesepian," kata Emma.
Walau sebelumnya pernah menghadiri pesta seks, baru November 2019 Emma bergabung dengan Killing Kittens. "Saya sedikit gugup untuk benar-benar terlibat," ujarnya. Ketika pandemi terjadi, Emma khawatir akan merindukan aktivitas itu. Emma lantas bergabung dengan salah satu grup obrolan Killing Kittens. Dia mulai memiliki teman dekat. Itu membuatnya merasa cukup nyaman untuk mempertimbangkan menghadiri pesta virtual demi ukuran. Selama pandemi, jaga jarak sosial juga menjadi isolasi seksual bagi individu dan pasangan yang ingin mengeksplorasi keintiman fisik.
Walau menciptakan pengalaman sentuhan seks secara daring tidak mudah, hubungan virtual dapat mengisi kerinduan atas keintiman yang dirasakan banyak orang. Pengalaman baru itu muncul dalam pertemuan di Zoom yang membahas topik 'kotor' atau pesta seks seperti yang dihadiri Emma. Metode baru setidaknya dapat mengisi kekosongan hubungan seksual secara fisik sampai batas tertentu.
Baik bagi peserta dan penyelenggara, pertemuan online terkait seks dapat menjadi substitusi hubungan fisik. Ini juga menjadi bantuan psikologis yang mereka sangat butuhkan. Meski begitu, hubungan yang memungkinkan sentuhan fisik tetap tidak dapat benar-benar digantikan. Bagaimanapun, selain pengganti seks selama pandemi, pertemuan virtual ini juga menunjukkan esensi penting dalam sebuah keintiman, baik dalam masa karantina wilayah maupun saat kita nantinya dapat saling bersentuhan lagi.
Menemukan keintiman digital
Hampir setahun setelah pandemi, banyak yang menemukan cara untuk berkencan dan menjalin hubungan secara daring. Aplikasi kencan seperti Bumble memungkinkan pengguna menunjukkan preferensi kencan: "hanya virtual" atau "dengan prinsip jaga jarak sosial". Menurut keterangan resmi Bumble, panggilan video dalam aplikasi mereka naik hingga 42% selama Mei 2020. Angka itu dikomparasi dengan masa sebelum karantina wilayah, dua bulan sebelumnya.
Namun menjalankan kencan pertama melalui obrolan video tidak dapat mengimbangi pengalaman seksual secara langsung. Elemen kunci seperti sentuhan fisik tidak memiliki pengganti yang sepadan. Tapi tetap saja, banyak orang menjalin keakraban secara daring. Oktober lalu, produsen minuman bersoda dan alkohol, Basic, mensurvei 2.000 lajang yang berusia di bawah 35 tahun di Amerika Serikat.
Mereka menemukan bahwa 58% responden mereka telah melakukan hubungan seks virtual selama pandemi Covid-19. Dari jumlah itu, 77% di antaranya melakukan hubungan seks virtual dengan orang yang belum pernah berhubungan seks secara langsung. Dan survei Bumble terhadap 5.000 lajang di Inggris, 32% di antaranya menyebut bahwa 'keintiman digital' penting dalam sebuah hubungan, baik selama karantina wilayah maupun saat pengetatan itu dicabut.
Bagi orang-orang seperti Emma, yang pernah mencoba metode ini tahun lalu, pesta seks virtual, pertemuan di Zoom mengenai pendidikan seks, mainan seks yang dikendalikan dari jarak jauh, dan keterlibatan dalam komunitas yang terbuka secara seksual terbukti dapat memuaskan hasrat seksual. Ini juga menjadi obat kerinduan terhadap sebuah keintiman. "Ada kepuasan seksual yang besar saat saya bisa menonton dan ditonton," kata Emma yang menyebut dirinya sebagai orang yang gemar memamerkan seksualitas.
Dan menonton pasangan yang secara nyata berhubungan seks berbeda dengan menonton pornografi. Ada nuansa personal dari aktivitas itu dan hubungan seksual virtual yang dilakukan Emma. Emma berkata, ia dan peserta lajang lain dalam ajang seks virtual membentuk hubungan erat karena saling berbagi pada tingkat yang sama. Di London, David menjalankan klub gaya hidup khusus orang dewasa bernama Le Boudoir. Klub ini dibuka untuk memungkinkan para pelanggannya bertemu secara fisik.
Oktober lalu, saat David untuk pertama kalinya menggelar pesta seks virtual dengan klub lainnya yang berbasis di London, antara lain Purple Mamba, dia melihat para peserta ajang itu berperilaku seolah-olah berada di ruang fisik. Mereka tidak 'berkerumun di sudut ruangan' walau awalnya ragu-ragu untuk mengobrol secara virtual dengan orang lain. Namun "Anda benar-benar dapat melihat mereka berhubungan secara hangat sepanjang malam", kata David.
Serupa dengan Killing Kittens, acara ini dimulai dengan aktivitas pemecah kekakuan, tapi tanpa pertunjukan tarian erotis. David berkata, aktivitas pembuka itu dapat membangkitkan minat peserta. Jalannya pesta terlihat sangat mirip dengan yang terjadi dalam kehidupan nyata. "Teknologi benar-benar meniru kehidupan sungguhan," kata David.
Karena bersifat virtual, acara seperti ini juga memperluas latar belakang peserta sehingga mencakup lebih banyak lokasi, rentang usia, dan tingkat pengalaman. Orang-orang yang menghadiri acara Boudoir dan Purple Mamba ada yang berasal dari Israel, Korea Selatan, Australia, dan AS. Pesta yang dimulai Sabtu malam waktu Inggris ini dapat bergulir hingga malam hari dengan aturan waktu berbeda, seperti di Pantai Timur AS dan di seluruh benua Amerika.
Sayle melihat bahwa acara virtual menarik peserta yang berusia muda. Alasannya bukan hanya karena mereka lebih sering berada di dunia maya, atau karena seperti itu cara mereka berkomunikasi saat ini. Alasan lainnya, kata Sayle, karena acara yang digelar virtual menghilangkan hambatan finansial untuk menghadiri pesta secara fisik. Tiket masuk pesta virtual yang digelar Killing Kittens dijual seharga US$ 27 atau Rp381 ribu. Sementara peserta pesta pesta tatap muka biasanya diwajibkan membayar US$ 480 atau sekitar Rp6,7 juta.
Emma, yang tidak tinggal di kota besar, memandang positif bahwa dia tidak perlu mengeluarkan uang untuk bepergian ke suatu acara di London, yang artinya dia juga harus membayar hotel, makan, dan membeli pakaian baru. "Sebagai seorang mahasiswi, itu cukup bagus," katanya.
Pesta seks virtual Boudoir dan Purple Mamba sekarang sudah menarik sekitar 150 peserta pada hari Sabtu tertentu. Sekitar setengahnya baru pertama kali menghadiri acara semacam ini. Sayle melihat perbedaan yang sama di acara Killing Kittens. "Banyak peserta yang benar-benar baru dan tidak pernah membayangkan akan menghadiri pesta seks sebelumnya," kata Sayle.
Menurutnya, ada faktor keamanan yang mendorong mereka muncul dalam obrolan video. "Anda dapat mematikan layar kapan saja," ujar Sayle. Hal itulah yang membuat pasangan yang tinggal di Inggris, Matt (31 tahun) dan Emily (29) merasa nyaman untuk pergi ke pesta seks virtual pertama mereka selama pandemi. Mereka menghadiri acara yang digelar Boudoir dan Purple Mamba. "Anda di rumah sendiri," kata Matt. Itu adalah keamanannya.
Meski pada akhirnya mereka sangat mungkin pergi ke pesta tatap muka, Emily menilai keputusan itu mungkin akan mereka ambil dalam kurun waktu yang cukup lama. Sejauh ini, pesta virtual membebaskan Matt dan Emily mengeksplorasi seksualitas dan hubungan mereka. Matt berkata gaya berbeda setiap orang terlihat. Menurutnya, itu yang menciptakan pengalaman berbagi yang nyata dengan pasangan lain, sebuah hal yang tidak ingin mereka alami sebelum pandemi.
Sejak mengikuti pesta pertama mereka, Matt dan Emily berubah pikiran. Pertemuan virtual juga membantu pasangan ini memahami bahasa sesuai keinginan mereka. Karena mereka harus berkomunikasi secara jelas dengan orang lain dari jarak jauh, Matt dan Emily mempelajari istilah tertentu yang menggambarkan preferensi mereka. Pesta virtual ini cocok dengan tren yang diamati seksolog asal Michigan, Megan Stubbs. "Saya melihat saat ini lebih banyak jalur komunikasi yang terbuka. Orang-orang lebih banyak berbicara dan lebih spesifik tentang kebutuhan mereka," kata Stubbs.
Jarak mengharuskan kondisi ini terjadi. Saat Anda tidak berada di ruangan yang sama dengan pasangan seks Anda, Anda tidak dapat mengandalkan bahasa tubuh dan isyarat halus. Namun, Stubbs berkata, "hanya karena Anda dipisahkan oleh jarak, bukan berarti aktivitas yang Anda lakukan tidak semaksimal jika dilakukan secara langsung," tuturnya. Namun, para ahli dan orang-orang yang melakukan hubungan seks virtual setuju bahwa tidak ada yang dapat sepenuhnya menggantikan sentuhan fisik. Seperti yang dikatakan Sayle, "Anda tidak bisa menciptakan pesta seks online."
Salah satu penyebabnya adalah proses seluler yang terjadi saat seseorang disentuh. Tiffany Field, pimpinan Touch Research Institute di Miller School of Medicine University of Miami, menjelaskan bahwa sentuhan bertekanan sedang merangsang reseptor tekanan di bawah kulit. "Sentuhan itu memicu reaksi berantai yang memperlambat sistem saraf," ujarnya. "Denyut jantung melambat, tekanan darah melambat, dan gelombang otak berubah ke arah theta, yang merupakan keadaan relaksasi."
Kadar kortisol, hormon stres yang membunuh sel kekebalan, juga menurun saat kita disentuh. Adapun, sel pembunuh alami, yang mengatasi bakteri, virus, dan sel kanker, meningkat. Fenomena biologis itu adalah hasil penelitian Field, yang secara khusus meneliti terapi pijat. "Sungguh ironis, selama pandemi ini, saat sentuhan semakin jarang kita alami, kita tidak memiliki perlindungan yang biasa diberikan sel pembunuh alami untuk membunuh sel virus," kata Field.
Berdasarkan risetnya tentang "sentuhan bertekanan sedang", Field menyebut seorang lajang masih dapat membantu mencegah hilangnya sentuhan melalui "sentuhan-diri". Metode ini antara lain aktivitas sederhana seperti peregangan dan jalan kaki, yang merangsang reseptor tekanan di bagian bawah kaki. Terlibat dalam seks virtual termasuk caranya. Syaratnya, orang itu harus aktif berpartisipasi. Baik penyelenggara maupun peserta ajang seks virtual ini mengatakan bahwa mereka mungkin akan melanjutkan aktivitas itu, termasuk saat aktivitas tatap muka dengan orang asing dinyatakan aman.
Keintiman digital menawarkan sesuatu yang unik: subjeknya tetap dapat tinggal di rumah dan tetap terlibat aktivitas yang memuaskan dengan orang-orang dari berbagai tempat, dengan biaya minimal atau tanpa ongkos sama sekali. Namun acara serupa yang diadakan secara tatap muka berpeluang besar meledak. "Sejarah ribuan tentang yang terjadi setelah pandemi dan perang menunjukkan bahwa orang akan mulai bercinta," kata Sayle.
Dan itu akan terjadi usai pandemi Covid-19. Pandemi juga dapat memicu dampak lain, yang membuat kita menyadari betapa kita kehilangan sentuhan. Sebelum pandemi Covid-19, Field dan rekan ilmuwannya mengamati seberapa banyak orang yang saling bersentuhan di gerbang keberangkatan bandara. Jumlahnya hanya 4%. Sementara 68% sisanya menggunakan ponsel mereka. Platform online dan media sosial membuat kita terpisah secara fisik sebelum pandemi. Sekarang, internet memfasilitasi banyak orang untuk melakukan aktivitas bersama. "Saya pikir Covid-19 telah memperburuk terjadinya sentuhan antarorang. "Sekarang mereka barangkali mulai menghargai aktivitas fisik yang dulu pernah mereka lakukan," kata Field. (*)
Tags : Pandemi, Hubungan Seks Virtual, Aktivitas Sentuhan Fisik,