SEMANGAT gerakan perempuan yang dikenalkan oleh RA Kartini di awal tahun 1900-an rupanya terus menggelora. Salah satunya dibawa oleh tokoh perempuan asal Jawa Barat bernama Nyai Djuaesih.
Wanita kelahiran Sukabumi, Juni 1901 itu turut menandai kebangkitan perempuan di tatar Sunda, khususnya dalam perspektif Agama Islam melalui asas kuat dari organisasi Nahdlatul Ulama (NU).
Djuaesih merupakan anak perempuan dari sepasang suami istri R. O Abbas dan R. Omara S. Dia dibekali dengan ilmu dan lingkungan agama yang kuat.
Kepribadian Djuaesih semakin kuat setelah ia menikah dengan pengurus NU di Jawa Barat, Danuatmadja alias Bustomi hingga menjadi seorang mubaligh perempuan. Dari situ, Nyai Djuaesih semakin bertekad kuat untuk mensyiarkan agama Islam (NU) dengan berceramah mengitari Jawa Barat.
Sejak kecil Djuaesih memang tidak berkesempatan mengenyam pendidikan formal seperti perempuan lainnya di masa itu. Namun, kondisi tersebut tidak ingin ia tularkan kepada para anaknya.
Ia berhasil menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang MULO (setingkat SMP di zaman Belanda). Semenjak menikah dengan H. Bustoni, dirinya semakin peduli dengan pentingnya pendidikan bagi kemandirian perempuan, khususnya dalam hal ilmu Agama.
Ia pun mulai sering mendampingi suaminya berdakwah dengan tujuan mengenalkan asas-asas Islam di ranah Nahdlatul Ulama.
"Dari keikutsertaannya itu, Nyai Djuaesih banyak bergaul dengan kalangan perempuan di daerah-daerah seperti Tasikmalaya, Ciamis, Sukabumi, Bekasi hingga Pandeglang untuk bersama-sama mensyiarkan Agama Islam," kata Rangga Suria Danuningrat seorang pegiat sejarah dari Soekaboemi History seperti dirilis detikJabar, Jumat (13/10/2023).
Kepeduliannya akan wajah perempuan Islam yang mandiri akhirnya membuahkan hasil dengan mendirikan Muslimat NU.
Dalam catatan yang dikutip dari paper 'Gerakan Perempuan Nahdlatul Ulama dalam Transformasi Politik' karya Sri Roviana, Nyai Djuaesih tercatat memiliki peran sentral dalam mewadahi aspirasi perempuan melalui organisasi tersebut.
Ia pun ingin perempuan bisa turut mensyiarkan agama Islam, layaknya laki-laki. Mengingat di masa itu, pendakwah hingga mubaligh tidak ada yang berasal dari kaum perempuan.
"Di dalam Islam, tidak hanya kaum laki-laki yang harus dididik mengenai pengetahuan agama dan pengetahuan lainnya. Kaum perempuan juga wajib mendapatkan didikan yang selaras dengan kehendak dan tuntutan agama," demikian kata Nyai Djuaesih.
Sejarah mencatat, Nyai Djuaesih menjadi pembicara perempuan pertama di acara Mukhtamar NU ke-13 di Menes, Provinsi Banten pada tahun 1938 dan ke-14 di Magelang tahun 1939. Pertemuan dari kedua tempat tersebut kemudian menjadi titik balik bagi perjuangan Nyai Djuaesih.
Setelah itu, terbentuklah sejumlah rumusan yang poin utamanya adalah mengukuhkan kaum perempuan dalam organisasi NU sebagai simbol pendidikan serta dakwah di tengah-tengah masyarakat.
Peran Nyai Djuaesih dalam mewadahi perempuan muslimah terus berlanjut. Pada Mukhtamar NU ke-15 di Surabaya, Muslimat NU mulai dikenal secara resmi.
Di sana, rumusan anggaran dasar dan pengurus besar Muslimat NU ditegaskan, meneguhkan peran mereka sebagai perwakilan suara perempuan dalam bidang keagamaan Islam. Peresmian Muslimat NU kemudian dilakukan pada Muktamar ke-16 di Purwekerto pada bulan Maret 1946.
"Sejak itu, Muslimat NU menjadi lembaga yang berfungsi dalam mengembangkan peran perempuan dalam kehidupan keagamaan," ujarnya.
Nyai Djuaesih tak hanya pandai mengajak perempuan bangkit dari keterpurukan pendidikan di masa penjajahan.
Ia juga dianggap pandai memancing gelora perjuangan fisik kaum perempuan di Jawa Barat, terutama pada masa perang kemerdekaan di tahun 1950-an. Hal ini terjadi setelah Muslimat NU mendapatkan hak otonomi dalam Muktamar ke-19 di Palembang tahun 1952.
Nyai Djuaesih menyatakan bahwa perempuan juga memiliki cita-cita dan hak untuk membantu pembebasan negara dari segala bentuk penjajahan. Oleh karena itu, Nyai Djuaesih mengajak perempuan untuk ikut terlibat dalam perjuangan fisik revolusi melalui Sukarelawati Muslimat NU.
Kepemimpinannya dalam Muslimat NU sejajar dengan peran RA Kartini. Nyai Djuaesih berhasil mengenalkan kaum perempuan pada tugas dan tanggung jawab yang biasanya diemban oleh kaum pria.
Rangga mengatakan, atas kegigihannya dan perjuangannya, pada 2018 lalu Nurfitriana, istri Bupati Sumenep memberikan penghargaan setara dengan penghargaan RA Kartini kepada Nyai Djuaesih. (*)
Tags : ra kartini, nyai djuaesih, berita jabar, jawa barat, kota bandung, bandung, lorong waktu jabar,