Headline Riau   30-12-2024 11:42 WIB

Sembilan Pungutan Pajak Bakal Kuras Dompet Kelas Pekerja 2025, 'Juga akan Cetak Orang Miskin Baru'

Sembilan Pungutan Pajak Bakal Kuras Dompet Kelas Pekerja 2025, 'Juga akan Cetak Orang Miskin Baru'
Sejumlah pekerja berjalan saat jam pulang kerja.

PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Pada 2025 setidaknya ada sembilan peraturan baru—mulai dari kenaikan pajak, pungutan, dan iuran—yang bakal menggerus dompet kelas pekerja.

Beragam kutipan itu dibutuhkan pemerintah untuk menambah pemasukan negara yang kondisinya saat ini sedang cekak, tapi harus membiayai janji-janji politik Presiden Prabowo Subianto—salah satunya makan bergizi gratis.

Sejumlah pengamat memprediksi jika semua rencana itu diberlakukan maka kelas pekerja berada "di ujung tanduk".

Artinya, mereka yang bergaji pas-pasan terpaksa menambah utang atau menguras tabungan demi menyambung hidup.

Karenanya para ekonom meminta pemerintah berpikir ulang, atau paling tidak kreatif mencari sumber-sumber pemasukan baru, tanpa harus membebani masyarakat kelas menengah ke bawah.

Para pekerja di Riau misalnya mengaku berat beban mereka tahun depan (2025).

Neny, seorang pekerja di salah satu perusahaan di Pekanbaru, selalu percaya kalau kerja keras adalah cara untuk bisa hidup sejahtera.

Meskipun gajinya saban tahun cuma naik sekitar Rp200.000-Rp300.000, dia tak pernah mengeluh.

Tapi pemikiran itu seketika buyar, begitu tahu akan ada setidaknya sembilan pungutan baru yang akan dibebankan kepadanya mulai 2025.

"Saya jadi merasa... pemerintah ini enggak membantu sama sekali," ujarnya ketika ditemui di Jalan Dagang tempat indekosnya di Pekanbaru pada Minggu (30/12).

"Saya akan tetap kerja keras cari duit, tapi tolong seenggaknya pemerintah jangan ngerepotin," keluhnya.

Perempuan berperawakan sedang ini sudah delapan tahun bekerja di perusahaan yang berkantor di kawasan Kota Pekanbaru.

Gajinya saat ini Rp4,3 juta per bulan. Tapi upah itu tak semuanya dinikmati sendiri.

Tiap bulan dia harus menyisihkan hampir sepertiga gajinya untuk dikirim ke orang tuanya di Tembilahan, Inhil.

Kebiasaan itu sudah berlangsung selama empat tahun terakhir sejak ayah dan ibunya berhenti berjualan makanan di kampung halaman mereka di Inhil.

Dari hasil jualan makanan selama bertahun-tahun itu, tak ada uang yang bisa ditabung.

"Orang [zaman] dulu ya mikirnya kan enggak panjang."

Di kota Pekanbaru ini, Neny indekos di kamar yang tidak terlalu besar dengan biaya sewa Rp600.000 per bulan.

Saban hari ia naik transportasi publik—baik bus dan ojek online—untuk wira-wiri ke kantor lantaran tak memiliki kendaraan pribadi.

Ia terpaksa merogoh kocek sekitar Rp400.000 per bulan untuk biaya angkutan umum.

Pengeluaran berikutnya, seperti makan dan kebutuhan sehari-hari, bisa mencapai Rp2 juta.

Perempuan yang juga doyan masak ini bukan orang yang terlalu suka menghabiskan uang untuk berbelanja, tapi kalau soal makan sangat perhatian.

"Harus bergizi dan menyehatkan," ucapnya berkali-kali.

Itu kenapa dia rutin mengonsumsi daging atau ikan segar yang dimasak sendiri dua kali seminggu.

Jika ditotal, maka pengeluarannya sekitar Rp6 juta per bulan. Artinya cuma tersisa Rp2 juta yang bisa ditabung.

"Tapi tunggu dulu, itu belum termasuk buat hobi saya menyelam dan berenang ya," katanya sambil mengingat-ingat.

"Jadi ya... paling yang bener-bener bisa ditabung cuma Rp1 juta," sambungnya sambil tersenyum kecut.

"Saya sedikit terbantu karena ada [tabungan] saham yang sebulan bisa dapat Rp500.000."

'Mimpi bisa jalan-jalan keluar negeri dan punya rumah pupus'

Malam itu, Neny sedang masak makanan khas Melayu di kamar indekosnya.

Aroma bumbu rempah terasa menusuk hidung.

Sambil menggoreng, ia bercerita beberapa hari lalu suasana hatinya tiba-tiba melow karena tak bisa lagi jalan-jalan keluar negeri. Padahal itu adalah mimpinya kala remaja.

Dari gaji, ia rajin menabung supaya bisa merasakan pengalaman di negara orang.

Tapi mimpi itu mesti dikubur dalam-dalam karena orang tuanya lebih membutuhkan uang tersebut.

"Hobi jalan-jalan itu yang harus saya korbankan," tuturnya pelan.

Kini, di usianya yang sudah menginjak 30 tahun, ia berkeinginan untuk memiliki rumah sendiri.

Niat itu sudah dirancangnya dalam satu tahun ke depan.

Ia bertekad memangkas pengeluarannya demi bisa membayar uang muka.

"Rencananya dalam satu tahun ini masa menabung, jadi tahun 2026 seharusnya sudah bisa nyicil rumah beberapa kali," katanya penuh harap.

"Umur saya sudah 30, jadi saya merasa sudah harus punya rumah sendiri."

Hanya saja, begitu tahu akan ada pungutan-pungutan baru yang dibebankan pemerintah, dia mengaku gamang.

"Kalau gaji habis untuk bayar iuran, pajak, pungutan... kapan bisa punya rumah? Untuk kumpulin uang muka mungkin akan lama."

Mulai malam itu, Neny mungkin akan semakin gelisah.

Raut mukanya seperti bertanya-tanya akan seperti apa ia menjalani tahun baru 2025 dengan seabrek pengeluaran.

"Rasanya kayak digencet oleh kebutuhan dan kebijakan pemerintah ini... kalau mau bikin gitu, targetnya orang kaya dong, jangan yang nanggung-nanggung ini kena juga."

"Ini namanya mencetak orang miskin baru."

Apalagi harga rumah di kota ini, baginya, terbilang sangat tinggi.

Sedangkan gaji mereka diperkirakan tidak akan cukup, bahkan, untuk membayar uang muka.

Neny juga bilang percuma pemerintah menaikkan upah minimum nasional kalau ujung-ujungnya dibebankan iuran-iuran baru.

"Dengan memberlakukan kebijakan-kebijakan ini, pemerintah sebenarnya mau ngapain? Memang utang negara banyak tapi mbok jangan meres masyarakat yang menengah ke bawah," ucapnya kesal.

"Pejabat fasilitasnya dikurangi kan bisa jadi anggaran yang keluar enggak berlebihan."

Apa saja pungutan-pungutan baru yang dikenakan pada 2025?

Berdasarkan analisis para ahli ekonomi, ada sembilan aturan baru yang akan menggerus dompet kelas menengah ke bawah, terdiri dari kenaikan pajak, pungutan, asuransi, dan iuran. Rinciannya:

PPN 12%

Pemerintah akhirnya memutuskan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025, meski dihujani kritik.

Kenaikan PPN ini amanat UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan. Beleid itu diteken di masa pemerintahan Joko Widodo.

Pemerintah sempat mengeklaim kenaikan PPN jadi 12% hanya berlaku untuk barang dan jasa premium.

Namun para pakar ekonomi menilai, klaim itu tidak sepenuhnya benar. Semua komoditas, kecuali sembako, akan mengalami kenaikan harga mulai dari proses produksi hingga distribusi.

Lembaga riset ekonomi Celios menghitung jika PPN menjadi 12%, maka kelompok miskin akan mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp101.880 per bulan.

Sementara kelompok rentan miskin diperkirakan bakal mengalami lonjakan pengeluaran Rp153.871 per bulan dan kelompok menengah Rp354.293 per bulan.

Besaran angka itu didapat dengan asumsi inflasi tahun 2025 sebesar 4,1% yang kemudian diolah berdasarkan data pengeluaran rumah tangga dan komoditas yang dikenakan pajak 12%.

Tetapi pengamat energi dari UGM, Fahmy Radhy, berkata pemerintah tak punya pilihan selain mengerek harga BBM lantaran anggaran yang terbuang gara-gara subsidinya tidak tepat sasaran mencapai Rp90 triliun.

Ketua Pengurus Harian YLKI Riau, Sukardi Ali Jahar, berkata kenaikan harga BBM sudah pasti berdampak langsung pada kelas menengah-bawah.

Sebab mereka terjepit di antara kenaikan harga-harga bahan pokok, namun tak mendapatkan "bantalan" dari pemerintah.

Program anyar pemerintah berupa asuransi wajib pihak ketiga alias Third Party Liability (TPL) merupakan inisiatif dari pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Dasar hukumnya UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang pengembangan dan penguatan sektor keuangan.

Dalam Pasal 39a Bab VI berbunyi pemerintah bisa membentuk program asuransi wajib sesuai dengan kebutuhan, salah satu yang akan diterapkan adalah asuransi kendaraan bermotor berbentuk TPL terkait kecelakaan lalu lintas.

Kalau berpijak pada UU, pemerintah diberi waktu paling lama dua tahun menyusun peraturan pelaksananya. Itu artinya, aturan asuransi TPL akan diterbitkan paling lambat 12 Januari 2025.

Sejumlah pengamat asuransi bilang bisa dalam rentang Rp50.000-Rp300.000 per tahun.

Namun pakar asuransi, Irvan Raharjo, menilai pemerintah sebaiknya mengoptimalkan asuransi Jasa Raharja ketimbang menggunakan skema baru dan kelembagaan baru.

Adapun pengamat kebijakan publik, Trubus Rahardiansah, menyarankan asuransi TPL sebaiknya dibuat opsional alias sukarela agar tak membebani masyarakat lagi.

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada 2025 tak bisa dihindari menyusul defisit keuangan badan ini yang terus membengkak hingga mencapai Rp20 triliun.

Jika dibiarkan, maka BPJS Kesehatan mengeklaim mereka tidak akan bisa membayar klaim rumah sakit yang telah merawat para peserta program JKN.

Kalau berpijak pada Perpres Nomor 59 Tahun 2024 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang jaminan kesehatan, maka tenggat waktu kenaikan iuran jatuh pada 1 Juli 2025.

Nantinya akan ada skema baru iuran BPJS Kesehatan sejalan dengan diterapkannya sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang menggantikan sistem kelas 1, 2, dan 3.

Meski belum ada hitungan berapa angka kenaikannya, tetapi Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar, memperkirakan kenaikan yang masuk akal berkisar 15%-20%.

Saat ini, iuran BPJS Kesehatan berdasarkan pembagian kelas dipatok sebesar Rp150.000 untuk kelas 1, lalu Rp100.000 untuk kelas 2, dan Rp42.000 untuk kelas 3.

Tetapi Direktur Eksekutif Lebaga Penelitian Pengembangan Pendidikan (LP3) Anak Negeri, Wawan Sudarwanto, mengatakan bukan tanpa alasan semua pungutan itu bisa berbarengan di tahun yang sama.

Kalau diperhatikan dengan saksama, beberapa peraturan yang melandasi pungutan-pungutan itu disusun pascapandemi Covid-19.

Harapan pemerintah yang saat itu dipegang oleh Joko Widodo, setelah masa pagebluk selesai, pemulihan ekonomi terjadi secara signifikan.

"Jadi waktu itu ada yang memproyeksikan ekonomi Indonesia naik sampai 7%, karena pascacovid mobilitas sudah mulai normal lagi, kinerja ekspor bakal naik," ungkapnya.

Pemerintah dan DPR, katanya, lantas merancang sejumlah regulasi dengan ekspektasi yang "tinggi". Berharap ketika aturan itu berlaku pada 2025, masyarakat sudah siap tanpa harus terbebani.

Tapi selain itu, menurut Wawan, ada persoalan utama terkait defisit APBN yang semakin lebar.

Dalam rapat antara jajaran Kementerian Keuangan bersama Komisi XI di DPR pada 31 Agustus 2023, dijabarkan bahwa pada periode 2014-2024, postur APBN terus meningkat dari sisi pendapatan maupun belanja negara.

Namun, Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara, menyebut pada periode pandemi yaitu 2020, pendapatan negara turun drastis. Sementara belanja negara membengkak signifikan.

"Kalau kita lihat keseluruhannya progres dari pendapatan negara kita terus meningkat, namun kita mengalami pressure pada tahun 2020," ujar Suahasil.

Pada 2020, tercatat pendapatan negara Rp1.647,8 triliun sedangkan belanja negara sebesar Rp2.595,5 triliun.

Alhasil defisit anggaran pada tahun tersebut mencapai Rp947,7 triliun.

Pemerintah, kata Wawan, tak bisa menambah utang baru untuk menambal defisit APBN di tengah risiko global yang sedang meningkat dan ada tren penguatan dolar Amerika Serikat.

Terlebih, utang pemerintah bertambah hampir Rp6.000 triliun atau melonjak 224% selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Ia menyebut ruang fiskal APBN dalam 10 tahun terakhir tergolong "berat".

Itu nampak dari makin besarnya rasio pembayaran pokok utang beserta bunganya dari tahun ke tahun.

Pada 2013, porsi pembayaran utang di APBN hanya 18% dari pendapatan negara. Sepuluh tahun kemudian pada 2023, porsinya naik jadi 38%

Pada 2025, angkanya diperkirakan akan terus meningkat dengan sekitar 45% pendapatan negara habis untuk membayar utang.

"Jadi perekonomian Indonesia selama pemerintahan Pak Jokowi yang diklaim baik, adalah semu," ungkapnya.

"Dan hal itu tidak tersampaikan kepada pemerintahan baru Pak Prabowo bahwa ternyata kondisi keuangan negara jauh lebih berat untuk membiayai program-program andalannya."

Berada pada situasi yang disebutnya "terjepit", menurut Andri, pemerintah hanya punya tiga pilihan: melakukan penghematan belanja ekstrem, meningkatkan pajak secara signifikan, termasuk memberlakukan pungutan-pungutan ke masyarakat.

Jika opsi-opsi itu tidak dilakukan, janji politik Presiden Prabowo Subianto seperti program makan bergizi gratis, swasembada pangan dan pembangunan tiga juta rumah menjadi taruhan dan mungkin tidak akan terealisasi, kata Wawan.

"Ada faktor janji politik yang ongkos politiknya lebih berat apabila program makan gratis itu tak terlaksana dan pemerintah melihat menyengsarakan kelas pekerja itu biaya politiknya lebih rendah," ujarnya.

"Kenapa? Karena kelas pekerja tidak punya bargaining power [daya tawar] dalam peta politik."

Itu mengapa, kenaikan PPN menjadi 12%—seperti diprediksi sebelumnya—tetap akan diberlakukan walaupun menuai keributan di masyarakat, kata dia.

Sementara pemerintah belum berani memajaki orang kaya lewat pajak kekayaan.

Padahal, perhitungannya, dengan mengambil 1%-2% saja pajak kekayaan per tahun dari 50 orang terkaya Indonesia, pemerintah bisa mengantongi setidaknya Rp80 triliun.

Angka itu lebih tinggi dari target penerimaan negara dengan menaikkan PPN 12% sebesar Rp75 triliun.

Seperti apa kondisi kelas menengah ke bawah saat ini?

Wawan Sudarwanto mengatakan kondisi keuangan masyarakat kelas menengah ke bawah—termasuk kelas pekerja—sudah sangat tertekan.

Mereka terhimpit oleh kenaikan harga-harga bahan pokok, ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan utang yang menumpuk.

Bagi mereka yang masih bertahan di pekerjaannya, pendapatan yang diperoleh juga tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sedangkan bagi mereka yang sedang mencari pekerjaan baru, peluang untuk diterima sangat tipis di tengah gelombang PHK di berbagai sektor industri.

Kementerian Ketenagakerjaan baru-baru ini merilis jumlah pekerja yang mengalami PHK sepanjang Januari hingga Desember 2024 mencapai kurang lebih 80.000.

Jumlah itu lebih tinggi dari dibandingkan dengan total pekerja ter-PHK sepanjang tahun 2023 yang berkisar 60.000 orang.

Tetapi seperti yang dipaparkan para pekerja di kota ini ternyata klop dengan kondisi di Kota Pekanbaru.

Nune, pekerja di Pekanbaru, bilang gajinya nyaris tak lagi mencukupi kebutuhan dan mimpinya punya rumah sendiri, sehingga terpikir mencari pekerjaan sampingan.

"Saya butuh pemasukan dari sumber lain, yang kepikiran saat ini jadi affiliate, penulis lepas, jual foto, atau ikut-ikut lomba," ungkapnya dengan nada pasrah.

Nurul, juga pekerja di Pekanbaru, juga bercerita pendapatan dia dan sang suami belum bisa dibilang aman kalau tiba-tiba ada pengeluaran besar. Misalnya bayar pendaftaran ulang naik kelas sang anak.

Karenanya ia merasa harus dapat uang tambahan dari kerjaan sampingan, salah satunya sebagai marketing di kantor.

Wawan Sudarwanto menyebut kelas pekerja seperti Nuny dan Nurul berada "di ujung tanduk"—yang artinya antara kebutuhan dan pendapatan sudah semakin tidak stabil.

Kalau dibiarkan, kata Wawan, mereka dan pekerja lainnya akan terjebak pada fenomena "makan tabungan" atau berutang.

Bagaimana nasib kelas pekerja pada 2025?

Sejumlah pengamat ekonomi dan organisasi yang berfokus pada perlindungan konsumen berpendapat nasib kelas pekerja pada 2025 akan "sangat berat".

"Saya sampai tidak punya kata-kata untuk menggambarkan dengan baik," ucap Sukardi Ali Jahar sembari terdiam beberapa detik.

Yang pasti, sambungnya, kelas pekerja akan semakin menyadari bahwa keberadaan dan kesejahteraan mereka tak ada artinya di mata pemerintah.

Dia menghitung kalau kenaikan pajak dan pungutan-pungutan itu dijalankan, bisa menyumbang inflasi hingga 4%.

Dengan asumsi demikian, disposable income masyarakat akan terus turun.

Disposable income atau pendapatan yang siap dibelanjakan adalah pendapatan pribadi yang bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari setelah dikurangi pajak langsung.

"Artinya sebelum mereka bisa membelanjakan uangnya, pungutan-pungutan tadi bisa menurunkan pendapatan yang diterima bersih oleh si pekerja. Kalau begitu, daya belinya dari mana?" ujar Sukardi.

Dampaknya, kata dia, masyarakat menengah ke bawah akan sangat berhemat dengan mencari barang-barang kebutuhan yang lebih murah.

Entah berbelanja di warung konvensional atau ke "pasar gelap" yang tak dipungut pajak.

Ia bilang kemungkinan besar kelas menengah ke bawah bakal mengubah pola konsumsinya.

Caranya mengurangi kualitas bahan pangan yang dikonsumsi.

"Misalnya biasa beli daging, jadi enggak beli."

Jadi yang nantinya, sebut Sukardi, bisa menurunkan kesehatan, kualitas sumber daya manusia, dan tentu saja berlawanan dengan upaya pemerintah meningkatkan SDM.

"Jadi, tidak ada lagi slogan Indonesia emas, toh?," tanya dia. (*)

Tags : pungutan pajak 12 persen, sembilan pungutan baru pajak, riau, pungutan pajak kuras dompet kelas pekerja, pajak 2025, masyarakat, pekerjaan, kemiskinan, pengangguran,