PEMERINTAH bersama DPR dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memutuskan akan menggelar Pilkada Serentak 2024 pada 27 November 2024.
Hanya berselang 287 hari dari pelaksanaan Pemilu Presiden dan Legislatif yang dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Pilkada Serentak 2024 akan digelar di 38 Provinsi dan 514 kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Sempitnya waktu antara pelaksanaan Pilkada dengan Pemilu yang hanya berselang 287 hari (belum lagi masa kampanye resmi yang terbatas) akan menguntungkan bagi kandidat petahana.
Setidaknya ada tiga alasan yang bisa memperkuat argumen ini. Pertama, waktu kampanye yang sempit membuat kandidat penantang tidak mempunyai waktu yang panjang untuk melakukan sosialisasi.
Kandidat penantang akan memiliki keterbatasan waktu untuk memperkenalkan dirinya ke masyarakat.
Sementara kandidat petahana tidak memerlukan waktu yang panjang untuk melakukan sosialisasi karena petahana sudah memiliki modal popularitas dan elektabilitas yang mumpuni untuk maju lagi pada Pilkada selanjutnya.
Hal ini bisa dilihat dari berbagai hasil survei Pra-Pilkada yang diikuti petahana di berbagai daerah. Dalam berbagai hasil survei, mayoritas petahana selalu berada di posisi teratas.
Sebagai contoh, contoh pada elektabilitas petahana Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Berdasarkan survei Cyrus Network yang dilakukan di Jawa Barat pada 23-28 Juni 2022, Ridwan Kamil masih menempati urutan pertama dengan elektabilitas sebesar 64,3 persen untuk calon Gubernur Jawa Barat periode 2024-2029.
Investasi politik selama menjabat ditambah ingatan publik yang masih dan hanya mengenal petahana sebagai kepala daerah akan membawa keuntungan bagi petahana jika waktu kampanye hanya sebentar.
Belum lagi kalau kandidat petahana tersebut masih memegang power di pemerintahannya.
Infrastruktur di pemerintahan tentu akan menunjang kandidat petahana untuk dapat mempertahankan kekuasaannya.
Dari data dan fakta ini, kita bisa menarik kesimpulan bahwa minimnya waktu pelaksanaan Pilkada akan lebih menguntungkan kandidat petahana dibandingkan penantangnya.
Alasan kedua adalah minimnya atensi publik terhadap penyelenggaraan Pilkada. Pilkada akan ‘tenggelam’ terkena imbas dari hiruk pikuk Pilpres dan Pileg yang akan menghadirkan dinamika politik sangat ketat di masyarakat.
Konsentrasi publik yang begitu tersita selama pelaksanaan Pileg dan Pilpres akan menimbulkan efek jenuh di publik jika harus menghadapi kontestasi politik besar kembali.
Pada akhirnya bisa jadi partisipasi publik pada hari pemilihan Pilkada akan rendah. Rendahnya partisipasi pemilih tentu akan menguntungkan kandidat petahana.
Kandidat petahana diuntungkan lantaran tidak banyak masyarakat yang menginginkan perubahan pada pemimpinnya, sehingga terciptalah status quo pada hasil pemilihannya.
Sebagai contoh pada pelaksanaan Pilkada 2015 yang angka partisipasi pemilihnya tidak lebih dari 60 persen. Berdasarkan data KPU, 82,5 persen kandidat petahana yang mengikuti Pilkada, sebanyak 63 persennya mendapatkan kemenangan.
Hal ini terjadi di wilayah Tangerang Selatan, Depok, Medan, Semarang, Surabaya, Siak, Maluku Utara, dan Wonogiri di mana partisipasi pemilih yang rendah telah menguntungkan kandidat petahana.
Selanjutnya, alasan ketiga adalah dukungan partai politik (parpol). Parpol saat menentukan arah dukungan terhadap pasangan calon kepala daerah, tentu pertimbangan pertamanya adalah kemenangan.
Parpol akan lebih memilih mendukung calon yang memiliki kemungkinan menangnya lebih besar. Sebelum memutuskan mendukung atau mengusung calon kepala daerah, biasanya partai politik akan melihat hasil survei elektabilitas.
Dari hasil survei tersebut, barulah partai politik menentukan pilihannya kepada siapa dukungan itu diberikan. Jadi jika pertimbangan awalnya adalah kemenangan, tentu yang dipilih adalah kandidat yang memiliki elektabilitas tertinggi.
Jika kembali lagi menilik hasil survei, maka kandidat petahana akan lebih berpeluang mendapatkan banyak dukungan dari parpol. Banyak atau minimnya dukungan parpol, tentunya akan memengaruhi kekuatan mesin politik calon kepala daerah.
Parpol memiliki infrastruktur yang sudah mapan mulai dari tingkat elite hingga ke akar rumput. Infrastruktur tersebut kemudian bisa dimanfaatkan dan diberdayakan untuk menggalang kemenangan bagi calon yang diusung.
Para kader beserta organ-organ parpol bisa digerakkan untuk mengampanyekan kandidat dan menjemput suara di lapangan.
Pada akhirnya semakin banyak mesin politik yang bekerja maka semakin besar peluang kemenangan itu diraih.
Langkah strategis penantang Dengan adanya fakta yang telah diuraikan sebelumnya, lantas apakah membuat peluang menang bagi kandidat penantang menjadi tertutup?
Jawabannya tentu saja tidak. Peluang menang bagi kandidat penantang masih terbuka sepanjang mereka bisa memanfaatkan keterbatasan waktu yang ada dan mempunyai strategi pemenangan yang jitu.
Harus diakui memang kandidat penantang mempunyai pekerjaan rumah yang lebih ekstra dibandingkan petahana. Oleh karena itu, kandidat penantang harus memiliki langkah-langkah strategis untuk memastikan peluang menang masih terbuka.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memulai segalanya lebih awal. Waktu kampanye memang terbatas, tapi bukan berarti kandidat penantang tidak bisa bergerak lebih awal untuk melakukan sosialisasi ke masyarakat.
Kandidat bisa melakukan sosialisasi ke publik lebih awal, misalnya, dengan turun ke masyarakat dan memasang baliho sebagai bakal calon kepala daerah.
Kandidat penantang juga bisa berkampanye di media sosial dengan membuat konten-konten menarik seputar rekam jejak dan personal branding dirinya sebagai bakal calon kepala daerah.
Selain itu, kandidat juga bisa memenuhi ruang publik dengan menjadi narasumber di berbagai kanal media untuk dapat menuangkan wacana, opini, dan gagasan terkait pembangunan di daerahnya.
Dengan demikian, kandidat penantang sudah bisa dikenal oleh publik tanpa harus melanggar aturan main. Langkah kedua adalah kandidat penantang harus segera membungkus tiket pencalonan dan mendapatkan banyak dukungan parpol.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa bandul dukungan parpol akan lebih berat mengarah ke kandidat petahana.
Jadi wajib hukumnya bagi kandidat penantang untuk segera membangun relasi dan konsolidasi politik ke berbagai parpol maupun simpul-simpul masyarakat.
Sebagai contoh, kandidat bisa mengumpulkan dukungan dari pihak oposisi atau ex-lawan politik petahana saat Pilkada sebelumnya.
Kandidat bisa menawarkan gagasan dan program baru sebagai antitesa dari apa yang sedang dikerjakan oleh petahana.
Terakhir, langkah strategis yang bisa ditempuh oleh kandidat penantang adalah membuat pemetaan politik dan membentuk tim relawan dari unsur masyarakat.
Pemetaan politik penting untuk dilakukan agar kandidat memahami konteks geopolitik di setiap wilayah.
Dengan memahami geopolitik di setiap wilayah, kandidat bisa mengetahui kekuatan dan kelemahan dalam bertarung merebut suara masyarakat. Misalnya, di wilayah X masyarakatnya masih terbuka dan belum memiliki kemantapan pilihan.
Nah, wilayah seperti ini haruslah digarap secara maksimal oleh mesin politik kandidat. Pemetaan politik seperti ini bisa dilakukan dengan menggunakan metode survei opini publik.
Setelah memahami pemetaan politik, langkah berikutnya adalah membentuk tim relawan yang berasal dari unsur masyarakat.
Pembentukan tim harus berbasiskan teritorial wilayah. Setiap wilayah harus terisi oleh tim relawan kandidat.
Tim relawan inilah yang akan menjadi tulang punggung di wilayah yang akan berinteraksi langsung dengan calon pemilih.
Selain itu, tim relawan juga bisa berfungsi mengisi kekosongan atau pelengkap dari apa yang sudah dilakukan oleh mesin parpol di lapangan.
Jika semua langkah strategis ini dilakukan dengan optimal, maka kemenangan bukanlah hal yang mustahil bagi kandidat penantang.
Memang di Pilkada 2024 nanti kandidat petahana banyak diuntungkan tapi bukan berarti mereka tidak bisa dikalahkan. (*)
Tags : pilkada serentak 2024, petahana, peluang petahana menang, pilgub, waktu sempit di pilkada ,