PEKANBARU - Dinas Pendidikan (Disdik) Riau membuat keputusan terkait praktik bisnis yang berlangsung di sekolah berupa seragam SMA/SMK Negeri yang sudah menyedot anggaran Rp 174 Miliar.
"Seragam SMA/SMK Negeri menyedot anggaran Rp 174 miliar."
"Aparat penegak hukum bisa masuk mengusutnya. Karena bisnis seragam siswa di sekolah itu merupakan pelanggaran terhadap aturan," kata Direktur Badan Advokasi Publik, Dr Rawa El Amady pada wartawan, Rabu (9/10).
Aparat penegak hukum diminta bersikap dan mengambil tindakan terkait praktik bisnis yang berlangsung di sekolah di Riau.
Secara khusus, langkah hukum bisa dilakukan terhadap proyek seragam siswa baru SMA/SMK Negeri di Riau yang nilai cuannya tembus hingga Rp 174 miliar tahun ini yang sarat pungutan liar (pungli) maupun gratifikasi.
Menurutnya, terus berlanjutnya bisnis di sekolah tidak saja terkait seragam siswa, namun juga jual beli buku dan pungutan lainnya.
Pihak sekolah selalu beralibi bahwa pengadaan kebutuhan siswa itu telah mendapat stempel legalisasi dari keputusan komite sekolah.
"Diduga kuat pihak sekolah bekerja sama dengan komite sekolah," kata Rawa.
Menurutnya, meski negara tidak secara langsung dirugikan dalam bisnis seragam siswa, namun ada pihak-pihak yang mendapat keuntungan langsung dari bisnis tersebut.
Padahal, bisnis di lingkungan sekolah telah dilarang keras. Itu sebabnya, Rawa menilai bisnis di lingkungan sekolah bisa digolongkan masuk dalam kategori pungutan liar (pungli).
Namun, jika keuntungan bersifat ilegal dari bisnis seragam siswa di sekolah dinikmati oleh Aparatur Sipil Negara (ASN), maka peristiwa tersebut bisa dijerat dengan penerimaan hadiah atau gratifikasi yang merupakan salah satu dari jenis korupsi.
"Jadi bisa saja masuk dalam kategori pungli atau gratifikasi," terang Rawa.
Persoalan bisnis pengadaan seragam siswa SMA/SMK Negeri di Riau juga membuka masalah baru, terkait dengan kewajiban pembayaran pajak.
Rawa menyatakan, pembiaran terjadinya bisnis di lingkungan sekolah oleh otoritas terkait lekat hubungannya dengan perilaku bernuansa korupsi. Sebab korupsi tidak berdiri sendiri, namun berawal dari jenjang paling bawah sampai paling atas yang menutup mata atas bisnis-bisnis di lingkungan sekolah.
"Itu sarat gratifikasi. Pembiaran ini terjadi lekat hubungannya dengan korupsi," kata Rawa El Amady.
Rawa mengeritisi paradigma pendidikan yang belum berubah, karena pendidikan justru dipandang sebagai kegiatan bisnis atau kapitalisasi.
"Ada budaya permisif terhadap korupsi yang terjadi di pendidikan kita. Hal itu disetujui oleh orang tua murid dengan alasan rasa takut. Akhirnya praktik ini berkembang subur dan berkelanjutan," kata Rawa yang merupakan antropolog alumnus Universitas Indonesia ini.
Ia menyoroti ketidakpedulian pemerintah pada praktik sarat korupsi di lingkungan pendidikan.
Rawa El Amady menyinggung soal temuan hasil investigasi yang pernah dilakukan Badan Advokasi Publik pada 2016 lalu di Provinsi Riau. Pihaknya mendapati sedikitnya ada 6 praktik bisnis yang sarat korupsi di lingkungan sekolah di Riau.
"Ironisnya, sampai saat ini praktik itu masih terus terjadi," kata Rawa.
Adapun praktik bisnis di sekolah yang ditemukan Badan Advokasi Publik yakni mulai dari bisnis seragam atau pakaian siswa baru. Kemudian praktik perdagangan bangku (kursi) calon siswa yang diduga ada peran calo.
Bisnis ketiga yang masih gencar terjadi yakni jual beli buku. Ada pula bisnis pernak-pernik sekolah dan bisnis event organizer misalnya untuk acara perpisahan atau darmawisata siswa.
Bisnis terakhir yang juga terjadi yakni bimbingan belajar, dimana sekolah memungut biaya tambahan dari siswa.
Sementara Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Riau belum bersikap soal heboh bisnis seragam siswa SMA/SMK Negeri yang dijalankan oleh pihak sekolah.
Tetapi kabarnya, pihak Disdik sudah memerintahkan agar proyek rutin tahunan yang dengan cuan besar dihentikan, Disdik seolah tak berdaya dan membiarkan praktik komersialisasi sektor pendidikan itu terus berlanjut. (*)
Tags : seragam sekolah, sma/smk, riau, seragam sekolah sedot anggaran rp 174 miliar,