"Luasan kebun sawit terbentang disetiap sudut pedesaan, namun Riau belum mendapat Dana Bagi Hasil [DBH] Crude Palm Oil [CPO] dari pemerintah pusat"
entang Dana Bagi Hasil [DBH] Crude Palm Oil [CPO] ini sudah lama dipertentangkan daerah. Bahkan puluhan gubernur dan perwakilan dari 18 provinsi penghasil sawit menggelar rapat koordinasi guna merumuskan usulan DBH sawit kepada pemerintah pusat di Pekanbaru, Riau.
Pertama sekali Plt. Gubernur Aceh Nova Iriansyah dalam keterangan resminya mengatakan melalui forum mendesak untuk menyiapkan dalil-dalil yang argumentatif dan meyakinkan untuk kemudian disampaikan tentang DBH sawit kepada Presiden Joko Widodo pada, Sabtu 11 Januari 2020 lalu. Setahun sudah berlalu, perjuangan tuntutan DBH sawit yang digulirkan pun belum juga membuahkan hasil.
"Jadi, saya pikir yang terpenting dari pertemuan ini adalah bagaimana kita menyusun narasi secara terperinci terkait dengan penerimaan dana bagi hasil bagi provinsi/daerah penghasil kelapa sawit, agar penerimaan ini adil dan berkesinambungan, yang kemudian nantinya rumusan ini dibawa kepada Presiden," kata Nova Iriansyah waktu itu saat dibukanya forum di Pekanbaru.
Luasan kebun sawit di diperkirakan sudah mencapai 3 juta hektar.
Sedangkan Gubernur Provinsi Riau, Syamsuar kembali mempertegas soal tuntutan DBH sawit, disebutkannya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau hingga saat ini masih terus memperjuangkan hak-haknya di bidang perkebunan kelapa sawit, katanya yang mengaku baru selesai jumpa dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
"Perjuangan terus dilakukan, dan Komisi XI juga ikut memperjuangkan CPO ini masuk bagi hasil," sebut Syamsuar, yang dirilis mediacenterriau, Kamis (28/10/2021) kemarin.
"Dari data Direktur Jenderal Perkebunan tahun 2017-2021, total luas perkebunan kelapa sawit di Riau mencapai 2,89 juta hektar."
"Selain banyaknya perusahaan besar bercokol dalam pengembangan kebun sawit, masyarakat tempatan pun sebagian besar menggantungkan hidup dari hasil berkebun sawit."
Hanya saja Syamsuar masih menaruh prihatin, dimana para petani sawit mestinya sudah sejahtera. Tetapi kesejahteraan itu masih dibayang-bayangi beban naiknya harga pupuk hingga minyak goreng.
Apa yang didapat daerah? Daerah cuma dapat kerusakan lingkungan, mulai dari jalan rusak, kebakaran hutan dan lahan, serta terkontaminasi media lingkungan disebabkan pembuangan limbah sembarangan.
'Banjir dukungan'
Tuntutan Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit dimasukkan dalam pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah (UU PKPD), yang saat ini dibahas oleh Komisi XI DPR RI bersama Kementerian Keuangan RI.
Menyikapi itu Himpunan Pelajar Mahasiswa Riau (Hipemari) Jakarta mendukung DBH sawit ini. Perjuangan DBH Sawit sepertinya sudah harga mati.
"Provinsi Riau sebagai salah satu daerah penghasil sawit belum mendapatkan timbal balik yang berkeadilan. Sementara dampak yang diterima tidak sedikit," kata Farin, Ketua Himepari Jakarta melalui press rilis, Jumat (8/10) kemarin.
Hasil panen buah sawit yang harus lebih dahulu disortir pihak pabrik.
“Sekarang ini lah momennya, kami mengajak seluruh elemen untuk bersama-sama memperjuangkan DBH sawit ini."
"Komisi XI DPR RI sedang membahasnya, harus dikawal. Termasuk anggota DPR RI asal Riau yang ada di Komisi XI tersebut. Ini lah salah satu tugasnya memperjuangan kepentingan Riau di tingkat pusat,” tegas Farin.
Farin sangat prihatin dengan dampak yang diterima oleh daerah penghasil sawit, salah satunya Riau yang merupakan lokasi kebun kelapa sawit terluas di Indonesia, sekira lebih 3 juta hektar.
"Tapi Riau hanya mendapatkan dampaknya saja, seperti ancaman karhutla yang menimbulkan asap dan jalan rusak akibat pengangkutan CPO dan cangkang."
Mahasiswi asal Kabupaten Kepulauan Meranti itu juga mendukung langkah daerah penghasil sawit yang telah membuat kesepakatan bersama pada Januari 2020 lalu di Pekanbaru, Riau untuk mengusulkan kepada DPR RI melalui Komisi XI tentang perlunya DBH Sawit dimasukan dalam revisi UU PKPD.
"Kita siap mengawal tuntutan Pemprov Riau dan daerah penghasil lainnya yang sedang memperjuangkan DBH Sawit."
“Ini adalah kepentingan kita bersama dan wajib diperjuangkan. Kami juga ingatkan pemerintah pusat jangan hanya mengambil keuntungan saja di Riau, sementara Riau tidak dapat apa-apa hanya menerima dampaknya saja,” ditambah Hasyim, Sekjend Hipemari Jakarta.
Farin berjanji akan mengajak semua pihak untuk bergabung memperjuangkan ini termasuk organisasi mahasiswa provinsi daerah penghasil kepala sawit yang ada di Jakarta.
Rifky selaku Bendahara Umum Hipemari Jakarta juga memberikan harapan besar kepada para wakil rakyat khususnya anggota DPR RI Komisi XI asal Riau untuk menyuarakan dengan lantang di Gedung Dewan Senayan, karena Riau juga berhak mendapatkan keadilan di Negeri Nusantara ini.
Menurutnya, selama ini Pengutan Ekspor (PE) dan Bea Keluar atas Crude Palm Oil (CPO) bernilai triliunan rupiah sedikitpun tidak dinikmati oleh daerah penghasil.
"PE disetor langsung ke Kementerian Keuangan RI (Badan Pengelola Dana Perkebunan Sawit) berdasarkan PMK 136/2015, dan BK disetor ke Bendahara Umum Negara."
"Sementara Riau dan daerah penghasil sawit lainnya tidak mendapatkan sepersenpun dengan alasan belum diatur dalam UU PKPD," katanya.
Dewan juga mendukung
Aliansi daerah penghasil sawit dibentuk, ini menunjukkan dukungan dan penggalangan tentang tuntutan DBH sawit.
"Sudah ada beberapa daerah yang kita kunjungi, jadi tidak semua daerah sentra Sawit yang kita sambangi," kata Ketua Komisi III DPRD Riau, Husaimi Hamidi.
Husaimi menyebut pihaknya terus menggalang terbentuknya aliansi. Dia mengakui telah melakukan lawatan ke daerah sentra Sawit di Indonesia. Safari tersebut merupakan upaya membentuk kekuatan kolektif dalam memperjuangkan dana bagi hasil dari Minyak Sawit atau Crude palm oil (CPO).
Alasan DPRD Riau tidak menyambangi seluruh daerah sentra sawit, lantaran sejumlah daerah yang dikunjungi berkenan melakukan safari ke daerah lainya, untuk menyampaikan maksud yang sama dengan misi lawatan DPRD Riau.
Pengolahan sawit dijadikan CPO.
"Misalkan Kalimantan Timur, DPRD setempat juga membicarakan hal itu (dbh CPO) dengan daerah sentra sawit lainya di Kalimantan," kata politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini, Jum'at (29/11) kemarin.
Menurutnya, enam provinsi yang akan digandeng itu meliputi: Kalimantan Timur (Kaltim) , Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat (Kalbar) , Jambi , Sumatera Selatan (Sumsel) dan Sumatera Utara (Sumut).
Lima provinsi dirangkul, selain didasari faktor luasan kebun sawit, juga disebabkan perasaan senasib, kata Husaimi.
"Selama ini daerah sentra sawit tidak kebagian DBH minyak sawit. Yang ada malah kebagian dampak lingkungan seperti kebakaran hutan dan lahan (karhutla), jalan rusak, hutan rusak."
"Itu sebabnya merangkul provinsi penghasil sawit penting, tujuanya agar upaya mengincar potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) itu tidak dipikul Riau sendiri," imbuhnya.
"Berdasarkan data Direktoral Jenderal Perkebunan Kementrian Pertanian, jumlah produksi Kelapa Sawit dari 7 daerah mencapai lebih kurang 31 juta ton pada tahun 2018. Sebagai perbandingan, total produksi Kelapa Sawit Indonesia di tahun yang sama mencapai 40 juta ton."
Anggota Komisi XI DPRD RI,Jon Erizal, mengungkapkan pihaknya bersama Kementrian Keuangan membahas draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Hubungan Keuangan Pusat dengan Daerah (HKPD).
Hal tersebut seiring masuknya RUU HKPD dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2020. "Regulasi saat ini Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Daerah, banyak mendapat kritikan dari daerah lantaran dianggap tidak fair," kata Jon Erizal.
Penghasil sawit buat rumusan DBH
Rumusan bersama antara provinsi penghasil sawit dengan sejumlah anggota DPR RI/DPD RI disepakati saat dilakukan di Pekanbaru kemarin.
Tetapi kembali disebutkan Gubernur Riau Syamsuar yang juga berharap dalam rakor itu disepakati usulan persentase pembagian DBH sawit antara pemerintah pusat dengan provinsi penghasil sawit.
Sejumlah gubernur lain yang hadir dalam forum juga memberikan isyarat usulan pembagian DBH sawit daerah dan pusat berkisar antara 30:70 atau 35:65.
"Ya bisa 30:70 atau lainnya. [Selama ini] Daerah menerima dampak dari pengelolaan perkebunan sawit seperti kerusakan infrastruktur jalan akibat pengangkutan CPO. Tingginya potensi erosi serta juga resiko pencemaran udara, tanah dan air akibat ancaman karhutla, limbah padat B3 serta limbah cair," kata Syamsuar.
Sementara di sisi lain, perkebunan menghasilkan pemasukan bagi negara berupa Bea Keluar dan pungutan eskpor yang sangat besar. Syamsuar menyebut dalam UU No 33 tahun 2004 yang ada, baru ada DBH Pajak dan Migas, sementara DBH sawit belum masuk.
Sejumlah Gubernur dari daerah penghasil sawit selain Gubernur Riau Syamsuar, juga hadir Gubernur Sumatera Utara, Aceh, Sumsel dan Kaltim. Dari Bangka Belitung, Kalbar dan Kalteng dihadiri Wakil Gubernur. Sementara provinsi lainnya diwakili Sekdaprov, Asisten II dan Kepala Dinas atau Badan, yakni Lampung, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Bengkulu, Jambi, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, dan Papua Barat.
Ekspor produk CPO terus melejit
Dalam perjalananya, ekspor produk CPO terus melejit. Bahkan nilai ekspor produk kelapa sawit pada Mei 2021 kemarin senilai US$ 3,06 miliar atau setara dengan Rp 44,41 triliun (asumsi kurs Rp 14.500/US$).
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menilai ini merupakan angka tertinggi bulanan sepanjang sejarah. "Kenaikan ekspor didorong oleh tingginya harga jual rata-rata dan kenaikan volume ekspor," tulis pernyataan Gapki lewat Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif Gapki.
Dari segi harga, sepanjang Mei 2021 rata-rata harga minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) berada di US$ 1.241/ton cif Rotterdam. Ini merupakan harga jual tertinggi dalam 10 bulan terakhir.
Sedangkan dari sisi volume, terjadi kenaikan 12% secara bulanan (month to month/mtm) atau mencapai 2,95 juta ton.
Kenaikan terbesar terjadi pada produk olahan CPO sebesar 432.000 ton, naik 22,9% menjadi 2.318 ribu ton dan olahan Palm Kernel Oil (PKO) yang naik dengan 31.000 ton, naik 34,8% menjadi 119 ribu ton.
Sedangkan ekspor CPO dan crude PKO malah mengalami penurunan sebanyak 119 ribu ton. Kenaikan ekspor tertinggi menuju Pakistan, naik 138 ribu ton menjadi 265,5 ribu ton.
Sedangkan tujuan Afrika, selain Mesir, naik 103,6 ribu ton menjadi 243,2 ribu ton dan Timur Tengah, selain Mesir, naik 75,1 ribu ton menjadi 154,72 ribu ton. Sedangkan ekspor ke Mesir turun 15,8 ribu ton menjadi 77 ribu ton.
Sedang ekspor ke China mengalami penurunan sebesar 157,6 ribu ton menjadi 467,3 ribu ton dan ke India juga turun sebesar 83,7 ribu ton menjadi 213,9 ribu ton.
Dari dalam negeri, terjadi kenaikan konsumsi sebesar 55 ribu ton menjadi 1,645 juta ton atau naik 3,5%. Konsumsi untuk keperluan pangan mencapai 842 ribu ton naik 2,8%, oleokimia 176 ribu ton naik 8,6% dan untuk biodiesel 627 ribu ton atau turun 0,32% dari bulan sebelumnya.
Petani dengan sabar dan menekuni kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) saat tanam dan panen.
Pada Mei, tingkat produksi mencapai 4.354 ribu ton, terdiri CPO sebesar 3.966 ribu ton dan PKO 388 ribu ton. Sehingga total kenaikan produksi CPO dan PKO adalah 257 ribu ton atau naik 6% dibandingkan produksi bulan April sebesar 4.097 ribu ton.
Menurut Gapki, dalam keterangan resmi, Rabu ini (14/7), angka ekspor yang lebih tinggi dibanding angka produksi ini berdampak pada turunnya stok bulan Mei turun menjadi 2,884 ribu ton. "Rendahnya stok minyak sawit dan juga beberapa minyak nabati utama lainnya menjadi salah satu penyebab tingginya harga minyak nabati," tulis Mukti Sardjono. (*)
Tags : Perjuangan Dana Bagi Hasil, Crude Palm Oil, DBH CPO, Sorotan, Gubernur Riau Syamsuar Perjuangkan DBH CPO,