"Kesepakatan perdamaian antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka ditandatangani pada 15 Agustus, tepat 17 tahun yang lalu"
ota Kesepahaman yang menandai berakhirnya perang sipil selama tiga dekade di bumi Serambi Mekah, oleh sebagian orang dianggap ‘tak ada implementasi berarti’ dan ‘cek kosong’ belaka.
“Saya diseret-seret, dibentak, dipukul pakai senjata, bahkan saya dilecehkan di depan anak saya,” tulis seorang perempuan Aceh bernama Maryani Hasballah, melalui sebuah surat.
“Sangat pilu yang saya rasakan di saat [masa konflik], perbuatan aparat kepada saya.”
Surat ini, beserta puluhan surat lain dari perempuan korban konflik Aceh di masa lalu, adalah bagian dari proyek Letter of Hope yang diinisiasi sejumlah anak muda di Kota Banda Aceh untuk memperingati 17 tahun Kesepakatan Helsinki.
“Ini adalah aksi pengingat alias alarm bahwa umur perdamaian Aceh sudah 17 tahun.
"Ini soal hak, soal luka korban, yang jangankan pulih, diingat pun tidak,” kata Rozhatul Valica, penanggung jawab proyek Letter of Hope seperti dirilis BBC News Indonesia, awal Agustus lalu.
Sebagai golongan muda Aceh, Rozhatul mengaku tidak puas dengan bagaimana misi perdamaian Aceh berjalan, dan bagaimana misi ini direncanakan di masa depan.
“Belum menyebutkan tentang partisipasi perempuan, anak muda, korban-korban konflik dalam memperkuat perdamaian,” kata Rozhatul merujuk pada naskah Rencana Pembangunan Aceh (RPA) 2023-2026.
Selain itu, upaya pemenuhan hak korban konflik tak disebut secara komprehensif di naskah itu. Sehingga, kata dia, kebijakan untuk memperkuat perdamaian di Aceh “belum menjadi prioritas”.
Penandatanganan Nota Kesepahaman antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki itu menandai berakhirnya perang sipil selama tiga dekade di Aceh.
Namun buntut dari kesepakatan yang diupayakan setelah konflik puluhan tahun tersebut, dirasakan masih jauh dari terwujud.
Kalangan aktivis HAM mengatakan belum ada implementasi berarti dari MoU Helsinki, sementara mantan anggota GAM menyebutnya ‘cek kosong’ untuk masyarakat Aceh. Pemerintah, di sisi lain, mengatakan masih mencari jalan keluar untuk “implementasi yang masih terkendala”.
‘Impunitas yang dilanggengkan’
Hamid Awaludin, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM, mewakili pihak pemerintah Indonesia dalam penandatanganan Kesepakatan Damai Helsinki. Sementara pihak GAM diwakili oleh Malik Mahmud, salah satu tokoh penting kelompok itu.
Sejumlah poin menyangkut penyelenggaraan pemerintahan Aceh di bawah Indonesia disepakati di situ, termasuk di dalamnya soal HAM, amnesti dan reintegrasi anggota GAM ke dalam masyarakat, hingga penyelesaian perselisihan.
“Sayangnya, belum ada progres yang berarti di dalam pembentukan ‘Pengadilan HAM’ di Aceh ini,” kata Manajer Kampanye dan Advokasi Amnesty International Indonesia, Nurina Savitri.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), sebut Nurina, juga baru dibentuk setelah ada desakan oleh kelompok masyarakat sipil.
“Jadi bisa dibayangkan, 2005 mandat ini ada, 2013 baru dibentuk, 2017 baru beraktivitas,” jelas Nurina via pesan suara WhatsApp pada saat dihubungi pada Juli lalu.
“Ini mencerminkan betapa pelanggaran HAM masa lalu itu ditangani di Indonesia, biasanya tidak dituntaskan. Impunitas ini dilanggengkan terhadap para terduga pelakunya,” tambahnya.
Sementara itu, Malik Mahmud kini menjabat sebagai Wali Nanggroe atau Wali Nagari, jabatan yang dulu dipegang oleh Hasan Tiro, aktor utama di balik kelompok pro-kemerdekaan Aceh.
Saat ditemui pada pertengahan Juni lalu, Malik menilai bahwa para pihak terkait “tidak bekerja ekstra fokus sehingga implementasi MoU Helsinki yang telah dipertegas dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh terkesan terlantar”.
“Begitu juga [pemerintah] pusat. Kurang fokus juga,” ujar Malik Mahmud.
Dulu, menurut dia, terdapat tim khusus bernama Desk Aceh, yang bertugas membahas secara berkala soal implementasi MoU Helsinki. Namun empat tahun bekerja, desk itu tidak ada lagi.
Malik mengaku telah mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo agar Desk Aceh dihidupkan kembali, namun dia mengatakan tidak tahu apakah permintaannya akan dikabulkan.
Desk tersebut menurutnya penting agar “para pihak mencapai sinkronisasi dalam mencari jalan keluar implementasi MoU Helsinki yang masih terkendala”.
Baru-baru ini, Malik membentuk tim khusus yang dinamakan tim Pengkajian dan Pembinaan MoU Helsinki serta Implementasi Percepatan Perjanjian Damai di Aceh yang terdiri dari berbagai kalangan - mulai dari mantan kombatan GAM sampai akademisi.
“Saya sudah rangkul mereka, dan mereka sudah membuat kajian-kajian, di mana kelemahannya dan bagaimana memperbaikinya,” kata Malik.
Dia juga menekankan bahwa seluruh perkara pelanggaran HAM masa lalu diakomodir melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh.
Namun, MoU Helsinki menegaskan bahwa KKR Aceh hanya bertugas mengupayakan rekonsiliasi, bukan mengadili.
”Bukan menghukum siapa, ya. Cuma pengakuan saja. Umpamanya, rumahnya dibakar, maka akan diberi kompensasi. Begitu juga pada orang yang sudah dianiaya, orang itu akan direhabilitasi. Kalau sakit dan sebagainya, akan diberikan kompensasi,” jelas Malik Mahmud.
Mantan anggota GAM: ‘Cek kosong untuk bangsa Aceh’
Di sisi lain, sejumlah mantan anggota GAM mengaku kecewa dengan implementasi MoU Helsinki. Jamaluddin, seorang mantan kombatan GAM menuduh pemerintah Indonesia tidak serius menjaga irama perdamaian di Aceh.
Salah satunya adalah dengan penunjukkan Achmad Marzuki sebagai penjabat (Pj) Gubernur Aceh oleh Kementerian Dalam Negeri pada Juli 2022 lalu. Marzuki sebelumnya menjabat Staf Ahli Mendagri bidang Hukum dan Kesbang – jabatan yang diterimanya tiga hari setelah pensiun dini dari militer.
“Seolah-olah negara tidak melihat ada putra terbaik bangsa yang lahir dari Aceh, sehingga harus dipaksa kehendak militer hadir di Aceh. Ini sungguh sangat kita sayangkan,” ujar Jamaluddin.
Menempatkan eks militer sebagai pemimpin di Aceh, menurutnya, tidak menghormati pengalaman traumatik rakyat Aceh yang pernah beririsan dengan militer.
Sebagai Pj Gubernur Aceh, baru-baru ini Achmad Marzuki menetapkan mantan Direktur Perencanaan Pengendalian Kegiatan dan Operasi Badan Intelijen Negara (BIN),
Wahyudi Adisiswanto, sebagai Pj Bupati Pidie.
“Ada hak sipil di situ. Kenapa harus dipaksakan militer semua di situ?”
Menurut dia, perdamaian hanya dapat dijaga melalui kepercayaan.
“Kalau ada konflik lagi, jangan salahkan rakyat Aceh karena terus menerus rakyat Aceh tidak dipercaya oleh Pusat,” tambahnya.
Meski tidak puas dengan implementasi MoU Helsinki, Jamaluddin yang kini seorang dosen di sebuah kampus di Cilegon adalah bagian dari GAM yang mengakui kedaulatan Indonesia. Tidak semua mantan kombatan GAM seperti dirinya.
Organisasi Aceh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF) hingga kini masih menyuarakan gerakan pembebasan Aceh ke kancah internasional.
ASNLF yang jadi mesin internasionalisasi GAM sejak era Hasan Tiro, dijalankan dari luar negeri dan tercatat sebagai anggota Unrepresented Nations and Peoples Organization (UNPO).
Saat dihubungi akhir Juli lalu, anggota presidium ASNLF Nasir Usman menegaskan bahwa yang diincar oleh gerakan pembebasan di Aceh adalah kemerdekaan, bukan otonomi khusus.
“MoU Helsinki ini, walaupun umurnya sudah 17 tahun, ini semua cek kosong untuk Bangsa Aceh,” tegas lelaki yang tinggal di Denmark itu melalui sambungan internet.
Jumlah korban tidak diketahui hingga kini
Sementara itu, korban pelanggaran HAM di masa konflik Aceh hingga kini masih belum mendapatkan penyelesaian. Kamariani Ahmad, 65 tahun, salah satunya.
Jumat menjelang sore tahun 1998, Kamariani dan suaminya, Cut Raja Abdurrahman, tiba-tiba didatangi sejumlah tentara di rumah saudara mereka. Tentara menuduh Cut Raja Abdurrahman membantu menyembunyikan senjata milik GAM.
Tanpa diberi hak untuk membela diri, keduanya diangkut dengan mobil ke Kabupaten Pidie, di sebuah rumah di Desa Bilie Aron, Kecamatan Glumpang Tiga.
“Setelah sampai di Rumoh Geudong, saya ditaruh di luar. Setelah itu, dia dibawa masuk. Ada sekitar dua jam, saya diantar [kembali] ke kampung,” tutur Kamariani. Dari situ, Kamariani tak pernah bertemu lagi dengan sang suami.
Samidah, 61 tahun, adalah warga setempat yang mengaku sering melihat tentara mengangkut para tahanan ke dalam rumah tersebut.
Karena tinggal berdekatan dengan Rumoh Geudong, Samidah mengaku bisa mendengar suara para tahanan yang sedang disiksa.
“Waktu disetrum,” Samidah menirukan bunyi aliran kabel listrik serta suara orang berteriak kesakitan.
Rumah Geudong merupakan sebuah bangunan besar yang digunakan sebagai Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) sejak 1990-an.
Dalam ringkasan eksekutif Komnas HAM (2018), disebut bahwa Kopassus memanfaatkan rumah bertingkat khas Aceh itu sebagai tempat pemeriksaan orang-orang yang dianggap berhubungan dengan pemberontak.
Namun, seiring waktu tempat tersebut berubah menjadi kamp penyiksaan.
Ekspose yang sama menyebutkan kekerasan yang terjadi terdiri dari pemerkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya. Penyiksaan, pembunuhan serta perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lainnya juga terjadi di situ.
Rumoh Geudong kelak dibakar massa, tidak lama setelah status daerah operasi militer dicabut dari Aceh pada 1998.
Menurut Komnas HAM, selain Komandan dan anggota Kopassus, Komandan dan anggota Baret Hijau serta Brimob juga dapat dimintai pertanggungjawaban dalam kasus Rumoh Geudong.
Berkas penyelidikan kasus Rumoh Geudong telah diserahkan oleh Komnas HAM kepada Jaksa Agung selaku sebagai bagian dari proses penegakan keadilan melalui mekanisme yudisial pada 2018.
Bersama berkas tersebut, juga diserahkan dua berkas pelanggaran HAM berat lainnya, yakni peristiwa Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA) di Aceh Utara pada 1999, serta peristiwa Jambo Keupok di Aceh Selatan pada 2003.
Adapun dua kasus yang masih dalam proses penyelidikan, yaitu peristiwa Timang Gajah di Bener Meriah pada 2001, dan peristiwa Bumi Flora di Aceh Timur pada 2001.
Total jumlah korban kekerasan di Rumoh Geudong tidak diketahui secara pasti. Namun, Komnas HAM menduga bahwa pos tersebut paling banyak memakan korban jiwa ketimbang pos militer lainnya.
“Kalau tercatat banyak, tapi yang di-BAP [oleh Komnas HAM] itu sekitar empat puluh sekian,” sebut Radhiah, aktivis kemanusiaan pendamping korban kluster Rumoh Geudong.
15 ribu masyarakat sipil dibunuh
Kekerasan yang terjadi di Aceh tidak hanya berkutat di lima peristiwa pelanggaaran HAM berat saja.
Forum Peduli HAM dalam laporan Imparsial Praktek Penyiksaan di Aceh dan Papua selama 1998-2007 (2009: 99) menyebut bahwa selama Aceh berstatus sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), sedikitnya 15 ribu masyarakat sipil dibunuh.
Selain itu, sebanyak 1958 orang dihilangkan secara paksa, 128 wanita dan anak perempuan diperkosa, 81 orang menjadi korban pelecehan seksual, 597 rumah dibakar, 16.375 orang termasuk di antaranya anak-anak cacat seumur hidup. Data tersebut juga menyebutkan penemuan 23 kuburan massal.
Dalam laporan yang sama, KontraS menyebut bahwa jumlah kekerasan yang berlangsung selama periode 1999-2002 sebanyak 10.449 kasus.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh telah mengambil 5.264 pernyataan dari korban atau keluarganya sejak 2018, semasa formasi kepemimpinan komisioner periode pertama (2016-2021).
Dari angka tersebut, baru sebanyak 245 nama yang dinyatakan layak menerima layanan reparasi atau pemulihan mendesak.
Gubernur Aceh telah mengeluarkan surat yang menegaskan bahwa reparasi mendesak tersebut dilaksanakan oleh Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dengan anggaran Rp 2,45 miliar.
Infonya, layanan reparasi mendesak akan diberikan dalam waktu dekat dengan bentuk uang tunai sebanyak Rp 10 juta per orang.
Skema mirip bantuan sosial (bansos) ini ditolak oleh KontraS Aceh karena terkesan menegasikan pengalaman korban.
“Tentu saja pemberian bantuan dalam skema bansos ini tidak tepat, ya. Karena pemberian bansos itu, kan, didasarkan pada kerentanan sosial. Masyarakat memiliki kerentanan tertentu sehingga harus diberikan bantuan.
“Sementara, bagi korban itu memang ada upaya paksa negara yang menyebabkan mereka jadi kesulitan,” kata Kadiv Advokasi dan Kampanye KontraS Aceh, Azharul Husna.
Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud adalah orang yang mewakili GAM dalam penandatanganan Nota Kesepahaman damai pada 2005 silam. Ia sendiri menggantikan Hasan Tiro sebagai Wali Nanggroe, meski jabatan yang diembannya kini tak politis.
“Bagaimana mungkin korban yang terluka, yang dirusak hidupnya dalam banyak sisi lalu diselesaikan hanya dengan uang Rp 10 juta,” tegasnya.
Akan tetapi, yang diinginkan oleh korban seperti Maryani Hasballah sesungguhnya adalah perhatian dari pemerintah.
“Sekarang 17 tahun sudah damai, saya tidak pernah merasakan apa-apa dari pemerintah,” tulisnya dalam suratnya kepada Letter of Hope.
“Saya sebagai korban ingin tahu seberapa perhatian atau kepedulian negara terhadap korban [konflik]. Kami sebagai korban mohon diperhatikan,” tutupnya. (*)
Tags : Perdamaian di Aceh, Hak asasi, Militer, Indonesia,