Nasional   2021/07/31 20:18 WIB

Setengah Juta Penyandang Disabilitas Tuntas Divaksin Covid-19 

Setengah Juta Penyandang Disabilitas Tuntas Divaksin Covid-19 
Petugas medis menyiapkan vaksin Covid-19 untuk pasien dengan gangguan jiwa di Rumah Sakit Khusus Daerah Dadi, Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (17/06). Lebih dari 1.900 penyandang disabilitas mental di Indonesia terpapar Covid-19 sejak pandemi terjadi.

"Walau total difabel di Indonesia mencapai puluhan jutaan orang, setengah juta penyandang disabilitas tuntas divaksin Covid-19"

arget vaksinasi Covid-19 untuk penyandang disabilitas di Indonesia menyasar setengah juta orang, walau total difabel di Indonesia mencapai puluhan jutaan orang. Difabel di kota besar memiliki akses yang lebih baik untuk mendapat vaksin. Namun layanan 'dari rumah ke rumah' masih dinantikan banyak difabel di pelosok.

Apalagi selama setahun terakhir, misalnya, penyandang disabilitas mental yang terjangkit Covid-19 sudah hampir 2.000 orang. Pemerintah mengeklaim sudah secara sporadis memberikan vaksin untuk komunitas difabel. Meski begitu, tantangan lain seperti misinformasi masih membuat banyak dari penyandang difabel ragu-ragu mengikuti vaksinasi.

Lantas apa solusi agar kelompok yang tergolong paling rentan ini tuntas divaksin? Hadianti Ramadhani menempuh perjalanan puluhan kilometer dari rumahnya di Depok menuju Jakarta, April silam demi menerima vaksin Covid-19. Penyandang disabilitas netra ini mendahului banyak orang yang saat itu masih ragu-ragu mengikuti program vaksinasi. "Aku tinggal bersama orang tua, kalau sudah vaksin, aku merasa akan lebih aman dari virus corona. Apalagi waktu itu jelang lebaran, kalau kakakku pulang, kami mungkin lebih aman," ujarnya.

Hadianti atau Dhani memiliki kemampuan melihat yang terbatas. Dia mengalami kondisi low vision atau yang disebut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai penurunan fungsi pengelihatan secara permanen. Sejumlah penyandang netra yang Dhani kenal berpikir dua kali sebelum menerima vaksin karena cemas mengalami efek sampingnya.

Saat itu, isu haram-halal vaksin juga mencuat sebelum Majelis Ulama Indonesia akhirnya memberi lampu hijau untuk vaksin Sinovac dan AstraZeneca. Dan yang juga sempat menyulitkan Dhani adalah ketidakpastian bahwa setiap warga harus menerima vaksin sesuai domisili yang tercantum dalam kartu tanda penduduknya. Namun Dhani pada akhirnya mampu mengatasi keraguan dan informasi yang simpang siur tadi. Setelah mencari detail persyaratan ke banyak pihak, Dhani diantar orangtuanya ke salah satu sentra vaksinasi terbesar di Jakarta. "Setelah aku vaksin, banyak teman yang menanyakan pengalamanku. Aku bilang, di sana ada dokter dan kita bisa bertanya. Setelah divaksin kita diobservasi dan ada nomor yang bisa dihubungi jika mengalami efek samping. Aku yakinkan mereka begitu. Banyak yang akhirnya vaksin. Mereka ingin lihat temannya dulu, baru percaya diri," tuturnya dirilis BBC News Indonesia.

Bagaimanapun belum semua penyandang disabilitas merasa perlu menerima vaksin. Tidak semua orang dalam komunitas ini juga memiliki kemudahan untuk mencapai tempat vaksinasi. Dhani menyadari hal itu. Penyandang disabilitas di Jakarta, kata dia, lebih mudah melakukan mobilitas. Alasannya, jaringan transportasi dan infrastruktur publik di ibu kota lebih banyak ketimbang di daerah lain. "Di Jakarta sudah banyak yang melek teknologi. Ada temanku yang datang sendirian ke sentra vaksin di Senayan, dia naik ojek online. Dia turun dan menunggu dihampiri relawan," kata Dhani.

Persoalan mobilitas itu mencuat, antara lain, di Daerah Istimewa Yogyakarta. Mayoritas penyandang disabilitas yang kepayahan berangkat ke sentra vaksinasi di provinsi ini tinggal di Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul. Informasi itu dituturkan Nuning Suryatiningsih, Ketua Yayasan Ciqal, lembaga yang mendampingi tunanetra, tuli, dan disabilitas fisik.

Nuning bersama lembaga pendamping lainnya selama beberapa bulan terakhir menghimpun data dan mendorong difabel di DIY untuk datang ke pusat-pusat vaksinasi terdekat. "Ada yang tidak bisa saya jangkau karena geografisnya jauh dari kota. Mobilitas itu jadi persoalan karena mereka tidak punya alat transportasi. Kalau digendong cukup sulit," ujar Nuning.

"Pernah ada kerja sama dengan perusahaan ojek online, tapi itu baru menjangkau yang tinggal di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman," ucapnya.

Nuning berkata, bukan cuma alat transportasi, para penyandang disabilitas fisik di pelosok DIY juga tak bisa keluar rumah karena permukiman mereka yang berbukit-bukit dan jauh dari puskesmas. Kalaupun ada anggota keluarga, tetangga atau pendamping, mengantar difabel ke sentra vaksin akan sangat sulit dilakukan, kata Nuning.

Menurutnya, program vaksinasi dari rumah ke rumah merupakan solusi terbaik atas persoalan yang dirasakan banyak difabel dari kelas menengah ke bawah ini. "Petugas harus datangi rumah mereka. Banyak yang rumahnya di pelosok. Kalaupun tidak jauh dari kota, tapi kalau akses jalannya sulit, mereka enggan berangkat," kata Nuning.

"Misalnya yang di Kecamatan Nanggulan, ada yang rumahnya di kaki bukit, dia pakai kursi roda, tapi lingkungan sekitar rumahnya tidak memungkinkan dia bermobilitas dengan kursi roda. Ini tergantung perspektif. Kalau ini dianggap tanggung jawab pemerintah, bahwa kewajiban pemerintah memfasilitasi penyandang disabilitas, maka pemerintah yang harus datangi mereka yang rumahnya terjepit itu," ucapnya.

Merujuk data Dinas Sosial DIY, penyandang disabilitas di provinsi itu sekitar 27 ribu orang dan kebanyakan masuk kategori miskin. Nuning meragukan data itu karena perhitungannya didasarkan pada anggota organisasi penyandang disabilitas. Padahal, kata dia, jumlah yang tidak bergabung dengan organisasi bisa mencapai belasan ribu orang.

Nuning menuturkan, yang tak kalah penting untuk ditanggulangi adalah ketidakpercayaan para penyandang disabilitas terhadap vaksin Covid-19. Persoalan ini menurutnya muncul karena keterbatasan informasi yang didapatkan para difabel. Sosialisasi pemerintah, menurutnya, perlu memberikan argumentasi klinis yang mudah diterima orang awam. "Di pelosok, mereka dengar info dari orang di sekitar mereka. Infonya pun terbatas. Ada ketakutan, kalau aku disuntik nanti sakit. Ada yang tetangganya hanya bilang, 'efek samping paling sehari-dua hari'. Tidak ada pembicaraan yang tepat jadi banyak yang enggan mendaftar vaksinasi," kata Nuning.

Keraguan dan persoalan mobilitas ini, kata Nuning terlihat selama operasional sentra vaksinasi ramah disabilitas di Gedung Olahraga Universitas Negeri Yogyakarta, Juni lalu. Dari sekitar 800 difabel yang didaftarkan ke sentra itu, hanya 630 orang yang datang dan menerima vaksin. Siasat mendorong para untuk menerima vaksin pun perlu disesuaikan dengan setiap kondisi penyandang disabilitas, kata Aria Indrawati, Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia.

Aria menyorot video iklan layanan masyarakat pemerintah yang hanya mengandung visual, tanpa narasi audio. Informasi dalam video itu tentu saja tidak dapat diterima orang-orang dengan keterbatasan pengelihatan, kata Aria.

Akibatnya, kata Aria, kelompok tunanetra yang bekerja sebagai pemijat pun belum menyadari pentingnya vaksinasi Covid-19. Padahal kerentanan mereka bertambah karena harus bertemu dengan pelanggan. "Maka perlu langkah afirmasi untuk menjangkau mereka. Untuk kelompok yang edukasinya rendah dan bekerja sebagai pemijat harus divaksin," ujarnya.

"Mereka harus interaksi langsung dengan pelanggan, tidak bisa work from home seperti yang bekerja kantoran. Mereka butuh vaksin, tapi sayangnya ada yang belum percaya karena hoaks," kata Aria.

Gerai vaksinasi untuk komunitas difabel sejauh ini sudah bermunculan di sejumlah kota. Yang dibuka di GOR UNY Yogyakarta misalnya, melibatkan pendamping dan penerjemah untuk komunitas tuli. Sentra vaksin itu juga menyediakan layanan antar-jemput. Ada pula pemeriksaan kesehatan sebelum penyuntikan vaksin, terutama untuk yang memiliki riwayat medis khusus.

Di Bandung, program vaksinasi untuk difabel awal Juli lalu dimulai dengan seremoni yang dihadiri Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil di balai rehabilitasi tunanetra Wyata Guna. Ridwan Kamil berkata, vaksinasi sekitar 80 ribu difabel di provinsinya akan digenjot dengan menyasar komunitas difabel yang tinggal di panti dan balai milik Dinas Sosial.

Namun fokus vaksinasi semestinya tidak hanya menyasar ke panti yang dikelola dinas sosial, kata Agus Hidayat, Ketua Revolusi Mental untuk Indonesia Inklusi, sebuah lembaga yang mengadvokasi orang-orang dengan disabilitas mental. Agus menggarisbawahi pentingnya vaksin untuk penderita disabilitas mental di panti yang didirikan perorangan dan lembaga swasta. "Kami survei ke beberapa panti di luar dinas sosial di tiga provinsi. Salah satunya di Tasikmalaya, berukuran sekitar 100 meter persegi dengan 40 penghuni. Mereka dikurung dalam sel jeruji besi," ujar Agus.

"Bayangkan di tempat seluasnya itu ada 40 orang, itu kan overcrowded. Petugas pantinya pun tidak memakai masker. Panti di bawah dinas sosial lebih terkontrol, tapi bagaimana pemerintah mengontrol panti di luar kendali mereka?" ucapnya.

Merujuk UU 8/2016, penyandang disabilitas mental adalah orang yang mengalami gangguan fungsi pikir, emosi, dan perilaku. Istilah yang kerap disematkan kepada mereka adalah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Penyakit yang mereka idap antara lain skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, atau gangguan kepribadian.

Menurut data Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, setidaknya 1.105 ODGJ terpapar Covid-19 pada 2020. Selama tahun ini, yang terpapar sudah mencapai 829 orang. Agus berkata, penyandang disabilitas mental yang tinggal dengan keluarga atau pendamping berpeluang menerima vaksin secara mandiri di gerai yang ada, terutama jika tidak sedang mengalami kondisi gaduh gelisah.

Sementara yang tinggal di panti swasta, kata Agus, bukan saja rentan mengalami perlakuan tidak manusiawi seperti dipasung, tapi juga berpotensi terpinggirkan selama program vaksinasi ini. Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular di Kementerian Kesehatan, Cut Putri Arianie, menyebut pemerintah sudah mengupayakan berbagai cara untuk meningkatkan capaian vaksinasi di komunitas difabel.

Upaya itu didasarkan pada surat edaran yang diterbitkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada 16 April lalu, bahwa penyandang disabilitas harus diprioritaskan dalam vaksinasi Covid-19. "Secara sporadis di berbagai daerah dilakukan vaksinasi dengan mekanisme dikunjungi di panti, difabel datang ke puskesmas, dan diantar-jemput di sentra vaksin," kata Cut Putri.

"Kemenkes dan Kemensos bersama beberapa penggiat difabel terus berkoordinasi untuk mendorong para difabel mau di vaksinasi dan mendapat info yang benar," ucapnya.

Kemenkes, kata Cut Putri, juga mengalokasikan hibah vaksin Sinopharm dari Uni Emirat Arab untuk 225 ribu penyandang disabilitas. Yang diprioritaskan adalah mereka yang tinggal di Jawa dan Bali. Menurut data Biro Pusat Statistik tahun 2020, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia berjumlah 22,5 juta orang atau sekitar 5% dari total penduduk Indonesia. Mereka terdiri dari yang mengalami disabilitas fisik, intelektual, mental, sensorik, maupun gabungan di antaranya. Walau begitu, hingga akhir tahun 2021, target vaksinasi untuk kelompok ini baru tercapai sebanyak 564 ribu orang. (*)

Tags : Kesehatan mental, Vaksin, Kesehatan,