SETIAP 8 Maret, Hari Perempuan Sedunia atau International Women’s Day, dirayakan. Berbagai isu perempuan tidak pernah sepi, dari perbincangan hingga perdebatan. Hendaknya wanita Indonesia mampu menjalankan peran yang lebih menyentuh untuk perayaan yang gaungnya demikian membahana.
Ira D. Aini dalam bukunya Perempuan Pembelajar (2014: 81) menulis, pada 1936, Hari Perempuan Internasional di Italia digunakan untuk melakukan protes terhadap keputusan pemerintah menginvasi Ethiopia. Pada 1938, peringatan Hari Perempuan Internasional di Cekoslovakia dilakukan dengan membawa bendera merah sebagai simbol perlawanan terhadap fasisme Nazi.
Gerakan perempuan Liberia pada 2012 berhasil memaksa dua suku yang bertikai sejak 1990 untuk mengakhiri konflik mereka di meja perundingan. Gerakan perempuan Liberia juga berhasil menghentikan konflik berusia 15 tahun.
Di dalam negeri sendiri, tak kalah banyaknya perempuan yang menorehkan sejarah perdamaian. Sebut saja di Aceh, konflik yang berkepanjangan membuat aktivis perempuan berinisiatif memediasi para tokoh politik. Mereka mengampanyekan pilkada damai.
Di Poso, beberapa perempuan yang pernah trauma atas konflik yang sungguh melelahkan, memilih untuk memberdayakan diri dengan bergabung di Sekolah Perempuan Poso.
Dilihat sejarahnya, perjuangan besar sudah dibuat oleh tokoh-tokoh wanita Indonesia. Hebatnya, ternyata kiprah mereka telah mendahului hingar-bingar peringatan Hari Perempuan Sedunia.
Di Sumatra Barat, ada madrasah diperuntukkan bagi pendidikan perempuan. Namanya Madrasah Diniyah Putri, berdiri pada 1923 dan pendirinya adalah Rahmah El-Yunusiah. Sekolah khusus putri ini mencetak banyak tokoh perempuan Indonesia dan berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan.
Dede Pramayoza dalam bukunya Diorama Kota Bahagia Padang Panjang dalam Esai (2020: 44) menuturkan: Rahmah El-Yunusiyah membangun Madrasah Diniyah Putri untuk melawan ketidaksetaraan yang dilihatnya dalam dunia pendidikan. Di sekolah yang didirikannya, Rahmah mendorong kaum perempuan untuk lebih percaya diri, mempelajari berbagai hal, dan mendalami berbagai pengetahuan tanpa perlu merasa malu dan rendah diri.
Bukan hanya lebih dahulu membangun pendidikan modern bagi perempuan, yang kemudian ditiru oleh negara lain yang salah satunya Universitas Al-Azhar di Mesir, tetapi ruh perjuangan sudah ditanamkan di relung para pelajar putri tersebut. Hasilnya, bukan sekadar mencetak para perempuan terdidik, tetapi juga mereka adalah pejuang kemerdekaan republik ini.
Tidak terkecuali dari kalangan wanita pekerja pun sudah berjuang dengan elegan. Kendati Republik Indonesia belum diproklamasikan kemerdekaannya, kaum buruh wanita telah lebih dahulu menunjukkan tajinya.
Saskia Eleonora Wieringa dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan (2010: 141) mengungkap: pada 1940 berdirilah Pekerja Perempuan Indonesia, serikat buruh perempuan pertama. Anggotanya terdiri dari buruh yang bekerja di pemerintahan maupun swasta, para guru, perawat, dan perempuan yang bekerja bebas. Sekalipun kegiatan utamanya ialah pelatihan, mereka juga melakukan perlawanan terhadap diskriminasi di tempat kerja yang berhubungan dengan promosi kedudukan dan upah.
Kendati berasal dari ranah pekerja, tetapi para buruh wanita Indonesia sudah lebih dulu memiliki kesadaran untuk memperjuangkan hak-haknya. Ya, patutnya mentalitas seperti ini patut diancungi jempol.
Dan bolehlah bangsa ini berbangga hati, karena jauh sebelum-sebelumnya, bahkan ketika belum tercetus Hari Perempuan Sedunia, justru perempuan Indonesia mampu berbuat lebih dahsyat.
Mutiah Amini pada bukunya Sejarah Organisasi Perempuan Indonesia (2021: 16) menulis: Gerakan-gerakan yang pernah dilakukan perempuan sebelumnya, seperti RA Kartini (1879-1904) sebagai tokoh emansipasi perempuan yang melakukan “perjuangan” melalui pendidikan. Juga perempuan lainnya, seperti Nyi Ageng Serang (1752-1828), Martha Christina Tiahahu (1800-1818), Cut Nyak Dien (1848-1908), dan para perempuan lain.
Tentu saja seluruh aktivitas dari para perempuan ini menjadi inspirasi besar bagi terbentuknya organisasi perempuan di kemudian hari. Khususnya organisasi perempuan pada awal abad keduapuluh yang kemudian lebih fokus pada isu-isu kesetaraan perempuan di ruang sosial, baik di dalam ruang keluarga maupun ruang sosial lain.
Jadi kalau sejak dulu wanita-wanita Indonesia melangkah lebih maju dibanding kaum hawa di negara-negara lainnya, sekarang bagaimana?
Tantangan zaman sudah berubah, kita tidak boleh terlena. Rajin-rajinlah introspeksi diri, karena jangan-jangan perempuan Indonesia sekarang justru sedang tertinggal.
Hari Perempuan Sedunia yang jatuh pada 8 Maret 2023 ini jangan sekadar perayaan, apalagi hingga membuang-buang energi. Perempuan Indonesia perlu kembali terdepan dalam kebajikan.
Apa yang telah diraih para pendahulu bisa menjadi iktibar demi rancangan kebaikan pergerakan wanita Indonesia, hari ini dan masa mendatang. Setidaknya, kita punya tempat bercermin dari kegemilangan masa lalu itu. (*)
Tags : hari perempuan, peringatan hari perempuan sedunia, isu perempuan tidak pernah sepi ,