"Setumpuk masalah dibalik investasi China yang menyalurkan utang dan hibah hingga Rp12 Kuadriliun"
etika pemerintah menggaungkan program hilirisasi nikel, sejumlah ekonom menilai Indonesia sejatinya semakin ketergantungan pada investasi China dalam 10 tahun terakhir.
Ekonom menilai "demam nikel" ini tidak berkelanjutan, karena tidak membawa efek berganda sesuai harapan dan membuat Indonesia rentan terdampak guncangan ekonomi China.
Aktivis pun menganggap pemerintah tutup mata atas segala perampasan lahan, masalah kesehatan, dan kerusakan lingkungan yang selama ini terjadi atas nama investasi.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal [BKPM], Bahlil Lahadalia, tampak punya dua agenda besar saat konferensi pers kinerja investasi Indonesia 2023 pada Rabu (24/01).
Pertama, mempertanyakan kinerja Thomas Lembong, kepala BKPM periode 2016-2019.
Kedua, meyakinkan publik bahwa program hilirisasi nikel adalah jalan terbaik untuk memajukan bangsa dan mewujudkan visi "Indonesia Emas 2045".
Dalam konferensi pers tersebut, Bahlil menghabiskan 30 menit untuk membahas dua hal tersebut.
Baru kemudian dia memulai paparan kinerja investasi tahun lalu yang berlangsung 15 menit.
Tanpa menyebut nama, ia berulang kali menyentil Thomas, termasuk soal kegagalan mencapai target investasi pada 2018, mandeknya pengembangan sistem online single submission (OSS), serta apa yang ia sebut sebagai "kebohongan publik" soal nikel Indonesia tidak lagi diminati industri baterai kendaraan listrik dunia.
"Jangan omon-omon saja. Bahaya ini negara kalau dibuat-buat begini," kata Bahlil.
Thomas banyak jadi perbincangan publik sejak debat calon wakil presiden [cawapres] pada Minggu (21/01).
Cawapres Gibran Rakabuming Raka, yang mendampingi calon presiden Prabowo Subianto untuk maju di pemilihan presiden 2024, sempat mempertanyakan Thomas yang dianggap kerap mempromosikan lithium ferrophosphate [LFP].
Ini adalah tipe baterai litium-ion untuk kendaraan listrik yang menggunakan bahan besi alih-alih nikel atau kobalt.
Pasangan Prabowo-Gibran berulang kali menyatakan sikap mendukung program hilirisasi pemerintahan Presiden Joko Widodo, terutama untuk mengolah nikel menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik.
Sementara itu, meski tidak masuk secara resmi dalam tim kampanye, Bahlil terang-terangan mendukung Prabowo-Gibran dan, tentunya, program hilirisasi.
"Saya masih bingung ya, masih ada pakar ataupun mantan pejabat yang mengatakan bahwa hilirisasi ini tidak bagus. Saya tidak ngerti, otak dari mana itu mereka sampaikan [hal seperti itu]?" kata Bahlil.
Datangnya investasi untuk hilirisasi
Bahlil mengatakan kebijakan Indonesia untuk kembali melarang ekspor bijih nikel sejak awal 2020 (sebelumnya dijalankan pada awal 2014), berhasil menarik investasi untuk mendorong pengembangan industri pengolahan nikel.
Aliran dana itu utamanya berasal dari China, entah secara langsung ataupun melalui perusahaan cangkang di Hong Kong dan Singapura, kata Bhima Yudhistira, ekonom dan direktur eksekutif Center of Economic and Law Studies [Celios] pada Kamis (25/01).
Sebagai catatan, Singapura dikenal sebagai hub keuangan atau tempat bagi investor asing dari berbagai belahan dunia menaruh uangnya untuk berbisnis di Asia.
Karena itu, investasi dari Singapura ke Indonesia konsisten nomor satu dari tahun ke tahun, dengan angka menyentuh US$12,1 miliar [Rp192,2 triliun] pada 2023, merujuk data BKPM.
Sementara itu, investasi dari China dan Hong Kong adalah yang terbesar kedua dan ketiga pada tahun lalu, masing-masing dengan US$5,6 miliar dan US$5,2 miliar.
Angka investasi dari China dan Hong Kong melonjak dalam 10 tahun terakhir di periode pemerintahan Jokowi, sejalan dengan berkumandangnya program hilirisasi.
Pada 2014, dua negara itu hanya menyumbang 5,1% terhadap total angka investasi asing di Indonesia.
Persentasenya terus membesar hingga mencapai puncaknya pada 2022 dengan 30,1%, sebelum turun tipis ke 28,6% pada tahun lalu.
Alhasil, industri penambangan dan pengolahan nikel tumbuh pesat.
Pada 2014-2023, produksi bijih nikel tahunan melonjak 395% dari hanya 39 juta ton menjadi 193 juta ton, merujuk data resmi pemerintah.
Pada periode yang sama, jumlah smelter nikel yang telah dan akan dibangun naik 274,2% dari 31 unit menjadi 116 unit.
"Ini adalah fenomena nickel rush atau demam nikel," kata Bhima.
"Banyak perusahaan-perusahaan China berkejaran untuk mengeruk nikel dan memang pintu untuk hilirisasi terbuka setelah pemerintah melarang ekspor bijih nikel mentah. Jadi, investasinya meningkat cukup tajam."
Pemandangan tambang nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Menurut Faisal, tanda-tandanya mulai terlihat dari realisasi investasi China dan Hong Kong pada 2023, yang turun 21,4% dibanding tahun sebelumnya.
Ini terjadi setelah pertumbuhan ekonomi China melambat ke 3% pada 2022 dari 8,4% pada 2021.
Meski angkanya sempat menyentuh 5,2% tahun lalu, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan China bakal berkisar hanya di 4% dalam dua tahun ke depan.
"Saat ada ketergantungan besar, kalau terjadi sesuatu yang mengganggu perekonomian negara asal investasi tersebut, ini akan mengganggu kita juga dengan lebih kuat, lebih cepat," kata Faisal.
Apalagi, tambahnya, China sedang sibuk menghadapi krisis properti. Karena itu, aktivitas penanaman modal ke luar negeri jadi terhambat.
Ekonom Bhima Yudhistira mengatakan hal serupa. Ketika ekonomi China bermasalah, katanya, aliran investasi ke Indonesia dan volume perdagangan dua negara itu dapat menurun sehingga neraca dagang, cadangan devisa, dan nilai tukar rupiah bisa tertekan.
Proyek-proyek China di Indonesia pun bisa kena imbasnya, termasuk berbagai smelter nikel.
"Kapasitas produksi smelternya bisa diturunkan perlahan," kata Bhima.
"Lalu misalnya sudah sepakat mau ekspansi, mau bangun ini-itu, tiba-tiba enggak jadi."
Banyak proyek China di Indonesia merupakan bagian dari program BRI yang pertama diluncurkan pada 2013, termasuk Kawasan Industri Morowali, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Sumsel 1, dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Selama 10 tahun berjalannya BRI, China mengklaim telah berinvestasi di sekitar 3.000 proyek dengan nilai lebih dari US$1 triliun di 150 negara.
Per 2021, ada 71 proyek infrastruktur BRI di Indonesia dengan nilai total AS$20,3 miliar, menurut kajian lembaga riset AidData asal Amerika Serikat.
Namun, 31 proyek di antaranya disebut "bermasalah", entah karena memicu kontroversi, merusak lingkungan, adanya dugaan korupsi, atau kinerjanya tak sesuai harapan.
Sejumlah pengamat dan pakar internasional pun khawatir soal jeratan utang proyek dari BRI, terutama melihat apa yang terjadi di Sri Lanka.
Konstruksi Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka dimulai pada 2008 dengan bantuan utang US$1,3 miliar berbunga tinggi dari China.
Karena kesulitan membayar utang, akhirnya Sri Lanka sepakat menyerahkan 70% saham pelabuhan itu kepada BUMN China dengan masa sewa 99 tahun sejak 2017.
Hasil riset AidData yang dirilis pada 2021 menunjukkan, Indonesia memiliki "utang tersembunyi" kepada China sebesar US$17,28 miliar.
Istilah ini merujuk pada utang yang datang dari transaksi bisnis antara perusahaan atau bank milik negara maupun perusahaan patungan dan swasta. Karena itu, ia tidak dicatat atau dikelola sebagai utang pemerintah.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo pun sempat menjelaskan melalui akun X-nya, "utang tersembunyi" itu memang tidak dikelola pemerintah, tapi jika wanprestasi tetap berisiko "nyerempet pemerintah".
Karena itu, Faisal mengatakan Indonesia harus cermat mengantisipasi segala risiko sejak awal serta menghindari investasi berkualitas rendah dari China, termasuk yang berpotensi membawa masalah sosial dan lingkungan.
Dua masalah itu, kata Bhima, kerap hadir dalam proyek-proyek yang melibatkan investasi China. Namun, tambahnya, pemerintah seakan tutup mata, meski banyak proyek yang ada tidak efektif menghasilkan efek berganda di perekonomian domestik.
"Karakteristik investasi China itu, karena ingin cepat, dia mengimpor banyak sekali bahan baku besi dan baja dari luar negeri," kata Bhima.
"Makanya, apa korelasinya antara konstruksi smelter yang masif itu dengan BUMN atau perusahaan lokal di sektor besi dan baja? Nggak ada."
Belum lagi, investasi di sektor pengolahan bersifat padat modal, sehingga cenderung membutuhkan banyak tenaga kerja hanya di awal saat masa konstruksi, tapi tidak saat telah beroperasi, tambah Bhima.
Siapa investor China paling dominan di Indonesia?
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang [Jatam], Melky Nahar ,menyebut produsen baja nirkarat raksasa Tsingshan Holding Group sebagai wajah investasi China di Indonesia.
Tsingshan masuk ke Indonesia setelah meneken perjanjian kerja sama dengan bisnis lokal Bintangdelapan Group untuk membangun Kawasan Industri Morowali di Sulawesi Tengah pada 3 Oktober 2013 di tengah kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Indonesia.
Ini adalah bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan [BRI] China, yang diluncurkan Xi hanya sebulan sebelumnya.
Melalui BRI, China berniat membangun jaringan infrastruktur masif untuk membentuk jalur perdagangan darat dan laut yang menghubungkan China dengan sejumlah wilayah di Asia, Afrika, dan Eropa.
Selewat 10 tahun, Kawasan Industri Morowali berkembang pesat dan diklaim berhasil menarik investasi hingga US$20,9 miliar, dengan luas area sekitar 4.000 hektare.
"Pemerintahan Presiden Jokowi banyak sekali memberi kemudahan untuk perluasan industri, terutama di sektor ekstraktif. Itulah yang membuat perusahaan-perusahaan dari China ini investasinya cepat sekali," kata Melky pada Kamis (25/1).
PT Indonesia Morowali Industrial Park [IMIP] bertugas mengelola Kawasan Industri Morowali, yang kini memiliki tiga klaster pengolahan nikel yang masing-masing memproduksi baja nirkarat, baja karbon, dan komponen baterai kendaraan listrik.
Menurut bank data perusahaan terbatas Kementerian Hukum dan HAM, Tsingshan menguasai secara tak langsung 66,25% saham PT IMIP per 2023.
Sisa 33,75% saham PT IMIP dikendalikan PT Bintang Delapan Investama, bagian dari Bintangdelapan Group, entah secara langsung ataupun tak langsung.
Selain itu, Tsingshan berkongsi dengan sejumlah mitra dari China untuk membangun Kawasan Industri Weda Bay di Halmahera Tengah, Maluku Utara, sejak 2018.
PT Indonesia Weda Bay Industrial Park [IWIP] bertugas mengurus kawasan ini, yang diproyeksikan bakal menarik investasi US$15 miliar hingga 2024 dan memiliki luas area 5.000 hektare per 2022.
Per 2023, Tsingshan mengontrol secara tak langsung 46% saham PT IWIP, sementara produsen baterai Contemporary Amperex Technology asal China memegang 6%.
Ada pula Zhenshi Holding Group dan Huayou Holding Group, yang masing-masing menguasai tak langsung 24% saham PT IWIP.
Zhenshi adalah konglomerat dengan cakupan bisnis luas, dari produksi baja hingga pengembangan properti. Di sisi lain, bisnis utama Huayou adalah produksi bahan baku baterai litium. Keduanya juga berasal dari China.
Sementara itu, kebutuhan bijih nikel untuk diolah berbagai perusahaan di Kawasan Industri Weda Bay dipenuhi oleh PT Weda Bay Nickel.
Sejak 2017, Tsingshan menguasai secara tak langsung 51,3% saham PT Weda Bay Nickel. Eramet SA, perusahaan tambang Prancis, mengendalikan 38,7% dan BUMN lokal PT Aneka Tambang memegang sisa 10%.
Apa risiko ketergantungan Indonesia terhadap investasi China?
Saat ekonomi China terguncang, Indonesia bisa dengan cepat terkena dampaknya, kata Mohammad Faisal, ekonom dan direktur eksekutif Center of Reform on Economics [CORE], pada Kamis (25/1).
Sebuah smelter nikel di Sorowako, Sulawesi Selatan.
Apa dampak sosial, lingkungan, dan kesehatan dari hilirisasi nikel?
Pemerintahan Presiden Jokowi memberi "karpet merah" bagi investasi China tanpa memedulikan setumpuk masalah yang terjadi di lapangan, termasuk sengketa lahan, isu kesehatan, dan kerusakan lingkungan, kata Koordinator Jatam Melky Nahar.
"Demam nikel membuat pemerintah kehilangan akal sehat," kata Melky.
"Kemudahan-kemudahan yang diberikan untuk masuknya investasi China ke Indonesia, terutama di rezim kedua Jokowi, menimbulkan kerusakan yang sangat masif akibat pembongkaran nikel dan pengolahannya di kawasan industri."
Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) mencatat sejumlah kasus sengketa lahan yang terjadi di wilayah produksi dan pengolahan nikel, termasuk Morowali dan Halmahera Tengah yang telah menjadi kawasan industri.
Di Desa Bahomakmur di Morowali, misalnya, warga setempat berkonflik dengan CV Sentosa Abadi, kontraktor tambang PT Bintangdelapan Mineral yang merupakan bagian dari Bintangdelapan Group.
Warga menganggap perusahaan mengintimidasi dan menyerobot lahan bersertifikat mereka untuk pembangunan bengkel alat berat, kantor, dan tempat tinggal karyawan.
Sebaliknya, perusahaan melaporkan warga ke polisi dengan tuduhan pengancaman, pemerasan, dan pencemaran nama baik serta menggugat warga ke pengadilan dengan tuntutan ganti rugi Rp50 miliar.
Di Halmahera Tengah, laporan AEER menunjukkan pembebasan lahan berskala besar sejak dimulainya pembangunan Kawasan Industri Weda Bay pada 2018 memicu sengketa lahan dan hilangnya ruang hidup warga, terutama di tiga desa: Lelilef Woebulen, Lelilef Sawai, dan Gemaf.
Hingga 2023, banyak warga masih menolak tawaran ganti rugi lahan senilai Rp9.000 per meter dari PT IWIP.
Mereka menilai harganya mestinya berkisar di Rp30.000–Rp220.000 per meter. Apalagi, sejumlah lahan merupakan kebun produktif yang sehari-hari digarap warga untuk mencari nafkah.
"Warga desa-desa terdampak menghadapi 'kebuntuan' dalam mencari sumber penghidupan karena selain hilangnya kebun, warga juga semakin kesulitan mencari ikan," tulis AEER di laporan "Dilema Halmahera di Tengah Industri Nikel" yang dirilis Juli 2023.
"Hilangnya terumbu karang dan hutan bakau di sekitar pantai akibat adanya reklamasi di sekitar wilayah PT IWIP untuk pembangunan bandara, area perkantoran, serta PLTU berujung pada semakin menjauhnya area nelayan untuk menangkap ikan."
Operasi PLTU di kawasan industri di Morowali dan Halmahera Tengah pun disebut telah membuat udara tercemar dan memicu lonjakan kasus infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA.
Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), warga Desa Fatufia di Morowali paling terdampak dari operasi PLTU di kawasan industri.
Debu batubara disebut kerap masuk ke rumah bila warga tidak menutup rapat pintu dan jendela.
"ISPA jadi soal utama warga," tulis Walhi dalam "Catatan Akhir Tahun 2021".
Sementara itu, hasil wawancara AEER dengan petugas Puskesmas Lelilef di Halmahera Tengah menunjukkan adanya peningkatan kasus ISPA dari rata-rata 300 per tahun sebelum masuknya PT IWIP hingga 800-1.000 per tahun per Juni 2023.
Di sisi lain, operasi tambang nikel di Indonesia telah mengakibatkan deforestasi hingga 78.948 hektare sejak 2014, menurut analisis LSM Satya Bumi bersama Walhi.
Akhirnya, tata kelola penambangan dan pengolahan nikel yang buruk justru berkontribusi terhadap perubahan iklim, meningkatnya polusi udara, dan hilangnya keanekaragaman hayati, tulis Satya Bumi dan Walhi dalam laporan "Neo-Ekstraktivisme di Episentrum Nikel Indonesia" yang dirilis Oktober 2023.
Padahal, tujuan besar pemerintah mengembangkan industri hilir nikel adalah mendorong penggunaan kendaraan listrik untuk memerangi perubahan iklim.
Di luar itu semua, masalah perlindungan tenaga kerja pun banyak disorot, terutama setelah salah satu tungku smelter di Kawasan Industri Morowali meledak pada 24 Desember 2023.
Kejadian itu menewaskan setidaknya 21 orang dan membuat 38 lainnya cedera.
Segala masalah yang muncul harusnya sudah cukup untuk mendorong pemerintah menerapkan moratorium pembangunan smelter nikel baru, kata Melky.
Pada Oktober 2023, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memang mengatakan sedang mempertimbangkan rencana moratorium smelter nikel.
Namun, ini hanya untuk smelter dengan teknologi pirometalurgi yang mengolah bijih nikel saprolit berkadar tinggi, yang hasilnya kerap digunakan untuk produksi baja nirkarat.
Alasannya pun untuk menjaga pasokan bijih nikel di masa depan, bukan mencegah kerusakan lingkungan lebih jauh dan menata ulang industri hilir nikel.
"Mestinya kan moratoriumnya berangkat dari laju perluasan kerusakan yang demikian gila-gilaan," kata Melky.
"Kerusakan itu mesti dihentikan. Salah satu caranya adalah dengan moratorium, kemudian melakukan audit atas seluruh kerusakan serta melakukan penegakan hukum dan pemulihan."
Bila kondisinya tidak berubah, kata Melky, rakyat Indonesia terpaksa harus menanggung akibatnya di masa depan.
"Jadi, saya kira 2045 itu bukan 'Indonesia Emas', tapi 'Indonesia Cemas'."
China salurkan utang dan hibah Rp12 kuadriliun
China bisa memberi utang untuk pembangunan dua kali lebih banyak dibandingkan AS dan negara-negara besar lainnya, menurut sebuah penelitian.
Pinjaman ini sebagian besar berasal dalam bentuk bunga tinggi yang berisiko dari bank-bank milik pemerintah China.
Jumlah pinjaman itu mengejutkan karena sebelumnya China menerima bantuan dari negara lain, tapi sekarang situasinya berbalik.
Dalam jangka waktu 18 tahun, China memberikan hibah maupun pinjaman uang kepada 13.427 proyek infrastruktur senilai $843 miliar (Rp12 kuadriliun-dikonversi dengan nilai dolar hari ini) di 165 negara, menurut penelitian AidData di William & Mary, sebuah universitas di negara bagian Virginia, Amerika Serikat.
Kebanyakan pinjaman ini berkaitan dengan Belt and Road Initiative [BRI], program ambisius Presiden Xi Jinping.
Dimulai pada 2013, hal ini telah mendongkrak keahlian China dalam proyek infrastruktur, dan mata uang asing yang cukup untuk membangun jalur perdagangan global yang baru.
Namun, para kritikus khawatir bahwa pinjaman dengan bunga tinggi untuk mendanai banyak proyek investasi China akan membebani warga dari negara yang menjadi peminjam. Dan kabar itu bahkan ditujukan untuk pemerintah China sendiri.
Para peneliti dari AidData - yang menghabiskan waktu empat tahun untuk melacak semua pinjaman dan belanja China secara global - menuturkan bahwa pemerintah China secara rutin menemui mereka untuk mendapatkan informasi bagaimana pinjaman dari mereka digunakan di luar negeri.
"Kami dengar pernyataan yang selalu dilontarkan dari pejabat publik di China, 'Lihat, kalian adalah yang terbaik'," jelas Direktur AidData, Brad Parks.
"Mereka mengatakan: 'Kami tak bisa mendapatkan data ini secara internal.'"
Jalur kereta api yang berkelok-kelok antara China dengan tetangganya, Laos kerap disebut-sebut sebagai contoh terpenting pinjaman China yang tidak tercatat di dalam pembukuan transaksi.
Selama beberapa dekade, kalangan politisi mempertanyakan pembangunan jalur koneksi, seperti bagaimana menghubungkan wilayah China bagian barat daya yang terpencil langsung ke Asia Tenggara.
Namun, para insinyur memperingatkan bahwa biaya yang dikeluarkan akan mahal: jalurnya harus melewati pegunungan, membutuhkan puluhan jembatan dan terowongan.
Laos adalah salah satu negara miskin di kawasan Asia Tenggara, dan bahkan tak mampu untuk membiayai proyek ini.
Dari sisi bankir ambisius China: dengan dukungan dari kelompok perusahaan pemerintah China dan sebuah konsorsium investor, jalur kereta api senilai $5.9 miliar [Rp84 triliun] akan mulai beroperasi pada Desember ini.
Namun, Laos harus mengambil utang sebesar $480 [Rp6,8 triliun] juta dari bank China untuk membiayai bagian kecil dari modalnya [ekuitas].
Salah satu sumber pendapatan Laos berasal dari hasil tambang Kaliumnya, yang digunakan untuk membayar utang tersebut.
"Pinjaman dari Eximbank China untuk mentutupi sebagian modalnya, benar-benar menunjukkan urgensi negara China untuk mendorong proyek tersebut," jelas Wanjing Kelly Chen, asisten profesor peneliti di Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong.
Sebagian besar dari jalur rel tersebut dimiliki oleh grup perkeretaapian China, tapi di bawah ketentuan dan kesepakatan yang tidak jelas, pemerintah Laos akhirnya harus bertanggung jawab atas utang proyek rel tersebut.
Kesepakatan yang tidak seimbang ini membuat kreditur internasional menurunkan peringkat kredit Laos dengan status "sampah".
Status ini menunjukkan pemerintah mungkin tak punya cukup uang untuk membayar utangnya.
Pada September 2020, dalam kondisi di ambang kebangkrutan, Laos menjual sebagian besar aset utamanya kepada China.
Laos menyerahkan sebagian jaringan energinya senilai $600 juta [Rp8,54 triliun] untuk mendapatkan keringanan utang dari kreditur China. Ini terjadi bahkan sebelum pembangunan rel kereta dimulai.
Jalur kereta api Laos bukan hanya satu-satunya proyek berisiko yang didanai oleh bank-bank pemerintah China, namun, AidData mengatakan China tetaplah penyandang dana bagi banyak negara-negara berpendapatan menengah dan ke bawah.
"Dalam setahun, rata-rata lembaga keuangan pembangunan internasional China berkomitmen untuk mengeluarkan pinjaman sebesar $85 miliar [Rp1,21 kuadriliun]," kata Brad Parks.
"Jika dibandingkan, AS hanya menyediakan $37 miliar (Rp527,1 triliun) pada tahun tertentu untuk mendukung aktivitas pembangunan global," sambungnya.
China telah jauh melampaui negara-negara lain dalam pendanaan pembangunan, tapi cara Beijing untuk mencapai angka tersebut "luar biasa", kata AidData.
Di masa lalu, negara-negara Barat bersalah karena menjerumuskan negara-negara Afrika ke lubang utang.
China meminjamkan dengan cara berbeda: alih-alih mendanai proyek dengan cara memberikan hibah atau meminjamkan uang dari satu negara ke negara lainnya, hampir semua uang itu didapatkan dalam bentuk pinjaman bank milik pemerintah China.
Pinjaman tersebut tak muncul dalam pembukuan resmi pemerintah. Karena itulah nama lembaga pemerintah pusat tidak muncul dalam banyak kesepakatan antara bank dengan negara peminjam.
Hal semacam ini agar neraca perekonomian China tetap terjaga, serta menyembunyikan klausul-klausul kerahasiaan yang bisa mencegah pemerintah mengetahui secara pasti apa yang telah disepakati secara sembunyi-sembunyi.
AidData menghitung utang yang tak dicatat dalam pembukuan resmi pemerintah China mencapai $385 miliar.
Banyak kesepakatan dalam pinjaman jangka pendek China juga menuntut agunan yang tak biasa.
Semakin meningkat, utang China tampaknya menuntut peminjam untuk menjanjikan uang tunai yang berasal dari penjualan sumber daya alam.
Kesepakatan dengan Venezuela misalnya, menuntut mereka menyetor mata uang asing [sebagai deposito] yang diperoleh dari penjualan minyak secara langsung ke rekening bank yang dikendalikan pemerintah China.
Jika pembayaran utang lewat tenggat waktu, pemberi pinjaman dari China dapat segera menarik uang tunai dari rekening tersebut.
"Ini benar-benar nampak seperti strategi roti dan mentega, yang mereka gunakan untuk memberikan sinyal kepada para peminjam bahwa 'Kamilah bosnya'," jelas Brad Parks.
Pesan mereka adalah: 'Kalian akan kembali bayar utang pada kami sebelum yang lain, karena kamilah satu-satunya sangat penting untuk kalian.'
"Ini pendapatan bagi negara-negara miskin, dolar dan euro, untuk mengunci mereka dalam di rekening luar negeri yang dikontrol oleh kekuatan asing."
"Apakah China pintar?" tanya Anna Gelpern, seorang professor hukum Georgetown yang terlibat dalam penelitian AidData awal tahun ini."
Ia terlibat dalam pemeriksaan kontrak utang dari China.
"Menurut saya, kesimpulan kami adalah mereka kuat dan licin dalam kontrak ini. Mereka sangat melindungi kepentingan mereka sendiri."
Negara-negara bisa menjadi peminjam yang sulit [untuk ditagih], jelas Gelpern, dan tidak praktis mengharapkan mereka menyerahkan aset secara fisik seperti pelabuhan, jika mereka tak mampu membayar utang.
China mungkin akan segera menghadapi kompetisi dari dunia internasional. Pada pertemuan negara-negara maju, G7, Juni lalu, AS dan sekutunya mengumumkan inisiatif "Build Back Better World" initiative, dengan janji untuk mendanai proyek infrastruktur global yang berkelanjutan secara finansial dan lingkungan.
Namun, rencana itu mungkin datang terlambat.
"Saya ragu kalau inisiatif negara-negara Barat akan membuat banyak tekanan pada program China," kata David Dollar, peneliti di Brookings Institution sekaligus mantan perwakilan Departemen Keuangan AS di China.
"[Inisiatif-inisiatif baru itu] tidak akan cukup uang riil untuk mengatasi skala kebutuhan infrastruktur yang dibutuhkan di negara berkembang. Juga, bekerja sama dengan otoritas keuangan Barat itu birokratis dan dapat tertunda dalam jangka waktu lama."
Para peneliti AidData menemukan bahwa proyek Belt and Road [BRI] sedang menghadapi persoalannya sendiri. Proyek BRI lebih cenderung dikaitkan dengan korupsi, persoalan perburuhan, atau isu lingkungan dari pada kesepakatan pembangunan China yang lainnya.
Untuk menjaga agar BRI tetap pada jalurnya, para peneliti mengatakan, Beijing tak akan punya pilihan selain mengatasi kekhawatiran peminjam.
Proyek China di Indonesia
Sejak Presiden Xi Jinping mempromosikan program ambisiusnya 2013, saat itu ia sempat berkunjung ke Jakarta untuk menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam pertemuan itu, Indonesia meneken puluhan kesepakatan kerja sama dengan China terkait dengan pertambangan, bubur kertas, properti, jalur kereta api, infrastruktur dan semen. Total nilai komitmen kerja sama mencapai $28,2 miliar [Rp401 triliun}.
"Kita sekali lagi membuat sejarah dengan menyepakati untuk menjalin kerja sama strategis yang komprehensif. Saya yakin di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping kita akan dapat meningkatkan kerja sama bilateral kita di masa depan," kata Presiden RI saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, seperti dikutip Antara.
Pada 2017, kerja sama terkait dengan program BRI berlanjut. Presiden Joko Widodo berada di antara 29 kepala negara dan perwakilan yang ikut serta dalam "Belt and Road Forum for International Cooperation".
Pemandangan tambang nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Dalam kesempatan itu, Presiden Xi mengumumkan telah menyiapkan anggaran $55,09 miliar untuk mendukung proyek BRI untuk perluasan jaringan antara Asia, Afrika dan Eropa.
Satu bulan pasca dilantik menjadi presiden periode 2014-2019, Joko Widodo juga melakukan kunjungan kehormatan ke Presiden Xi Jinping.
Antara melaporkan kedua kepala negara melakukan pembicaraan bilateral membahas perkembangan hubungan dan kerja sama kedua negara.
Pada 2019, Wakil Presiden saat itu, Jusuf Kalla, juga menghadiri Forum BRI di China.
Hasil dari pertemuan itu di kemudian hari menghasilan 23 proyek kerjasama Indonesia-China yang akan dibangun di Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Maluku dan Bali.
Proyek-proyek tersebut meliputi, pembangunan kawasan industri dan infrastruktur penunjang Taman Kuning, Kaltara, proyek pembangkit listrik hasil olahan sampah di Sulawesi Utara dan Taman Teknologi di Pulau Kura-kura di Bali.
Dalam satu kesempatan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan meyakini Indonesia bisa menghindari jebakan utang dalam kerja sama pembangunan dengan China ini.
Dalam kerjasamanya, kata dia, Indonesia menggunakan perjanjian B to B [antar badanusaha], bukan G to G [antar pemerintah].
Sehingga tidak ada uang pemerintah yang disertakan dalam proyek itu.
Berdasarkan laporan Bank Indonesia, posisi utang Indonesia per Juli 2021 mencapai $451,6 miliar [Rp5.912 triliun] yang meliputi utang pemerintah, lembaga keuangan, BUMN dan sektor swasta. Jumlahnya dua kali lipat dari APBN tahun-tahun terakhir.
Sementara utang Indonesia pada China per Juli 2021 mencapai $21,12 miliar [Rp300,9 triliun].
Jumlah ini meningkat hampir enam kali lipat dalam 10 tahun terakhir, yaitu $3,7 miliar pada 2011. China merupakan pemberi pinjaman nomor empat terbesar di Indonesia setelah Singapura, Amerika Serikat dan Jepang.
Jadi sekarang, dalam perkembangan terakhir, Presiden Xi Jinping menghentikan dukungan pendanaan proyek batu bara. Hal ini juga menandai pergeseran kebijakan dalam BRI. (*)
Tags : china, setumpuk masalah dibalik investasi, china salurkan utang dan hibah, pinjaman china baik atau lintah darat, ekonomi, indonesia, bisnis, ekonomi, politik, energi, perdagangan, Sorotan,