Hukrim   2025/07/18 14:52 WIB

Sindikat Penjualan Bayi Berkedok Adopsi 'Dikirim' ke Singapura, KPAI: Biasanya Mengincar Perempuan Hamil yang Putus Asa

Sindikat Penjualan Bayi Berkedok Adopsi 'Dikirim' ke Singapura, KPAI: Biasanya Mengincar Perempuan Hamil yang Putus Asa
Ilustrasi bayi baru lahir.

JAKARTA - Kepolisian Daerah Jawa Barat mengungkap sindikat perdagangan bayi yang disebut telah beroperasi sejak 2023.

Para pelaku mengaku setidaknya telah "menjual" 25 bayi ke sejumlah daerah di Indonesia dan luar negeri, yakni Singapura.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut para sindikat ini biasanya mengincar para perempuan hamil yang kondisinya putus asa.

Erika Ratna Sari adalah salah satu contohnya.

Oleh seorang pemilik klinik persalinan di Jakarta, dia dipaksa menyerahkan bayinya yang baru saja dilahirkan karena tak punya uang membayar ongkos persalinan sebesar Rp3,5 juta.

"Dia terus menekan saya supaya memberikan bayi saya. Katanya, saya harus membayar biaya persalinan Rp3,5 juta atau anak saya ditahan. Waktu itu memang suami saya enggak punya duit sama sekali," tutur Erika.

Polda Jawa Barat mengungkap kasus ini bermula dari orang tua bayi berinisial DH yang masuk ke sebuah grup di Facebook bernama Adopsi Harapan Amanah pada 3 April 2025.

Pada 4 April, DH menemukan unggahan akun lain yang isinya sedang mencari orang tua yang bersedia menyerahkan anaknya untuk diadopsi, namun persyaratannya mudah.

DH lantas menanggapi unggahan itu di kolom komentar, dengan mengatakan bahwa akan ada bayi laki-laki yang lahir pada bulan April berinisial L.

Tersangka AF, sebut polisi, melihat balasan DH di kolom komentar. Ia pun langsung mengirim pesan kepada DH untuk menanyakan persyaratan adopsi bayi L.

Keduanya pun sepakat bertukar nomor WhatsApp.

"Jadi setelah berbincang di media sosial Facebook, ayah bayi L japri (jalur pribadi) lewat WhatsApp kepada AF," ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jabar, Surawan, dalam konferensi pers, Kamis (17/07).

Pada 5 April, tersangka AF bersama tersangka NY datang ke rumah DH untuk membicarakan proses adopsi.

Di situ, kesepakatannya adalah harga untuk adopsi bayi L sebesar Rp10 juta.

AF membuat klaim kepada DH, bahwa dirinya ingin mengadopsi bayi tersebut untuk pribadi. Pasalnya AF mengaku sudah lama menikah dan belum dikaruniai anak.

Pada 6 April, tersangka AF membawa istri DH ke bidan untuk pemeriksaan kandungan yang pada waktu itu sudah memasuki pembukaan 4.

"Sore harinya tersangka AF dan NY datang ke bidan untuk mendampingi proses lahiran pada 9 April 2025."

Selanjutnya AF dan NY mendatangi rumah DH untuk mengambil bayi yang baru saja dilahirkan itu dan menyerahkannya kepada tersangka DHH.

Tersangka DHH, ungkap polisi, turut membawa kliennya berinisial C yang hendak mengadopsi bayi L dengan membayar Rp11 juta kepada AF.

Uang belasan juta tersebut lalu dibagi-bagi ke sejumlah tersangka, rinciannya:

  • Uang Rp5 juta diberikan kepada DH.
  • Uang Rp2,3 juta untuk membayar biaya persalinan.
  • Uang Rp300.000 diberikan sebagai upah kepada tersangka DHH.
  • Uang Rp400.000 diserahkan kepada tersangka YN sebagai upah.
  • Uang Rp600.000 untuk pemeriksaan ke bidan.
  • Uang Rp500.000 diserahkan oleh tersangka AF kepada istri DH.
  • Uang Rp2.290.000 untuk tersangka AF.

Hanya saja, kata polisi, belakangan DH murka lantaran sisa uang adopsi yang dijanjikan tersangka AF tak kunjung dilunasi. Padahal bayinya telah diboyong.

"[Janjinya] sisanya akan diberikan keesokan hari," ujar Surawan.

"Tapi [setelah tersangka] memberikan KTP dan KK serta membawa anak itu, tersangka tidak kunjung datang [melunasi sisa pembayaran]," sambungnya.

Di situlah, DH melaporkan dugaan penculikan ke polisi.

Menurut pengakuan DH, ia menjual bayinya atas dasar kesulitan ekonomi.

Polda Jabar mengatakan total ada 16 tersangka dalam sindikat perdagangan bayi ini.

Mereka di antaranya berperan sebagai: agen pembuat dokumen palsu sekaligus pencari orang tua palsu; orang tua palsu; perantara juga pengasuh bayi; perekrut bayi; pengantar dari Jakarta ke Kalimantan dan selanjutkan dari Kalimantan ke Singapura; pengantar ke Singapura; dan agen Indonesia.

Mayoritas pelaku dari sindikat ini adalah perempuan.

Dari 16 tersangka, 13 orang sudah ditangkap. Sementara sisanya masih dalam pencarian alias DPO.

Polda Jawa Barat menyebut sindikat ini sudah beroperasi sejak tahun 2023 dan setidaknya telah menjual 25 bayi, baik yang telah lahir maupun sejak dalam kandungan.

Bayi-bayi tersebut, klaim polisi, dijual dengan harga bervariasi, antara Rp10 juta hingga Rp16 juta.

Modus operandi sindikat ini dimulai dari mencari calon bayi. Setelah lahir, bayi tersebut dipindahkan ke Pontianak dan diasuh oleh beberapa pengasuh.

Para pengasuh disebut mendapatkan bayaran Rp2,5 juta.

Selama di Pontianak, sindikat ini membuatkan identitas palsu: surat keterangan lahir, akta lahir, paspor, dan Kartu Keluarga (KK).

Selain membuat dokumen, sindikat ini juga mencarikan orang tua kandung palsu untuk bayi dengan cara memasukkan identitas bayi ke dalam Kartu Keluarga (KK) seseorang.

Imbalan untuk orang tua kandung palsu ini sebesar Rp5 juta-Rp6 juta.

Setelah semua dokumen lengkap dan bayi berusia di atas 2-3 bulan, lantas diboyong ke Jakarta dan selanjutnya diterbangkan ke Singapura.

"Ketika di Singapura inilah, orang tua kandung palsunya juga ikut ke sana. Seolah-olah dia adalah orang tua asli si bayi," ujar Surawan.

"Si orang tua kandung palsu ini menyampaikan, kondisi ekonominya tidak memungkinkan untuk merawat anak."

Berdasarkan pengakuan sindikat, dari 25 bayi yang dijual itu, sebanyak 15 bayi berusia antara 5-14 bulan sudah dikirim ke luar negeri yakni Singapura.

Dari 25 bayi tersebut, 12 di antaranya berjenis kelamin laki-laki ada sisanya perempuan.

Para pelaku sindikat dikenakan pasal berlapis, di antaranya Pasal 83 UU No.17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu No.1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan/atau Pasal 2 dan/atau Pasal 4 dan/atau Pasal 6 UU RI No.21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan/atau Pasal 330 KUHP.

Ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun.

Surawan menyebutkan pihaknya masih mengecek pembeli bayi yang berada di Singapura.

Untuk mengurai hal itu, polisi akan meneliti ulang dokumen-dokumen dari Pontianak. Misalnya, paspor para pelaku yang mengantar bayi ke Singapura.

"Nanti kami kroscek datanya dengan data bayi yang berangkat. Sehinga kita tahu betul bayi yang berangkat siapa saja, yang antar siapa, dan kapan diantaranya," kata Surawan.

"Memang ini masih perlu waktu panjang untuk membongkar secara keseluruhan."

Yang pasti, ucap polisi, sebagian besar identitas bayi-bayi itu sudah berubah kewarganegaraan.

Dalam penangkapan yang berlangsung pada Senin (14/07) malam, polisi turut menyelamatkan enam bayi yang rata-rata berusia satu tahun.

Lima bayi itu sedianya bakal dikirim ke Singapura, dan satu ke Tangerang.

Untuk mengungkap identitas bayi-bayi itu, Polda Jabar akan menelisik orang tua kandung mereka.

Dari situ juga akan terungkap motif para orang tua bayi-bayi tersebut menyerahkannya ke sindikat perdagangan orang.

"Kami baru dapat satu orang tua kandung anak [DH]. Dari keterangannya, motif dia adalah ekonomi. Tapi kami masih mencari apakah ada motif lain semisal tidak mampu merawat anak, mungkin malu, atau sengaja mendapatkan uang."

"Dan para orang tua bayi ini nanti berpotensi sebagai tersangka, kalau terlibat dalam sindikat perdagangan manusia, karena memperdagangkan anak kandungnya sendiri."

Polisi menyebut enam bayi itu telah dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Sartika Asih untuk menjalani perawatan medis dan selanjutnya dibawa ke rumah penampungan Dinas Sosial Jabar.

Untuk pengembangan kasus, polisi meminta bantuan Interpol dan polisi Singapura untuk menangkap anggota jaringan sindikat yang masih di luar negeri. Termasuk pembeli bayi-bayi juga akan dicari.

"Kami akan menetapkan pelaku itu masuk daftar pencarian orang. Selain itu, kami juga akan menerbitkan red notice atau permintaan untuk aparat penegak hukum di negara tersebut untuk menangkapya," jelas Surawan.

Sejauh ini polisi sudah memeriksa 20 saksi dan satu pelapor.

Kepolisian dan Kementerian Dalam Negeri Singapura untuk menanggapi hal ini, tapi belum mendapat respons.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Rahmayanti, menjabarkan ada beberapa modus yang dilakukan sindikat perdagangan anak.

Pertama, mereka mengincar para perempuan hamil yang kondisinya putus asa.

"Misalnya, dia hamil karena kekerasan seksual, penelantaran oleh suami, atau faktor kehamilan yang tidak diinginkan akibat pergaulan bebas," ujar Ai Rahmayanti, Selasa (16/07).

Kedua, para sindikat ini membidik para calon ibu yang memang berniat menyerahkan anaknya untuk diadopsi, namun dilakukan tidak sesuai prosedur yang legal.

Ketiga, mencari perempuan hamil yang secara sadar ingin menjual bayinya atas dasar butuh uang.

Ai Rahmayanti berkata, sindikat perdagangan bayi atau anak ini biasanya memakai kedok klinik persalinan, panti asuhan, atau panti sosial yang seolah-olah memiliki kepedulian terhadap perempuan dan anak-anak terlantar serta tidak mampu.

"Klinik atau panti itu pakai bahasa yang sepintas terdengar penuh rasa kemanusiaan, misalnya bisa melahirkan dan bisa dibawa pulang kembali. Tapi tidak begitu, dilahirkan tapi diiming-imingi uang, dan bayinya dipindah tangan secara ilegal."

Dia juga meyakini, sindikat tersebut melibatkan tenaga kesehatan seperti bidan dan pihak-pihak yang berkaitan dengan administrasi negara. Sebab bayi atau anak yang hendak diadopsi secara ilegal tersebut mengantongi surat-surat yang sah.

"Kalau ada bayi atau anak yang disiapkan ke luar negeri, berarti ada manipulasi data dan administrasi. Artinya pemerintah kebobolan sehingga terjadi penyalahgunaan dan ada keterlibatan serangkaian aparatur negara dan tenaga kesehatan," jelasnya.

Salah satu kasus terbaru tindak pidana perdagangan bayi yang diadvokasi lembaganya terjadi pada 2024. Lokasinya di Depok, Jawa Barat, dan Bali.

Di Depok, pihaknya mendapati dua bayi yang hendak dijual untuk adopsi. Kemudian, di Bali terdapat 12 perempuan yang ketika melahirkan dan bayinya bakal diserahkan ke orang tua angkat.

Bayi-bayi itu, katanya, dijual dengan harga bervariasi.

"Kalau di Jawa antara Rp11 juta sampai Rp15 juta, sementara di Bali bisa Rp20 juta hingga Rp26 juta. Penentuan harga itu juga melihat beberapa indikator, salah satunya penampilan fisik si bayi," paparnya.

Pemantauannya, para pelaku divonis lima tahun penjara. Sedangkan bayi-bayi itu disatukan kembali kepada orang tuanya.

Catatan KPAI terkait Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Indonesia, pada 2020 ada 11 kasus anak korban adopsi ilegal.

Tahun 2021, ditemukan enam kasus anak korban pemindahan secara ilegal dalam keluarga dan dua kasus anak korban pemindahan ilegal dalam keluarga antarnegara.

Sementara pada 2023, KPAI mencatat 59 kasus terkait penculikan dan perdagangan anak dengan modus adopsi ilegal.

Erika Ratna Sari adalah salah satu korban perdagangan bayi di Jakarta. Peristiwa yang dialami Erika belum dipastikan apakah terkait dengan penangkapan sindikat perdagangan bayi yang dilakukan Kepolisian Daerah Jawa Barat.

Namun, modusnya serupa dengan kasus baru-baru ini.

Perempuan 38 tahun ini mengaku dipaksa oleh pemilik klinik persalinan—yang seorang bidan—untuk menyerahkan bayi perempuannya karena tak mampu membayar ongkos persalinan sebesar Rp3,5 juta.

Selama 26 hari, Erika cuma bisa menangis sesenggukan setelah sang bayi diambil paksa pelaku. Matanya sembab. Badannya kurus gara-gara tak nafsu makan.

"Rasanya waktu itu enggak ada tenaga untuk makan. Tidur pun enggak bisa. Saya cuma nangis setiap hari. Yang ada di pikiran saya, semoga ketemu...semoga ketemu," tutur Erika, Rabu (16/07).

Erika melahirkan bayinya pada 16 Januari 2023. Kira-kira pukul 10 siang.

Ketika bayi seberat 3,2 kilogram itu diserahkan ke pangkuannya untuk disusui, hatinya bahagia.

Tapi perasaan itu berubah jadi kesal begitu mendengar omongan si pemilik klinik.

"'Kamu kan nikah siri, suamimu kerjanya hanya satpam, enggak ada uang. Jadi, kamu kasih anak kamu ke saya... karena ada pasangan yang enggak punya anak. Saya akan amplopin [berikan uang] ke kamu, tapi kamu enggak boleh bertemu lagi sama bayi kamu,'" ucapnya menirukan perkataan pemilik klinik persalinan.

Esoknya, dia dan suaminya dibawa ke sebuah ruangan. Di situ, pasangan tersebut disodorkan sebuah surat yang isinya mereka setuju menyerahkan bayinya untuk diadopsi oleh orang lain.

Mereka juga dilarang untuk menemui sang anak maupun orang tua asuh.

Berjam-jam berada di bawah tekanan, Erika dan suaminya menyerah dan menandatangani surat itu. Oleh si pemilik klinik, mereka lantas diberikan amplop berisi uang.

"Dia terus menekan saya supaya memberikan bayi saya. Katanya, saya harus membayar biaya persalinan Rp3,5 juta atau anak saya ditahan. Waktu itu memang suami saya enggak punya duit sama sekali," sambungnya.

Malamnya, Erika dan suami diusir dari klinik. Sesampainya di rumah, perempuan asal Sumatra ini gelisah. Hatinya tak tenang.

Setiap hari dia mendatangi klinik itu sembari menangis untuk bertemu dengan putri kecilnya. Tapi selalu ditolak dengan alasan bayinya sudah diboyong ke Surabaya, Jawa Timur.

Mendengar itu, pikirannya makin kalut. Ia membayangkan hal-hal mengerikan terjadi pada anak pertamanya.

"Namanya seorang ibu, rasanya seperti anak saya menangis mencari saya, itu yang bikin saya tak menyerah mencari dia. Saya yakin Tuhan tidak tidur, dia pasti membantu saya mendapatkan putri saya kembali," ucapnya.

Karena terus dihalang-halangi bertemu bayinya, Erika menghubungi seorang pengacara pro bono bernama Rendi Rumapea.

Rendi bilang setelah mendengar penjelasan kliennya, ia melayangkan surat somasi kepada pemilik klinik persalinan pada 11 Februari 2023.

Inti dari somasi itu menjelaskan bahwa tindakan si pemilik klinik bisa mengarah pada dugaan tindak pidana perdagangan orang dan tindak pidana adopsi ilegal. Sebab dilakukan secara paksa dan tak sesuai prosedur.

Dia juga mendesak si pemilik klinik mengembalikan bayi itu ke ibu kandungnya.

Sehari setelah menerima surat somasi itu, si pemilik klinik menghubungi Erika mempertanyakan tindakannya yang membawa-bawa pengacara.

Tapi Rendi minta Erika tak menggubris telepon itu.

"Akhirnya si pemilik klinik mengirim pesan WhatsApp untuk bertemu tanggal 14 Februari 2023, kurang lebih pukul 10.00 WIB," jelas Rendi kepada BBC News Indonesia.

Pertemuan berlangsung di klinik persalinan, tempat Erika melahirkan.

Di situ Rendi datang bersama Erika dan suaminya. Di pihak seberang, ada si pemilik klinik, pihak yang mengadopsi bayi Erika serta pengacaranya.

Mulanya, kata Rendi, pengacara dari pihak yang mengadopsi berkukuh bahwa proses adopsi sudah benar. Tetapi, klaim itu buru-buru disanggah Rendi.

"Saya bilang, 'Adopsi itu sudah cacat dan kalian tidak ada hak untuk menyangkal. Kalau kalian tidak mau menyelesaikan dengan baik-baik, kami akan lapor ke polisi'."

"Setelah negosiasi, si orang yang mengadopsi ini bersedia menyerahkan bayi itu sambil menangis, mungkin karena sudah sayang."

"Orang itu bilang alasan mengadopsi karena belum punya anak meski sudah menikah hampir lima tahun," sebut Rendi.

Pada akhir perundingan itu, suara tangis bayi berusia satu bulan pecah. Erika cepat-cepat berdiri dan menggendong bayinya yang diserahkan oleh pria berkemeja batik.

Ia menangis, tapi kali ini, dengan perasaan bahagia.

"Saya langsung peluk bayi saya... saya selalu mengucapkan syukur kepada Tuhan karena mempertemukan saya dengan dia," katanya.

Kata Rendi, kliennya tak berniat melanjutkan kasus ini ke kepolisian. Ia pun tak tahu, apakah klinik persalinan itu terkait dengan jejaring sindikat perdagangan anak yang lebih besar atau tidak.

Tapi dari desas-desus yang dia dengar, bayi itu dijual untuk adopsi seharga Rp20 juta-an.

Erika mengakui bahwa dirinya tak mau memperpanjang kasusnya ke polisi. Ia cuma ingin fokus menjaga bayinya yang kala itu didiagnosa mengalami jantung bocor pada anak.

"Saat itu anakku lagi diopname, masuk rumah sakit, jadi udah selesai aja."

Kini, putrinya sudah berusia tiga tahun.

"Wajahnya bulat dan cantik, bagaimana saya enggak sayang sama dia?" imbuhnya sembari tertawa. "Lucu anak itu, ajaib". (*)

Tags : Perdagangan manusia, Kejahatan, Indonesia, Anak-anak, Singapura, Perempuan,