INTERNASIONAL - Direktur Utama Singapore Airlines meminta maaf setelah turbulensi pada penerbangan rute London-Singapura mengakibatkan satu penumpang meninggal dunia dan sejumlah lainnya terluka. Apakah perubahan iklim membuat turbulensi semakin parah?
Direktur Utama Singapore Airlines, Goh Choon Pong, mengatakan bahwa maskapainya “sangat menyesal atas pengalaman traumatis” yang dialami oleh para penumpang SQ321 dari London ke Singapura.
Dalam pernyataan melalui rekaman video, Goh mengatakan Singapore Airlines sedang "bekerja sama dengan otoritas terkait dalam menyelidiki kasus itu".
Ia juga menyampaikan rasa belasungkawa kepada keluarga korban dan pihaknya akan "memberikan segala bantuan" kepada penumpang dan awak pesawat yang terdampak.
Goh menambahkan bahwa pesawat tersebut sedang dalam perjalanan di atas Sungai Irrawaddy pada ketinggian 37.000 kaki ketika terjadi turbulensi.
Pesawat tersebut terpaksa melakukan pendaratan darurat di ibu kota Thailand, Bangkok.
Sekitar 104 penumpang dirawat, dengan rincian 58 orang masih tinggal di rumah sakit dan 20 lagi berada di unit perawatan intensif (ICU), kata pihak Rumah Sakit Smitivej di Bangkok.
Sebuah pesawat bantuan yang membawa penumpang dan kru pesawat tersisa baru mendarat di Singapura pada Rabu (22/05).
Pesawat SQ32, yang menerbangkan 211 penumpang dan 18 anggota kru, mengalami turbulensi parah saat melintasi Samudera Hindia dan anjlok lebih dari 1.800 meter dalam tiga menit.
Menurut penelitian terbaru, turbulensi yang mematikan terhitung jarang. Namun, apakah perubahan iklim membuat turbulensi semakin berbahaya?
Apa jenis turbulensi yang dialami SQ321?
Untuk mengetahui dampak perubahan iklim pada turbulensi, kita harus memahami dulu turbulensi seperti apa yang dialami SQ321.
Turbulensi adalah fenomena pergerakan udara tidak teratur yang menimbulkan arus angin. Ketika arus ini menyerbu pesawat, maka pesawat tersebut dapat terguling, miring ke samping, atau tiba-tiba jatuh dari ketinggian.
Ada berbagai faktor yang menyebabkan pesawat mengalami turbulensi, mulai dari udara yang mengalir dari pegunungan menuju awan-awan hingga cuaca buruk.
Hingga saat ini, masih belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkan turbulensi “traumatis“ yang dialami pesawat SQ321.
Namun, berdasarkan prakiraan cuacanya, ada kemungkinan turbulensi itu timbul akibat fenomena yang disebut turbulensi “udara jernih“ (CAT) atau badai petir.
Apakah perubahan iklim mendorong turbulensi 'udara jernih'?
Turbulensi “udara jernih“ terjadi ketika ada perubahan arah angin dalam atau di sekitar arus pesawat, angin itu bagaikan sungai dengan aliran deras yang dapat ditemukan pada ketinggian 30.000-60.000 kaki.
Tahun lalu, para ilmuwan dari Universitas Reading menemukan turbulensi “udara jernih“ telah meningkat 55% dalam rentan waktu 1979 hingga 2020 di Atlantik Utara.
Jenis turbulensi ini sangat sulit untuk dinavigasi oleh pilot.
Meskipun lembaga meteorologi menyiarkan peringatan potensi turbulensi, terkadang pertanda itu tidak terdeteksi oleh radar pesawat atau terlihat oleh pilot.
Profesor Paul Williams, ilmuwan atmosfer dari Universitas Reading, yang ikut dalam penelitian tersebut mengatakan kepada BBC tahun lalu:
“Kita seharusnya berinvestasi dalam perbaikan sistem ramalan turbulensi dan sistem deteksi dalam beberapa dekade ke depan, untuk mencegah udara buruk bertabrakan dengan pesawat dan membuat penerbangan terganggu.“
Mengapa badai dapat menyebabkan turbulensi?
Badai yang terdiri dari guntur, petir dan hujan es hanya dapat dihasilkan oleh awan cumulonimbus.
Awan cumulonimbus dapat berada tinggi di atmosfer, jauh di atas jalur penerbangan pesawat. Sehingga, pesawat tidak bisa menghindari awan itu dengan sekadar terbang di atasnya.
Awan itu terbentuk dari udara hangat yang naik dari permukaan bumi sampai ke atmosfer. Setelah tiba di atmosfer, awan itu mendingin dan mengembun.
Di dalam awan cumulonimbus, gerakan naik-turun udara dapat mengalir dengan sangat kuat hingga menyebabkan turbulensi parah.
Awan cumulonimbus yang menghasilkan guntur memiliki aliran arus udara yang sangat kuat, mengandung muatan energi yang setara dengan 10 bom atom Hiroshima.
Prakiraan cuaca pada saat itu menunjukkan ada banyak badai petir yang terjadi di Myanmar saat pesawat Singapore Airline sedang terbang pada Selasa (21/05).
Apakah perubahan iklim memperparah badai?
Menurut laporan lembaga iklim PBB, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), terdapat bukti kuat bahwa perubahan iklim membuat badai tropis semakin intens.
Ada dua faktor di balik fenomena ini. Perubahan iklim menghangatkan laut yang kemudian menyebabkan lebih banyak air menguap. Sehingga, lebih banyak hawa panas dan cairan naik ke udara.
Di saat yang bersamaan, udara yang semakin hangat dapat mengangkut lebih banyak cairan. Ini menghasilkan angin kuat dan badai hujan yang lebih berat, yang kemudian menghasilkan turbulensi parah.
Namun, belum ada bukti jelas yang dapat menunjukkan bahwa kini badai tropis semakin sering terjadi.
Selama beberapa bulan ke depan, para penyelidik akan memeriksa data dari sistem pesawat untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi pada penerbangan Singapore Airlines.
Williams mengatakan data ini dapat "digunakan dalam penelitian ilmiah, untuk membantu memahami penyebab turbulensi dan memperbaiki sistem prediksi turbulensi". (*)
Tags : Pesawat, London, Perjalanan, Thailand, Perubahan iklim, Singapura, Alam ,