
PENDIDIKAN - Mahkamah Konstitusi (MK) mewajibkan negara menggratiskan pendidikan dasar sembilan tahun dari SD hingga SMP, termasuk sekolah swasta tertentu.
tTetapi sekolah swasta 'elite' dibolehkan memungut biaya dari siswa. Pengamat pendidikan mengingatkan sejumlah persoalan yang menanti jika pelaksanaannya tidak cermat.
Pada Selasa 27 Mei 2025, MK telah mengabulkan sebagian permohonan uji materi terkait frasa "wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya" dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Dalam putusannya, Ketua MK Suhartoyo menyebut negara—pemerintah pusat dan daerah—harus membebaskan biaya pendidikan dasar yang diselenggarakan pada satuan pendidikan SD, SMP, dan madrasah atau sederajat, baik di sekolah negeri maupun swasta.
Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menilai frasa dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas yang secara eksplisit hanya berlaku untuk sekolah negeri telah menciptakan "kesenjangan akses pendidikan dasar".
Ini terutama dirasakan siswa yang terpaksa bersekolah di swasta karena keterbatasan daya tampung sekolah negeri.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Nisa Felicia, mengingatkan bahwa negara harus menjamin kualitas sekolah swasta yang ditunjuk untuk menampung siswa-siswa yang terkena imbas keterbatasan bangku sekolah negeri.
Menurut dia, disparitas antara sekolah-sekolah swasta "cukup besar" apabila dibandingkan dengan standar sekolah negeri.
"Apakah sekolah-sekolah yang ditunjuk itu benar-benar berkualitas? Negara harus bisa menjamin kelayakannya," ujar Nisa didepan wartawan.
Nisa menyebut program Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Bersama di DKI Jakarta yang memungkinkan siswa bersekolah di sekolah swasta secara gratis dapat dijadikan contoh.
"Akan tetapi, kekuatan anggaran DKI Jakarta berbeda dengan daerah-daerah lain," ujarnya.
Meski begitu, pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Totok Amin Soefijanto, menilai hal ini seharusnya mendorong pemerintah daerah untuk "lebih kreatif" demi mendorong pendapatan mereka.
"Yang jelas, anak-anak yang harus masuk ke sekolah swasta itu harus ditanggung APBD," ujar Totok.
Bagaimana penjelasan MK tentang kewajiban pemerintah menggratiskan pendidikan SD-SMP negeri dan swasta?
Dalam pemaparannya, MK menyatakan bahwa Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 mewajibkan negara membiayai pendidikan dasar "tanpa batasan mengenai jenis sekolahnya".
"Sebagai ilustrasi, pada tahun ajaran 2023/2024, sekolah negeri di jenjang SD hanya mampu menampung sebanyak 970.145 siswa, sementara sekolah swasta menampung 173.265 siswa," ujar Hakim Enny seperti dikutip dari situs resmi MK.
"Adapun pada jenjang SMP, sekolah negeri tercatat menampung 245.977 siswa, sedangkan sekolah swasta menampung 104.525 siswa," tambahnya.
Enny menambahkan bahwa aspek penting dalam pelaksanaan ketentuan ini adalah bagaimana negara memastikan alokasi anggaran pendidikan yang efektif dan adil.
"Termasuk bagi masyarakat yang sulit mengakses sekolah negeri," kata Enny.
Apakah artinya semua sekolah swasta akan gratis?
Hakim Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa MK memahami tidak seluruh sekolah swasta dapat disamakan dalam hal pembiayaan, sebagaimana dilaporkan kantor berita Antara.
Dia merujuk sekolah swasta yang menawarkan kurikulum tambahan selain kurikulum nasional dan sekolah swasta yang selama ini tidak menerima bantuan anggaran dari pemerintah.
MK menyoroti sekolah-sekolah swasta yang menawarkan kurikulum tambahan—internasional atau keagamaan—sebagai daya jual atau ciri khas institusi pendidikan.
MK berpendapat, pilihan orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah swasta semacam itu seringkali didasari oleh preferensi terhadap kurikulum tersebut, bukan semata-mata karena kurangnya akses ke sekolah negeri.
"Dalam kasus ini, peserta didik secara sadar memahami konsekuensi pembiayaan yang lebih tinggi sesuai dengan pilihan dan motivasinya ketika memutuskan untuk mengikuti pendidikan dasar di sekolah atau madrasah tertentu," ujar Hakim Enny.
Selain itu, MK dalam keterangan resminya juga menyoroti adanya sekolah swasta yang menerima bantuan seperti BOS atau beasiswa tetapi tetap memungut biaya dari siswa.
Ada pula sekolah swasta yang sepenuhnya mengandalkan pembiayaan dari siswa karena tidak menerima atau tidak ingin menerima bantuan pemerintah.
Menurut MK, kurang tepat jika sekolah swasta yang mandiri pembiayaannya dipaksa untuk tidak memungut biaya sama sekali, mengingat keterbatasan anggaran pemerintah untuk membantu seluruh sekolah swasta.
Oleh karena itu, MK berpendapat bahwa sekolah swasta tetap boleh membiayai diri sendiri dari siswa atau sumber lain yang sah.
Namun, sekolah-sekolah ini tetap perlu memberikan kesempatan bagi siswa, terutama di daerah yang kekurangan sekolah negeri atau sekolah yang dibiayai pemerintah, melalui skema keringanan biaya tertentu.
"Terutama bagi daerah yang tidak terdapat sekolah atau madrasah yang menerima pembiayaan dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah," ucap Hakim Enny.
Apakah putusan MK ini realistis untuk dilaksanakan?
Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Nisa Felicia, menyoroti fakta bahwa sekolah swasta punya peran penting di sejumlah daerah.
Berdasarkan data Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), terdapat 241 kabupaten dan kota di Indonesia yang kekurangan daya tampung SMP negeri dan Madrasah Tsanawiyah (MTs).
Dengan kata lain, terdapat lebih dari 40% dari total 514 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia yang menghadapi masalah ini.
"Akibatnya, [anak-anak yang tidak masuk sekolah negeri karena terbatas] harus ke sekolah swasta, kan? Artinya, peran pendidikan swasta itu tidak lagi hanya sebagai pilihan pribadi," ujar Direktur Eksekutif PSKP, Nisa Felicia, Rabu (28/05).
Nisa menekankan pentingnya penjelasan lebih lanjut tentang skema pembiayaan pemerintah pada sekolah-sekolah swasta tertentu ini.
"Misalnya di madrasah, pelajaran agama bisa dipecah menjadi lima mata pelajaran terpisah. Artinya guru-gurunya lebih banyak. Nah, apakah ini juga akan ditanggung pemerintah? Kalau iya, jadinya bukan sekolah swasta lagi, melainkan sekolah yang diambil alih sama negara," ujarnya.
Di sisi lain, menurut Nisa, gagasan pendidikan gratis, khususnya di sekolah swasta, menghadirkan tantangan tersendiri terutama terkait anggaran dan kualitas. Menurut dia, jurang perbedaan antara sekolah-sekolah swasta "cukup besar" apabila dibandingkan dengan standar sekolah negeri.
"Ada sekolah swasta elit, tapi ada juga yang rendah sekali. Kalau negara membiayai siswa untuk sekolah ke situ, artinya negara menyekolahkan anak di sekolah yang kualitasnya tidak layak," ujar Nisa.
"Negara harus bisa menjamin kelayakan sekolah-sekolah yang ditunjuk."
Menurut Nisa, program Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Bersama yang sudah dijalankan di DKI Jakarta bisa menjadi contoh.
Dalam skema PPDB, pemerintah DKI Jakarta menyeleksi sekolah swasta berdasarkan kriteria tertentu, termasuk akreditasi dan hasil Asesmen Nasional. Sekolah swasta yang terpilih kemudian dibiayai oleh pemerintah untuk menampung siswa yang tidak tertampung sekolah negeri.
"Kriteria pertama [PPDB] itu adalah sekolah swasta tersebut harus berada di kelurahan yang tidak ada sekolah negerinya." ujar Nisa.
Nisa mengakui bahwa kemampuan anggaran DKI Jakarta yang cukup besar mungkin tidak bisa disandingkan dengan kemampuan sejumlah daerah.
"Di daerah-daerah lain, anggaran benar-benar terbatas sekali dan banyak yang habis untuk penggajian guru gitu Jadi kalau misalnya digratiskan sekolah swasta di daerah-daerah apakah itu realistis? Saya enggak mau bilang enggak, tapi memang berat," ujarnya.
Namun, pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Totok Amin Soefijanto, menilai hal ini seharusnya mendorong pemerintah daerah untuk "lebih kreatif" demi mendorong pendapatan mereka.
"Yang jelas, anak-anak yang harus masuk ke sekolah swasta itu harus ditanggung APBD," ujar Totok.
Di sisi lain, Totok menilai penggratisan pendidikan di sekolah swasta tertentu tetap akan menambah beban anggaran negara.
Dengan kata lain, pemerintah perlu menghitung secara cermat kemampuan fiskal dan mencari solusi pendanaan yang berkelanjutan, termasuk kemungkinan penataan ulang alokasi anggaran pendidikan yang sebesar 20% dari APBN.
"Misalnya sekolah-sekolah kedinasan mungkin sudah mulai harus berbayar," ujarnya.
Totok mengingatkan pemerintah untuk segera melaksanakan putusan MK ini—termasuk mengeluarkan aturan-aturan turunannya—supaya tidak melanggar Konstitusi.
Apa saja masalah yang mungkin muncul jika putusan MK ini tidak dijalankan dengan cermat?
Apabila pengawasannya tidak tepat, Nisa menyoroti potensi bermunculannya sekolah swasta baru yang memanfaatkan kebijakan pendidikan gratis ini tanpa fokus pada kualitas.
Nisa berharap implementasi kebijakan pendidikan gratis ini dapat tepat sasaran, memprioritaskan anak-anak yang terpaksa bersekolah di swasta karena keterbatasan sekolah negeri, dan hanya melibatkan sekolah swasta yang terjamin kualitasnya.
"Jadi intinya kita berharap sekolah swasta tuh benar-benar pilihan. Tidak yang elite sekali, tapi juga bukan yang kualitasnya rendah," ujar Nisa.
Senada, Totok mengingatkan bahwa spektrum kualitas sekolah swasta jauh lebih lebar, mulai dari yang kurang baik hingga yang sangat bagus.
Sebagai solusi, Totok menyebut unsur kualitas sekolah dimasukkan sebagai salah satu pertimbangan pembiayaan sekolah swasta gratis melalui skema Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
"Jadi, kelayakan sekolah swasta itu menjadi penentuan apakah ia bisa menjadi mitra dalam rangka upaya pemerintah memperluas akses pendidikan," jelasnya.
Sama seperti Nisa, Totok mewanti-wanti potensi munculnya sekolah swasta yang kurang berkualitas jika aspek ini tidak dijaga.
"Kalau tidak nanti, banyak sekolah swasta abal-abal yang tumbuh seperti jamur di musim hujan. Orang-orang ramai-ramai mendirikan sekolah semata-mata untuk menampung dana dari pemerintah itu," ujar Totok.
Siapa saja pihak penggugat dan apa tanggapan mereka atas putusan MK?
Permohonan uji materi ini diajukan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), sebuah LSM yang fokus ke bidang pendidikan, bersama Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum—ketiganya adalah ibu rumah tangga.
Ubaid Matraji selaku Koordinator Nasional JPPI menyebut putusan MK merupakan "kemenangan monumental" bagi hak asasi manusia atas pendidikan.
"Hari ini adalah hari bersejarah bagi pendidikan Indonesia," katanya.
Ubaid menjelaskan bahwa putusan MK ini merujuk ke sekolah swasta yang bersedia mengikuti standar pemerintah, baik dari segi pembiayaan maupun kualitas.
Lebih lanjut, Ubaid menegaskan yang lebih penting disoroti adalah agar pemerintah proaktif dalam menyediakan daya tampung yang cukup bagi para siswa.
"Katakanlah menurut data pemerintah ada 1.000 anak yang mau sekolah, tapi ternyata sekolah negeri cuma bisa mampu menampung 300. Nah, 700 bangku sisanya harus disediakan oleh pemerintah daerah dengan bekerjasama dengan sekolah swasta," ujarnya.
Meski begitu, Ubaid menekankan sekolah swasta yang ingin mempertahankan kurikulum dan pembiayaan mandiri juga berhak untuk tidak bergabung dalam skema ini.
"Putusan ini enggak bisa memaksa sekolah itu untuk program pemerintah," tutur Ubaid.
Di sisi lain, bagi sekolah swasta yang nantinya akan menjadi mitra pemerintah dalam skema ini, JPPI mendesak perlunya integrasi mereka dalam sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) online yang dikelola pemerintah.
Selain itu, JPPI juga menuntut pengawasan yang lebih ketat terhadap segala jenis pungutan di sekolah dasar, baik negeri maupun swasta.
Siapa saja pemohon uji materi dan apa alasan mereka?
Permohonan uji materi ini diajukan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), sebuah LSM yang fokus ke bidang pendidikan, bersama Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum—ketiganya adalah ibu rumah tangga.
Para pemohon mempersoalkan norma Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas terkait frasa "wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya".
Pasal lengkapnya berbunyi: "Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya."
Menurut para pemohon, frasa tersebut menimbulkan penafsiran ganda, karena implementasi pendidikan dasar tanpa biaya hanya berlaku di sekolah negeri.
Mereka mendalilkan bahwa ketentuan "wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya" selama ini hanya diterapkan di sekolah negeri, sementara sekolah swasta pada jenjang yang sama tetap mengenakan biaya.
Kondisi ini dinilai oleh pemohon telah menciptakan ketidakpastian hukum dan merupakan bentuk diskriminasi dalam pendidikan.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa "wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya" inkonstitusional secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat kecuali dimaknai sebagai "wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri maupun sekolah swasta tanpa memungut biaya".
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, mengatakan Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas bertentangan dengan UUD 1945.
"Pasal tersebut hanya konstitusional sepanjang dimaknai bahwa 'Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat'," ujar Ubaid dalam keterangannya pada Selasa (27/05).
Ubaid menyebut putusan MK merupakan "kemenangan monumental" bagi hak asasi manusia atas pendidikan.
Menurut Ubaid, MK menegaskan bahwa negara wajib hadir memastikan pendidikan dasar yang berkualitas, inklusif, dan bebas biaya bagi seluruh anak bangsa, tanpa memandang apakah sekolah tersebut diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta.
"Hari ini adalah hari bersejarah bagi pendidikan Indonesia," katanya.
Lebih lanjut, Ubaid mengatakan JPPI mendesak integrasi sekolah swasta ke dalam sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) online yang dikelola pemerintah, demi menjamin transparansi, kesetaraan akses, dan implementasi putusan MK terkait pendidikan dasar bebas biaya yang juga berlaku bagi sekolah swasta.
Selain itu, JPPI juga menuntut pengawasan yang lebih ketat terhadap segala jenis pungutan di sekolah dasar, baik negeri maupun swasta.
"Pemerintah harus segera melakukan sosialisasi masif kepada masyarakat, orang tua, dan seluruh satuan pendidikan mengenai implikasi putusan MK ini," tegasnya.
Bagaimana tanggapan pemerintah?
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah(Mendikdasmen) Abdul Mu'ti menyatakan siap membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) apabila sudah mendapatkan berkas salinan lengkap terkait putusan tersebut.
Abdul Mu'ti mengatakan pemerintah belum menerima salinan lengkap dari putusan MK.
"Kami baru akan membahas kalau sudah mendapatkan berkas salinan putusan lengkap," ujarnya seperti dilansir Antara pada Selasa (27/05).
Abdul menambahkan pihaknya sampai saat ini masih memaknai kewajiban negara untuk membiayai pendidikan dasar—baik bagi sekolah negeri maupun swasta— dengan menyesuaikan pada kemampuan fiskal pemerintah.
Dia merujuk ke Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
"Inti dari putusan [MK] itu memang menyatakan bahwa pasal di UU Sisdiknas harus dimaknai punya kewajiban untuk membiayai pendidikan dasar, bukan hanya sekolah negeri, tetapi juga sekolah/madrasah swasta. Namun, pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan fiskal pemerintah," ujarnya.
Lebih lanjut, Abdul mengatakan kementeriannya sejauh ini juga masih memahami bahwa sekolah swasta tetap diperbolehkan menarik biaya pendidikan dari masyarakat, meskipun telah ada bantuan dana dari pemerintah.
Kendati demikian, Abdul menekankan bahwa pembahasan lengkap baru akan dilakukan setelah pihaknya menerima salinan lengkap putusan MK.
BBC News Indonesia juga telah menghubungi Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Atip Latipulhayat, untuk meminta tanggapan.
Melalui pesan teks, Atip menilai "tidak ada yang baru" dari putusan MK yang dibacakan pada Selasa (27/05) tersebut.
"Pasal 34 ayat 3 secara implisit sudah menegaskan bahwa pemerintah-lah yang bertanggung jawab terhadap wajib belajar baik yg diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat atau swasta," ujar Atip pada Rabu (28/05).
"Putusan MK hanya menegaskan saja dengan menambahkan frase pada Pasal 34 ayat 2."
Agar putusan MK tersebut dapat terimplementasi, Atip mengatakan perlu ada perubahan pada UU Sisdiknas dengan ketentuan yang lebih jelas dan rinci khususnya menyangkut anggaran.
"Penggunaan anggaran pendidikan harus betul-betul fokus dan berhubungan langsung dengan penyelenggaraan pendidikan," tuturnya. (*)
Tags : siswa, siswa negeri dan swasta, siswa sekolah dasar, siswa sekolah menengah pertama, sd dan smp negeri-swasta, siswa sd dan smp negeri-swasta dapat gratis pendidikan, hak asasi, pendidikan,