STARBUCKS, beberapa tahun terakhir popularitas coffe shop dan penikmat kopi meningkat drastis. Masyarakat kota Pekanbaru juga terlihat ramai konsumsi kopi berkelas dunia ini yang pada periode tahun 2020/2021 berhasil meraih 166,35 juta kantong berukuran 60 kilogram.
"Walaupun perusahaan multinasional Amerika Serikat ini terimplikasi dengan Israel, tetapi sedikit meningkat dari tahun sebelumnya yakni sejumlah 164 juta kantong."
"Meminum kopi di Starbucks menjadi salah satu life style yang kerap dilakukan, baik oleh anak muda maupun orang tua di kota ini. Saat ini ‘ngopi’ tidak hanya sekedar untuk menikmati minumannya, verba tersebut mengalami perluasan makna seperti dijadikan ajang bersosialisasi dan menunjukkan eksistensi," kata Larshen Yunus, Ketua Dewan Pengurus Daerah [DPD] Tingkat I, Komite Nasional Pemuda Indonesia [KNPI] Provinsi Riau yang mengajak ngopi bareng di Starbucks Jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru siang itu.
Menurutnya, animo yang besar dari penikmatnya membuat industri kopi (Starbucks) menjadi ladang yang sangat prospektif sehingga berbagai perusahaan berkompetisi untuk menghasilkan minuman kopi terbaik.
Perusahaan kopi asal Seattle, Washington, Amerika Serikat ini berdiri sejak tahun 1971 dan mulai merambah pasar internasional sejak 1980-an.
Starbucks tidak hanya menjual minuman kopi, tetapi juga memperkenalkan budaya minum kopi di luar ruangan serta mengambil kesempatan di tengah komunitas yang mayoritasnya adalah pekerja.
"Kepraktisan kopi dalam kemasan yang mudah dibawa kemana saja menjadi ide Starbucks yang mudah diserap oleh konsumen karena dibalut dalam berbagai budaya pop," kata Larshen.
Starbucks di Kota Pekanbaru, ungkapnya, terus menarik masyarakat untuk mengonsumsi kopinya dengan skema kampanye Fair Trade yang menciptakan kesinambungan antara petani dan produsen kopi dengan konsumen.
"Hal itu membuat masyarakat tertarik untuk memilih membeli Starbucks dibanding merek lain yang tidak menerapkan konsep Fair Trade," kata dia.
Menurut Larshen, Fair Trade yang mereka lakukan adalah development tools yang berfungsi untuk melindungi produsen lokal di negara yang lemah.
Tujuannya adalah untuk menetapkan harga yang layak bagi petani kopi di negara berkembang agar mereka dapat meningkatkan kualitas hidupnya.
Pada tahun 2000, Starbuck mengadopsi skema CAFÉ (Coffee and Farmers Equity) yang memiliki standar dan prinsip Fair Trade.
Langkah tersebut dilakukan sebagai respon terhadap globalisasi yang membawa dampak tidak meratanya pendapatan, menawarkan iklim perdagangan yang lebih baik, serta melindungi hak-hak produsen yang seringkali terpinggirkan terutama di negara berkembang.
"Seringkali konsumen yang memutuskan untuk membeli produk Fair Trade adalah orang yang sadar akan globalisasi dan kemiskinan di negara dunia ketiga dan tergerak secara etis untuk mengubah kondisi tersebut dengan daya belinya."
"Telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa konsumen cenderung membeli produk yang mengklaim bahwa mereka peduli isu sosial dan lingkungan."
"Begitu besarnya pengaruh dari masyarakat salah satunya tercermin pada aksi yang meminta Starbucks untuk menerapkan Fair Trade," sebutnya.
Alasan tersebut sangat masuk akal, mengingat Starbucks merupakan perusahaan yang berorientasi pada konsumen.
Pada akhirnya, kata Larshen, konsep Fair Trade yang diterapkan Starbucks merupakan salah satu faktor pendukung agar masyarakat tertarik untuk mengonsumsi produk Starbucks ketimbang merek lain yang tidak melakukan upaya-upaya memperjuangkan isu sosial dan lingkungan.
Larshen berkata; salah satu faktor pendukung yang melejitkan nama Starbucks di mata konsumen adalah penggunaan konsep Fair Trade yang dapat menarik calon konsumen yang peduli akan isu-isu sosial dan lingkungan untuk mulai membeli produknya.
Jadi, kata Larshen, ini ide terbaik dan gemilang yang bisa diikuti kedai kopi lainnya . (*)
Tags : starbucks, coffeeshop, fairtrade, international, global, fairtrade, komite nasional pemuda indonesia, knpi, larshen yunus ,