INTERNASIONAL - Militer Belanda dikerahkan untuk membantu rumah sakit, unit perawatan intensif meminjam tempat tidur dari bangsal-bangsal lain, ada pula pasien-pasien yang dikirim ke Jerman untuk menerima perawatan, operasi-operasi rutin ditunda, penguncian nasional juga diberlakukan - namun negara itu tak kunjung menggelar vaksinasi massal.
Di negara yang terkenal tertata dengan baik serta memiliki layanan kesehatan dengan pendanaan yang berlimpah, suntikan pertama vaksin Covid-19 baru akan terjadi pada Rabu (06/01) - hampir satu bulan setelah Inggris. Pemerintah Belanda telah menerima kritikan pedas. Seorang mantan direktur kesehatan masyarakat, Roel Coutinho, memperingatkan bahwa strategi vaksinasi yang "memalukan" di negara itu "akan mengorbankan nyawa-nyawa orang".
Di tengah debat darurat di parlemen, politisi oposisi menyebut pendekatan yang dijalankan "kacau dan membingungkan". "Salah urus yang mencolok oleh pemerintah", demikian penilaian Tim, seorang dokter umum di Belanda. "Kami punya waktu hampir satu tahun untuk merencanakan, mengatur logistik dan memperbarui perangkat lunak. Tapi semuanya baru dimulai pada saat-saat terakhir. Memalukan," keluh Arjen Joosse, ahli onkologi asal Belanda dirilis BBC News.
Salah satu alasan utama di balik penundaan adalah sistem teknologi informasi yang perlu diperbarui untuk memungkinkan otoritas kesehatan setempat melacak janji temu dan memeriksa vaksin mana yang telah diterima setiap pasien. Penundaan sistemik sejak dimulainya pandemi merupakan ciri layanan kesehatan Belanda yang birokratis, dirancang untuk efisiensi tetapi dengan banyak elemen yang berbeda-beda sehingga membuatnya tidak fleksibel.
Covid-19 telah mengekspos kelambatan sistem itu, ketika dituntut untuk menanggapi keadaan yang berubah-ubah dengan cepat. Tim, dokter umum dari Belanda (dia menolak memberikan nama lengkapnya), mengatakan kepada saya: "Kami kekurangan komandan krisis dalam situasi yang pada dasarnya seperti perang". Alan Wouda, seorang mahasiswa berusia 23 tahun, mengatakan bahwa Belanda "dibutakan oleh nuchterheid (kesadaran) kami - terlalu keras kepala untuk mengakui bahwa kami melakukan kesalahan".
Seorang mahasiswa lain, Joelle Hibbel, bertanya "apakah memungkinkan untuk merasa bingung dan marah pada saat yang bersamaan?". "Begitulah perasaan saya tentang bagaimana pemerintah Belanda menangani pandemi secara umum dan proses vaksinasi secara khusus."
Menteri Kesehatan, Hugo de Jonge, mengatakan Belanda "memprioritaskan keselamatan", seraya menyebut beberapa negara, seperti Inggris, telah mengambil jalan pintas untuk memulai vaksinasi lebih cepat. Inggris memberikan persetujuan darurat untuk vaksin Pfizer/BioNTech, tetapi Badan Obat Eropa di bawah Uni Eropa membutuhkan waktu lebih lama untuk mengeluarkan otorisasi pemasaran bersyarat.
De Jonge sebelumnya membela upaya vaksinasi yang lambat dan menepis kritik dengan mengatakan "ini bukan kompetisi". Vaksinasi massal akan tersedia di semua 25 lokasi otoritas kesehatan lokal Belanda pada 18 Januari. Belanda sebelumnya berasumsi vaksin Oxford/AstraZeneca akan siap digunakan terlebih dahulu. Berbeda dengan Pfizer, vaksi tersebut tidak perlu disimpan pada suhu yang sangat rendah sehingga dapat lebih mudah diberikan oleh petugas medis setempat.
Namun itu berarti logistik belum tersedia untuk mendistribusikan obat Pfizer/BioNTech saat tiba di Belanda pada 27 Desember. De Jonge akhirnya mengakui pekan ini bahwa dia semestinya bisa bertindak lebih cepat. "Kami terbukti kurang gesit untuk bisa mengakomodasi perubahan," ujarnya. "Saya bisa saja meminta dewan kesehatan lebih awal untuk mempersiapkan... karena pengetahuan dan keahlian mereka dengan kampanye vaksinasi skala besar."
Dengan adanya pemilihan parlemen pada 17 Maret mendatang, beberapa partai ingin menarik perhatian para pemilih yang cemas tentang perkembangan vaksin ini. Tagar yang bermunculan seperti #ikwildieprikniet (Saya tidak ingin divaksin) dan #ikwildieprik (Saya ingin divaksin) secara rutin menjadi trending di Twitter. Warga-warga di Den Haag telah menerima kartu telepon yang dicap dengan kode QR, yang mencantumkan tautan ke propaganda anti-vaksinasi.
Kelompok aktivis seperti "Virus Truth" (Kebenaran Virus) telah melakukan protes secara rutin di luar gedung parlemen. Pemimpin dari Forum populis untuk Partai Demokrasi, Thierry Baudet, adalah salah satu skeptis yang paling berpengaruh. Dia terus mengklaim melalui Twitter bahwa Covid hampir tidak lebih buruk daripada flu biasa. Faktanya, Covid mencapai lima hingga 25 kali lipat lebih mematikan daripada infeksi flu musiman, terlepas dari mitos yang ada.
Survei Ipsos baru-baru ini terhadap 1.000 orang di Belanda menemukan keengganan untuk divaksinasi di momen-momen awal kini mulai mereda, dengan sekitar 75% orang sekarang bersedia untuk diimunisasi.
Belanda melakukan karantina wilayah yang relatif santai, atau yang disebut penguncian "cerdas", selama gelombang Covid pertama. Tetapi sekarang negara itu menghadapi rekor tingkat penularan yang tinggi dan terpaksa melakukan tindakan lebih ketat, termasuk beberapa aksi yang sebelumnya dikesampingkan. Masker wajah baru menjadi wajib di tempat umum sejak bulan lalu. "Nilailah kami dalam waktu enam bulan" adalah salah satu tanggapan atas laporan saya April lalu bahwa Belanda bermain dengan strategi berisiko tinggi. Saat vaksinasi diluncurkan, sekali lagi permintaannya adalah: jangan menilai kami dulu.
Orang Belanda pertama yang akan divaksinasi adalah Sanna Elkadiri, seorang perawat di panti jompo yang berusia 39 tahun. Sebanyak 17 dari 124 penghuni di lembaganya dilaporkan meninggal dalam waktu sebulan. Elkadiri akan menerima suntikan di Veghel, salah satu dari tiga lokasi vaksinasi akan dimulai pada hari Rabu (06/01). Kementerian Kesehatan Belanda telah menyediakan 30.000 vaksin awal untuk sekelompok petugas kesehatan terpilih. Ketika ditanya tentang penundaan tersebut, kementerian mengatakan kepada BBC bahwa mereka sedang sibuk meningkatkan sistem TI dan melatih staf pusat panggilan tentang naskah yang akan digunakan kepada orang-orang yang memesan vaksin. (*)
Tags : Pemerintah Belanda Dikritik, Strategi Vaksinasi,