"Sejak 2004, berbagai program telah dibuat untuk membersihkan Sungai Citarum dari limbah raksasa baru kemudian akan dibersihkan"
ungai Citarum yang mengalir sepanjang 270 kilometer dan melewati 701 desa ini masih belum bebas dari berbagai limbah, termasuk limbah tinja. Perilaku masyarakat sulit diubah, kata para ahli.
Een Haryani geregetan. Lurah Jatisari, Kecamatan Buah Batu, Kota Bandung ini mengaku sudah mengerahkan berbagai upaya demi mencapai status wilayahnya bebas Buang Air Besar Sembarangan (BABS) atau target 100% ODF (Open Defecation Free).
Menurut dia, tinggal 4% lagi wilayahnya ini menuju target yang diharapkan. Tapi sejauh ini, upayanya tak ada yang berhasil.
Pangkal masalahnya ada di area di sekitar rel kereta api, kata dia. Ada setidaknya 66 keluarga atau sekitar 237 jiwa yang masih membuang hajatnya ke Sungai Cibogo, anak Sungai Citarum.
Mereka sudah punya jamban sendiri, lanjut Een, tapi tidak dilengkapi dengan tangki septik. Dari jamban, kotoran dibuang melalui pipa-pipa, yang kemudian mengantarkannya ke sungai.
“Jadi melalui pipa-pipa ini, warga membuang kotorannya ke selokan. Sampai pernah ada yang jebol karena ada sedimen di pipanya,” kata Een.
Kawasan padat penduduk ini dikenal oleh warga sekitar sebagai Israel – akronim plesetan dari ‘Istana Sisi Rel’. Rumah-rumah dibangun berdempetan di atas tanah milik PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Selokan dan sungai yang melintasi kawasan itu terlihat kotor, airnya keruh, dan dari situ pula, aroma kurang sedap menguar.
“Sejauh ini belum ada solusi. Mungkin karena warganya juga merasa baik-baik saja, sehat-sehat saja, nyaman. Jadi kalau saya penyuluhan [tentang perilaku bersih dan sehat], enggak ada contoh buruknya,” ujar Een.
Seger Imam Suripto, ketua RT setempat, menyadari kalau perilaku warganya – termasuk dirinya pula – telah turut mencemari Citarum. Tapi, lanjutnya, sebagai pimpinan warga dia juga tak punya solusi.
“Habis gimana lagi,” ucapnya pasrah. Warga tak punya biaya dan lahan untuk membangun tangki septik. Kebanyakan lahan yang didiami warga ini juga bukan hak milik mereka, melainkan sewa dari PT KAI.
Sungai Citarum kembali dipenuhi sampah.
“Jadi masing-masing bikin pembuangan apa adanya,” aku Seger yang telah 22 tahun bermukim di kawasan tersebut.
Seger adalah satu dari 638 ribu lebih warga Kota Bandung yang mencemari Citarum dengan tinjanya. Per hari, menurut data Satgas Citarum Harum, ada kurang lebih 255 ton tinja dibuang ke Citarum dari Kota Bandung.
Bertahan di kategori ‘cemar ringan’
Dua tahun lalu, Ridwan Kamil memaparkan kondisi Sungai Citarum yang dikatakannya berangsur membaik di hadapan para pemimpin dunia di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) COP26 di Glasglow, Skotlandia.
Ridwan adalah Komandan Satgas Percepatan Pengendalian dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum Harum. Dalam pemaparannya, Gubernur Jawa Barat itu menjelaskan indeks kualitas air (IKA) di Citarum 50,13 poin dan masuk dalam klasifikasi ‘cemar ringan’.
Ini lebih baik dibanding kondisi di 2018 yang masuk dalam kategori ‘cemar berat’ dengan IKA 33,43 poin. Pada 2022, IKA Citarum kembali naik menjadi 51,01 poin – masih bertahan di kategori ‘cemar ringan’.
Satgas Citarum Harum hingga kini masih berupaya mencapai target utama, yakni nilai IKA sebesar 60 poin – yang berarti Citarum memiliki mutu air kelas II yang memungkinkan untuk budidaya ikan air tawar, peternakan, dan mengairi tanaman.
Target ini dicanangkan bisa tercapai pada 2025.
Sejauh ini, Satgas Citarum Harum memang telah berhasil melakukan pengawasan dan penindakan terhadap industri nakal yang membuang limbahnya ke Citarum. Di 2022, satgas melaporkan sudah ada 1240 industri yang dibina dan 700 lainnya diinventarisir.
Namun membebaskan Citarum dari limbah domestik, terutama limbah tinja, masih menjadi perkara rumit.
Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum yang panjangnya 270 kilometer, terdapat 701 desa/kelurahan. Ini mencakup 10 kota/kabupaten yang berbatasan langsung dengan aliran Sungai Citarum dan anak-anak sungainya.
Berdasarkan data Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) Kementerian Kesehatan pada 2021, sebanyak lebih dari 530 ribu kepala keluarga di desa dan kelurahan tersebut masih melakukan praktik BABS.
Itu berarti, sekitar 1,9 juta jiwa membuang sebanyak 749 ton tinja per hari ke Citarum. Kota Bandung menyumbang jumlah terbanyak.
Ketua Pelaksana Harian Sekretariat Satgas PPK DAS Citarum, Prima Mayaningtyas mengungkapkan kontribusi limbah domestik memang masih tinggi dengan prosentase pencemaran sebesar 60%.
Ia mengakui, pihaknya kesulitan mengontrol perilaku masyarakat dibanding pelaku industri yang terikat peraturan.
“Lebih mudah mengontrol industri daripada masyarakat karena masyarakat, ya itu tadi, membuang kotoran, sampah, tanpa kami bisa pegang.
“Karena mereka tidak ada izin lingkungan pemukiman sebagaimana industri yang gampang mengenakan sanksinya,” ucap Prima yang juga menjabat sebagai Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat.
Sempitnya lahan untuk tangki septik
Di Jatisari, lurah Een Haryani mengatakan sudah ada beberapa tawaran untuk mengatasi masalah sanitasi buruk ini. Membangun tanki septik komunal, misalnya, pernah ditawarkan oleh Universitas Islam Bandung.
Tapi tawaran ini belum terwujud hingga kini karena terganjal status lahan yang dimiliki oleh PT KAI.
“Saya bersurat ke PT KAI, tapi tidak diizinkan. Saya sudah ngobrol dengan kecamatan dan satgas ODF Kota Bandung, minta solusi. Ternyata mereka juga tidak bisa apa-apa,” kata Een.
Masalah ketiadaan lahan untuk keperluan sanitasi ini juga terjadi di Cimahi, yang setiap hari membuang 45 ton tinja dari sekitar 144 ribu jiwa warganya.
Kota Bandung dan Cimahi termasuk wilayah yang paling tinggi tingkat pencemaran limbah tinjanya, setelah Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung menyatakan bebas BABS pada 2020 dan 2021.
“Kesulitan Kota Bandung dan Cimahi sama, lahan sempit tipe orang kota. Cimahi banyak lahan yang dimiliki TNI,” kata Annisa Nurfitri, Analis Infrastruktur Dinas Perumahan dan Permukiman (Disperkim) Provinsi Jawa Barat seperti dirilis BBC News Indonesia.
“Sudah padat, mau di mana lagi?” ujarnya ketika ditemui di Bandung, November lalu.
Annisa mengatakan, sebetulnya sempitnya lahan ini bisa disiasati dengan membangun tangki septik yang disesuaikan kondisi lahan.
“Bikin tangki septik di bawah ruang tamu, ada juga yang di bawah jalan. Itu salah satu alternatif,” tukas dia, menyebut bahwa teknologi tangki septik kini sudah lebih baik.
Tapi yang lebih rumit dari masalah sempitnya lahan untuk menyelesaikan masalah limbah tinja ini, tambah Annisa, adalah mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat.
Kesadaran terhadap limbah cair, sebutnya, masih lebih rendah dibanding limbah lain seperti sampah dan limbah tekstil.
“Sampah tidak diangkut akan menumpuk dan bau, sehingga warga terdorong mengatasi masalahnya. Kalau limbah tinja ini, ketika kita siram hilang. Ya sudah,” kata dia.
Perubahan perilaku ini yang masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi Satgas Citarum Harum Jawa Barat. Penyelesaiannya bisa butuh waktu berbulan-bulan dan melibatkan multisektor, sebut Annisa.
“Harus ada kolaborasi dari sektor kesehatan, untuk mengedukasi.”
Harus ada kolaborasi dari sektor kesehatan untuk mengedukasi sampah.
Takdir Nurmadi, Tenaga Ahli Air Limbah Domestik, Disperkim Jabar menambahkan, proses Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung mencapai bebas BABS juga butuh waktu cukup lama.
“Karena kebiasaan juga, mereka masih diujicoba dalam tiga atau enam bulan. Jangan-jangan mereka balik lagi ke kebiasaan lama. Walaupun sudah dibangunkan jamban baru, belum tentu dia nyaman,” tukas Takdir.
“Kalau menemukan tetangganya yang begitu [BABS] ditegur dengan baik-baik.”
Beban pencemaran Citarum dari limbah tinja
Ada sejumlah parameter untuk menghitung beban pencemaran yang dihasilkan dari limbah domestik, antara lain Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), Total Suspended Solid (TSS), serta Fecal Coli, yaitu bakteri tinja yang menjadi indikator pencemaran limbah tinja.
Hasil analisa Pokja Limbah Domestik Satgas Citarum Harum, beban pencemaran dari air limbah domestik yang masuk ke Sungai Citarum dari perilaku BABS pada 2019 adalah 94.084 kg BOD/hari, 129.365 kg COD/hari, dan 89.380 kg TSS/hari.
Sedangkan, Fecal Coli memiliki baku mutu 1000 Jml/mL, standar yang dibolehkan di mutu air kelas II.
Salmonela dan bakteri-bakteri penyakit bawaan tinja lainnya juga berpotensi ada di aliran Citarum, tapi menurut Susiani Susanti, Tim Ahli Satgas PPK Citarum Harum, “Tidak semua bakteri kita hitung.”
Lebih lanjut Susi mamaparkan, kandungan E-coli di Citarum memegang kunci penilaian IKA. Kandungan E-coli tidak hanya ada di feses manusia, namun juga hewan. Di sepanjang Citarum, diketahui ada beberapa titik peternakan rakyat yang membuang feses ternak ke sungai.
“Kalau peternakannya perusahaan besar, mereka sudah punya IPAL [Instalasi Pengolahan Air Limbah]. Nah yang berat ini, peternakan rakyat yang masih tersebar. Pengelolanya juga susah diarahkan,” kata Susi.
Pada 2018, sebelum program Citarum Harum digulirkan, banyak titik di sepanjang Citarum berwarna merah, yang berarti hampir semua parameter IKA di atas baku mutu, mengutip laporan Spot Bermasalah Sanitasi Pengelolaan Air Limbah Domestik DAS Citarum yang ditulis Susiani pada Mei 2020.
Salah satu contohnya, di Nanjung yang berada di perbatasan Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, dan Kota Cimahi. Saat pengambilan sampel pada September 2018, seluruh parameter kecuali TSS, jauh melampaui ambang batas.
“Nanjung itu daerah industri, kawasan padat penduduk, dan sebagainya. Tumbuh industri, tumbuh kawasan pemukiman padat,” kata Susi.
Nanjung juga menjadi titik pertemuan anak Sungai Citarum, Sungai Cimahi, juga akhir dari semua sungai-sungai industri di Kabupaten Bandung, sebelum masuk ke Saguling, beber pakar lingkungan lulusan ITB ini.
Di 2022, pemantauan di 268 titik sepanjang Citarum, mayoritas masuk kategori “tercemar ringan”. Namun masih ada pula lokasi yang memiliki kandungan Fecal Coli tinggi, di atas 1000 Jml/mL – mulai dari ribuan hingga ratusan ribu.
“Ini artinya potensi banyak bakteri patogen dan potensi penyakit bawaan airnya tinggi,” jelas Susiani.
Penyakit bawaan air antara lain diare, tipes, dan penyakit kulit. Air limbah domestik juga berpengaruh pada kasus stunting dan menurunnya produktifitas.
Selain itu, zat organik yang terkandung dalam limbah domestik, kata Susi, bisa menurunkan kemampuan air sungai untuk pemulihan diri sendiri.
“Zat organik yang berlebihan akan diuraikan oleh mikroorganisme di sungai. Ketika bakteri airnya sudah habis karena suplai oksigen dari sungai kurang, maka yang akan mengeksekusi itu bakteri anaerob. Bakteri anaerob itu produk akhirnya itu gas, bau, kemudian hitam.
“Jadi, selain kesehatan, secara estetika juga terganggu, bau dan warna,” papar Susiani.
Dari ‘Citarum Bergetar’ hingga ‘Citarum Harum’
Citarum adalah sungai purba yang menjadi urat nadi bagi kurang lebih 18 juta penduduk, tidak hanya di Jawa Barat namun hingga ke Ibu kota Jakarta.
Air dari Citarum telah dimanfaatkan untuk pengairan pertanian, perikanan, sumber air baku, pemasok untuk kegiatan industri, dan pembangkit listrik tenaga air untuk Pulau Jawa dan Bali.
Dengan perannya yang vital ini, membersihkan Citarum dari pencemaran menjadi tugas penting pemerintah.
Namun warga dan aktivis lingkungan yang tergabung dalam Aliansi Rakyat untuk Citarum (ARUM) menilai hingga kini, Citarum belum mengalami perubahan berarti.
Wahyudin Iwank dari Walhi Jawa Barat yang tergabung dalam aliansi tersebut mempertanyakan keberhasilan berbagai program untuk membersihkan sungai ini: Citarum Bergetar (2004) dan Citarum Bestari (2014) oleh pemerintah daerah, hingga Citarum Harum (2018) yang penanganannya kemudian diambil alih pemerintah pusat.
“Kondisi Sungai Citarum saat ini masih belum pulih, terlepas dari program apapun,” kata Wahyudin, yang mengatakan perlu adanya evaluasi secara komprehensif dari semua program yang “selama ini tidak sedikit menghabiskan uang”.
Pada 2018, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden No.15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum.
Peraturan tersebut direspon Gubernur Jawa Barat dengan mengeluarkan Pergub tentang Rencana Aksi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum tahun 2019-2025.
Citarum Harum meluncurkan apa yang disebut Ridwan Kamil sebagai ‘jurus baru’ bernama pentahelix, yakni kolaborasi lima unsur academician, business, community, government, dan media. Dalam pelaksanaannya, Citarum Harum melibatkan pula unsur TNI dan Polri.
Namun, menurut Wahyudin, jurus baru itu masih gagal dalam hal mengedukasi masyarakat.
“Pentahelix belum mampu memunculkan perilaku kesadaran masyarakat supaya tinja ini tidak masuk ke sungai, baik di anak sungai, maupun juga langsung ke Citarum,” katanya.
Di sisi lain, Ketua Pelaksana Harian Sekretariat Satgas PPK DAS Citarum, Prima Mayaningtyas meminta semua pihak bekerja sama, seperti konsep pentahelix, alih-alih saling menyalahkan.
“Susah kalau kami bilang [salah] ke masyarakat. Pemerintah juga disalahkan kenapa sarana prasarananya enggak dibuat.
“Tapi saya rasa, di dalam pengelolaan Citarum itu tidak pakai kata saling menyalahkan karena semua orang punya kontribusi yang sangat besar, semua orang berpotensi mencemari,” tandasnya.
Citarum Harum memiliki 11 program di 2023. Salah satunya, penanganan limbah cair domestik yang ditargetkan tersedianya 100% akses sanitasi layak pada 2025, kemudian dilanjutkan dengan 100% sanitasi aman pada 2030.
Target ini juga mengacu pada Sustainable Development Goals (SDGs) di mana setiap negara dapat mewujudkan 100% akses sanitasi aman bagi penduduknya pada 2030.
Tidak berhenti dengan punya tangki septik
Kesadaran masyarakat dalam mengurangi limbah tinja juga didorong oleh Tim Pokja Limbah Domestik. Annisa, salah satu anggota tim, meminta masyarakat untuk lebih peduli.
Bisa diawali dengan memeriksa saluran pembuangan feses dan tangki septik pribadinya secara berkala, tiga atau lima tahun sekali, kata dia.
“Kalau sudah tiga sampai lima tahun ke belakang belum pernah disedot tinja harus curiga apakah rembes tangki septiknya.
“Masyarakat sendiri masih banyak yang belum tahu bahwa punya tangki septik saja belum selesai. Jadi harus rutin disedot, kecuali kalau sudah tersambung ke IPAL di Bojong Soang, jadi pelanggan,” terang Annisa.
IPAL Bojong Soang yang dimiliki PDAM Tirtawening Kota Bandung ini menangani limbah domestik di kawasan Cekungan Bandung wilayah Barat dan Selatan Kota Bandung.
Sekitar 100 ribu rumah atau setara dengan 500 ribu jiwa telah tersambung ke IPAL yang memiliki kapasitas pengolahan lebih dari 80 ribu meter kubik per hari.
“Sanitasi layak itu tangki septiknya kedap, tidak rembes. Jadi hanya di satu titik itu, tidak rembes ke mana-mana. Tidak rembes pun harus diolah lumpurnya. Disedot, diolah lagi sampai kumannya mati,” jelas Takdir yang bertugas di Pokja Limbah Domestik Satgas PPK DAS Citarum.
Data tahun SMART STBM 2021 menunjukkan sekitar 520 ribu KK masih melakukan BABS. Sementara pemerintah baru merealisasikan pembangunan akses sanitasi bagi 255.769 KK di 2022.
Capaian itu, menurut Annisa, berdasarkan pembangunan infrastruktur yang sumber dananya dari anggaran pemerintah.
“Memang tidak akan bisa [kalau hanya] dari APBN dan APBD. Selain dari swadaya masyarakat, kami juga membuka peluang pendanaan lain,” kata dia menyebut program CSR dari perusahaan adalah salah satunya.
“Kalau ada masyarakat yang pengin punya tangki septik tapi tidak punya dana, kami arahkan untuk membuat proposal. Nanti kami bantu salurkan. Kalau misalkan di pemerintah belum ada dananya, kami bantu salurkan ke CSR,” tutur Annisa.
Annisa menambahkan, jika warga Kota Bandung bisa terlayani akses sanitasi layak dan aman sehingga bisa 100% ODF, maka ini akan signifikan dalam mengurangi volume tinja yang dibuang ke Citarum sebesar 22,5%.
“Seperti Kabupaten Bandung yang sudah bebas BABS, dari 127 ribu KK yang BABS, langsung nol,” sebut Annisa.
Jokowi janji bersihkan sungai Citarum
Beberapa bulan setelah film dokumenter tentang sungai Citarum beredar luas, Presiden Jokowi berjanji untuk membersihkan sungai Citarum yang tercemar. Harus berbenah setelah menunggu kritikan dari masyarakat?
Gary dan Sam Bencheghib, dua kakak beradik warga Perancis, mendayung sampannya yang terbuat dari botol plastik bekas, di tengah sampah yang dibuang di sungai Citarum, pertengahan tahun lalu.
"Kami melihat dari dekat betapa kotor dan tercemarnya sungai itu dan merekamnya dalam film dokumeter, dengan tujuan untuk mengkampanyekan bahwa air adalah sumber kehidupan," kata Gary (23 tahun).
Presiden Joko Widodo menanggapi video tersebut dengan menjanjikan bahwa Citarum akan bersih dalam tujuh tahun.
"Gary, nanti kamu akan lihat bahwa dalam tujuh tahun Citarum akan menjadi sungai paling bersih," kata Presiden Joko Widodo dalam video yang diunggah oleh Make A Change World, halaman Facebook milik Gary dan adiknya, Sam.
Juru Bicara Presiden Johan Budi SP membantah anggapan bahwa pemerintah baru bertindak setelah ada video viral dari Gary dan Sam.
"Itu awal-awal, kebetulan ada momen itu yang viral, tapi sebelumnya memang pemerintah sudah lama berencana dan ini melibatkan banyak pihak," kata Johan kepada BBC Indonesia, 1 Maret 2018.
Pada 22 Februari lalu, Presiden Jokowi meresmikan dimulainya program Penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum di hulu Citarum, Situ Cisanti.
Gary pun diundang dalam acara tersebut dan diajak membuat vlog bersama Presiden. "Bersatu padu kita membersihkan Citarum. Kita berusaha secepat mungkin bisa bersih dan semoga dalam tujuh tahun ke depan sudah bisa jadi sumber air minum," kata Joko Widodo melalui akun Twitter resminya, 22 Februari.
Sungai Citarum sudah bertahun-tahun masuk dalam daftar sungai paling kotor di dunia. Walhi Jawa Barat yang diwawancarai BBC tahun lalu menjelaskan bahwa Citarum tak hanya kotor, tapi beracun karena sarat kandungan logam berbahaya dari limbah industri.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada 2017 mencatat adanya 370 perusahaan di Bandung Raya yang mencemari Sungai Citarum.
Menurut Gary Bencheghib, keberhasilan karya dokumenternya mendapat tanggapan dari pemerintah Indonesia tidak terlepas dari hasil kerja keras dalam membangun jaringan dan mitra.
Gary dan Sam menghabiskan dua minggu untuk menyusuri sebagian Sungai Citarum, hingga 60 kilometer.
Pada bulan Agustus 2017, Gary menggunggah video Citarum pertamanya di akun Facebook Make A Change World. Seri #plasticbottleCitarum terdiri atas 9 video. Video yang paling populer, episode 4, telah disaksikan 800 ribu kali, dan dibagikan 13 ribu kali.
Make A Change World adalah media tempat Gary dan saudara-saudara berkarya membuat video bertema lingkungan sejak 1,5 tahun yang lalu.
Sebenarnya video soal Citarum bukanlah video yang paling populer di channel Make A Change World. Video mereka tentang musisi Bali yang membuat musik dari bambu, telah disaksikan 4,5 juta kali.
September 2017, sebulan setelah video pertama Gary ditayangkan, pemerintah Indonesia memberikan tanggapan. Saat itu Direktur pengelolaan sampah Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Sudirman, berjanji akan membuat roadmap untuk berkoordinasi dengan 13 wilayah di sekitar sungai.
"Setelah melihat film itu saya sudah bikin rencana tanggap darurat untuk penanganan sampah Citarum," kata Sudirman dalam video yang ditayangkan oleh Make A Change World.
"Kami senang sekali mendapatkan respon yang sangat positif dari pemerintah," kata Gary. Dia mengaku tak pernah menyangka bahwa film dokumenter buatannya akan menimbulkan efek domino yang sedemikian besar.
Strategi mereka adalah dengan membangun jaringan internasional dan media. "Kami bicara dengan jaringan kami di Bandung, dan dari situ kami dikenalkan ke Mayor Jenderal Doni Monardo (Pangdam Siliwangi), dari situ kami bicara dengan Pak Teten Masduki, lalu akhirnya bertemu dengan Presiden di titik nol Citarum," kata dia.
"Kami mencari ide yang unik dan mengeksplorasi kemungkinan angle yang bisa dilakukan untuk menceritakannya," kata Gary yang memang fokus pada isu polusi, air dan sampah plastik.
Dia mengaku tidak melakukan strategi marketing apapun pada akun-akun media sosial Make A Change World. "Semua organik, kami hanya membangun momentum dan menciptakan percakapan dari situ," kata dia.
Gary menyebutkan bahwa untuk membuat seri video tersebut dia mendapatkan pendanaan dari beberapa pihak swasta. "Tapi tidak banyak, itu hanya untuk biaya transportasi saja, selebihnya kami bayar sendiri," kata Gary.
Pria 23 tahun itu berjanji akan terus memantau jalannya proses pembersihan Citarum. Dia percaya bahwa Citarum akan bisa kembali menjadi sungai yang bersih jika semua pihak berkomitmen dan ikut serta dalam usaha pembersihan sungai itu.
"Tahun ini kami masih punya misi selanjutnya di wilayah Indonesia yang lain," kata dia.
Apa komentar pembuat film dokumenter?
Jurnalis dan pembuat film dokumenter Dandhy Laksono mengaku ikut senang dengan respon cepat pemerintah menanggapi film dokumenter tersebut.
"Saya senang kalau pemerintah aspiratif terhadap masukan dalam bentuk apapun dan dari siapapun. Apalagi respon untuk film dokumenter yang menunjukkan bahwa dokumenter juga bisa punya pengaruh," kata Dandhy.
Dandhy dan rumah produksi yang didirikannya, WatchDog, telah membuat banyak film dokumenter mengenai permasalahan sosial yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia.
Indonesia gandeng Jepang bersihkan sungai Citarum yang penuh sampah.
Film-film mereka juga kerap kali mendapatkan tanggapan dari pemerintah. "Tapi tanggapannya lucu-lucu," kata Dandhy.
Dia mencontohkan film Di Belakang Hotel yang diproduksi tahun 2014 mengenai kaitan industri pariwisata massal dan hilangnya akses warga terhadap air tanah.
Sultan Hamengkubuwono IX pun menonton film tersebut. "Setelah warga banyak menonton dan dibicarakan ramai, beliau mengatakan bahwa saya baru tahu nih dampak properti seperti ini," kata dia.
Meski Sultan sudah menonton, hingga kini Dendhy tidak melihat ada kebijakan yang dibuat untuk melindungi akses warga sekitar terhadap tanah atau air tanah
Contoh kedua adalah pada film Samin vs Semen. "Gubernur Jawa Tengah bereaksi negatif dan mengatakan bahwa film ini kampanye negatif yang tidak mewakili suara orang-orang Samin," kata Dandhy.
Menurutnya, klaim Gubernur Ganjar tidak bisa dibuktikan. Film ini sudah banyak diapresiasi oleh warga dan dilihat di kampus-kampus.
"Bagi saya itu sudah pencapaian yang paling besar, meski tak satupun film itu menang festival dan mendapatkan penghargaan internasional, tidak sukses secara komersial," ujarnya.
Jika Gary sengaja memilih isu spesifik seperti Sungai Citarum, Dandhy mengaku memang sengaja mengangkat isu-isu besar yang penuh risiko politik.
"Menghentikan reklamasi di Teluk Jakarta atau Benoa 'kan risikonya besar untuk Presiden. Juga menghentikan pabrik semen yang sudah berinvestasi Rp 5 triliun, risikonya besar," kata dia.
Respon dari pemerintah hanya dianggapnya sebagai bonus. "Tujuan utama kami adalah bagaimana menguatkan kesadaran masyarakat. Saya membayangkan saya membayangkan film itu ditonton petani-petani lain yang menghadapi konflik serupa dan didiskusikan sehingga mereka punya kesadaran tentang pentingnya mempertahankan tanah," kata Dandhy.
Menurutnya dengan kesadaran yang terbangun di banyak tempat maka persoalan bisa selesai di banyak tempat pula.
"Misalnya kita menyelamatkan Citarum, ini positif. Tapi bagaimana Mahakam? Barito? Musi? Apakah ada perubahan paradigma dalam mengatasi masalah sampah?" kata dia.
Menurutnya yang terpenting untuk dilakukan adalah membangun kesadaran masyarakat dalam jangka panjang, siapapun presidennya. (*)
Tags : sungai citarum, lima tahun sungai citarum diserang limbah, sungai citarum jadi kakus raksasa, sungai citarum akan dibersihkan,