PENGALAMAN tinggal di Daerah Istimewa Yogyakarta membuat Taiki Miyazaki menyukai tempe dan tergerak untuk belajar membuat tempe. Kini, di Jepang, pria berusia 27 tahun itu membuat tempe sebagai upaya membantu lansia dan melestarikan kedelai lokal daerah tempat tinggalnya.
Siang itu kesibukan tampak di dapur Restoran Huckleberry di Kota Sagamihara, Prefektur Kanagawa.
Sekilas, tempat makan tersebut terlihat layaknya restoran biasa di Jepang. Namun, keunikan baru diketahui ketika pengunjung mencermati menu di restoran milik keluarga Taiki Miyazaki itu: ada tempe kari, tempe untuk pasta, hingga tempe goreng dengan baluran tepung atau dikenal dengan sebutan tempe katsu.
Taiki Miyazaki mengaku dirinya memang sengaja ingin memperkenalkan tempe khas Indonesia yang dimasak dengan menu khas Jepang.
Untuk bisa mencapai hal itu, dirinya dibantu ibunya, Chieko Miyazaki, dalam meracik tempe menjadi masakan Jepang.
Wartawan Sri Lestari, yang bermukim di Jepang dan melaporkan untuk BBC News Indonesia, memesan kari Jepang dengan tempe katsu. Selang 15 menit kemudian, hidangan tersebut siap disajikan.
Menurut Miyazaki, sejumlah sajian dari tempe itu digemari oleh pengunjung restoran yang vegetarian. Ia mengatakan para pengunjung tak menyangka ketika diberitahu tempe itu dibuat dari fermentasi kedelai.
"Saya pernah bicara dengan pelanggan dan mereka kaget itu terbuat dari kedelai yang difermentasi, mereka mengatakan rasanya enak," kata Miyazaki.
Hadiah Indonesia untuk dunia, perjalanan panjang dan sulit bisnis tempe, ‘makanan luar biasa’ di mancanegara
Tempe rambah pasar Eropa melalui inovasi siap saji kreasi anak-anak muda
Awal mula berkenalan dengan tempe
Taiki Miyazaki mengenal tempe di Indonesia setelah beberapa kali berkunjung dalam kurun waktu 2015-2018.
Pertama kali datang ke Indonesia, Taiki masih berstatus mahasiswa di Universitas Kokushikan di Setagaya, Tokyo. Kemudian, ia mengikuti program pertukaran pelajar dan berkesempatan kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) selama setahun. Di Yogyakarta itulah ia memakan tempe hampir setiap hari.
Dalam program pertukaran pelajar tersebut, ia belajar bagaimana mengatasi beragam masalah sosial di masyarakat.
Sekembalinya di Jepang, dia bergabung dengan sebuah kelompok lokal yang memfokuskan diri untuk menangani masalah sosial dan lingkungan di daerahnya.
Ia tergerak untuk terlibat dalam upaya melestarikan pangan lokal yang dikenal dengan kedelai tsukui. Jenis kedelai itu karena kalah pamor dengan kedelai impor, sehingga petani mulai enggan menanamnya.
Gagasan membuat tempe sendiri
Miyazaki lantas memiliki gagasan untuk membuat tempe dengan kedelai tsukui. Ia lalu kembali ke Indonesia untuk mempelajari cara membuat tempe, salah satunya di Rumah Tempe Indonesia.
Pada 2018, Miyazaki mulai mencoba memproduksi tempe di Jepang. Namun, cuaca di Jepang yang memiliki empat musim membuatnya sulit untuk membuat tempe.
"Kira-kira dua tahun pertama saya gagal terus karena cuaca. Di sini ada empat musim, ada musim gugur, musim panas, musim dingin, musim semi. Dua tahun saya gagal terus tetapi saya uji coba terus," jelasnya.
Ia kemudian membuat tempat khusus pembuatan tempe yang terletak di belakang restoran. Suhu dan kelembapan di ruangan itu pun diatur.
"Pembuatan tempe di mana-mana itu sama, tetapi ruangan fermentasinya yang berbeda," paparnya sambil memperlihatkan ruangan tersebut.
Siang itu, dibantu adiknya, Raita Miyazaki, ia membuat sejumlah kemasan tempe untuk stok restoran. Selain untuk stok restoran, tempe-tempe dalam bentuk kemasan kecil dan siap santap juga dipasarkan di sebuah tempat yang menjual produk-produk lokal daerah itu.
Menanam kedelai sendiri
Miyazaki juga mulai menanam kedelai tsukui sekitar awal tahun 2020 lalu di lahan yang disewanya. Kini, ia sudah memiliki lahan sendiri untuk menanam kedelai tersebut secara organik.
Menurutnya, kedelai lokal daerahnya memiliki rasa dan bentuk yang khas.
"Kedelai tsukui itu sedikit besar dan (rasanya) sedikit manis jadi hasil tempenya itu sedikit manis. Kedelainya sedikit besar dan rasanya sedikit manis."
Memproduksi tempe untuk membantu lansia
Selain ingin melestarikan kedelai lokal, Miyazaki juga memiliki alasan lain di balik produksi tempe, yaitu membantu para orang lanjut usia (lansia) di daerahnya.
Menurutnya, tempe sangat cocok untuk dikonsumsi lansia sebagai protein. Teksturnya yang lembut membuatnya mudah dikunyah dan kedelai yang difermentasi itu mudah dicerna oleh tubuh.
"Ada target saya ingin menyelesaikan masalah sosial dan lingkungan yang ada di daerah saya. Di Jepang kan banyak orang berusia lanjut dan mereka itu kurang (kuat) ototnya jadi mereka kurang bisa beraktivitas dengan baik. Lalu bagaimana caranya supaya sehat, harus banyak makan protein. Tempe itu kan dari kedelai fermentasi ya jadi gampang dicerna oleh tubuh. Jadi orang tua berusia lanjut lebih sehat," tuturnya.
Orang Jepang memiliki tingkat harapan hidup yang tinggi. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi pada 2022, jumlah lansia orang berusia 75 tahun ke atas sebanyak 19,3 juta jiwa dan yang berusia 65 tahun ke atas 36,2 juta jiwa.
Namun, niat untuk menawarkan tempe buatannya sebagai asupan protein lansia di fasilitas penitipan lansia terkendala pandemi.
"Selama pandemi itu tidak boleh masuk tempat perawatan lansia. Jadi sekarang itu dibuat seperti ini sudah tempe katsu kemasan. Ini juga sudah dijual dulu di pasaran lokal."
Selama pandemi Miyazaki memasarkan tempe secara online melalui akun mendia sosial. Situasi kembali normal setelah tiga tahun pandemi virus corona.
Miyazaki mengatakan akan melanjutkan upayanya untuk memperkenalkan produk tempe untuk lansia agar mereka mendapatkan asupan protein yang cukup. (*)
Tags : taiki miyazaki, orang jepang menyukai tempe, orang jepang buat tempe, buat tempe pakai kedelai lokal,