SULAWESI UTARA - Kelompok masyarakat sipil kembali menyoroti apa yang disebutnya sebagai aktivitas pertambangan di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, setelah ada putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kontrak karya PT Tambang Mas Sanghie (TMS) setahun lalu.
Save Sangihe Island (SSI) dan sejumlah warga mengatakan pascaputusan tersebut, aktvitas pertambangan justru semakin luas dan hilir mudik alat berat dipertontonkan secara gamblang.
Pemerintah setempat mengakui kebenaran informasi ini dan mengatakan akan melakukan "koordinasi pimpinan daerah”.
Sementara itu, PT TMS membantah terlibat dalam aktivitas pertambangan yang terjadi di Pulau Sangihe.
Sejumlah video dan foto yang menunjukkan alat berat pengeruk tanah di jalan-jalan Pulau Sangihe.
Selain eskavator, terdapat juga truk yang menggilas jalan di antara tumpukan karung material yang diduga akan dijadikan bahan untuk mengekstrasi emas.
Video lain menunjukkan adanya aktivitas penggalian di sebuah bukit gundul.
"Penegakan hukum di Sangihe itu tidak berjalan,“ kata aktivis lingkungan dari Save Sangihe Island (SSI), Jull Takaliuang seperti dirilis BBC News Indonesia.
Video dan foto ini diambil pada November 2023*. Namun, menurut Jull, operasi penambangan di pulau seluas 73.000 hektare atau setara dengan negara Singapura semakin masif.
Aktivitas ini juga telah mencemari lingkungan, karena proses ekstrasi emas menggunakan bahan-bahan kimia.
"Itu benar-benar sangat masif merusak lingkungan, dan menggunakan sianida yang besar. Lalu, juga semen, dan bahan kimia lainnya yang dicampur untuk memisahkan emas dari material lain,“ tambah Jull seraya mendesak aparat penegak hukum dan pemerintah setempat segera mengambil tindakan.
Elbi Pieter, 55 tahun, adalah warga Pulau Sangihe. Ia mengaku hampir setiap hari melihat alat berat masuk untuk membongkar pepohonan dan menggali tanah bukit. Skalanya menyebar semakin luas.
“Dan sekarang bukan hanya di Kampung Bowone, tapi sudah melebar sayapnya. Ada di Kupa, Kuring, lebih jauh lagi ke bawah. Itu berarti pemerintah kita ngapain hanya melihat-lihat? Tidak ada gunanya mereka,” kata Elbi.
Elbi, juga banyak warga di Pulau Sangihe sejauh ini bersandar pada putusan Mahkamah Agung (MA) pada 12 Januari 2023 silam.
Dalam putusannya, MA menolak kasasi yang diajukan Menteri ESDM dan PT TMS terkait Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi PT TMS.
Dalam kontrak karya itu dijelaskan PT TMS berhak mengeksploitasi emas dan tembaga di enam kecamatan yang terbagi menjadi 80 kampung selama 33 tahun ke depan, dengan wilayah kontrak karya seluas 42.000 hektare atau sekitar setengah pulau.
Butuh waktu sekitar delapan bulan setelah putusan MA ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru mencabut kontrak karya tersebut, tepatnya 8 September 2023.
Dengan demikian, Pulau Sangihe harus bebas dari segala bentuk eksplorasi penambangan, sehingga aktivitas penambangan yang ditemukan adalah ilegal. Namun, di lapangan skala pertambangan emas justru makin meluas.
“Apa yang harus kami lakukan sebenarnya untuk menghentikan pertambangan ini, dampaknya sangat besar di laut,” jelas Elbi.
Seorang nelayan di Pulau Sangihe, Desmon Sondak tinggal di Kampung Bulo yang batas kampungnya hanya berjarak 500 meter dari lokasi pertambangan. Ia mengatakan sebagian pesisir di dekat kampungnya itu sudah rusak karena dialiri limbah tambang emas.
Padahal, kata Desmon, dulunya lokasi tersebut masih menjadi area andalan bagi nelayan setempat mencari tangkapan laut.
“Kasat mata itu kan, airnya dulunya jernih sekarang sudah keruh. Tidak pernah jernih. Itu dampak sedimen langsung dari daerah tambang. Dia kan langsung ke laut. Limbahnya langsung ke laut,” katanya.
Sekarang, warga sekitar juga tidak lagi mengonsumsi hasil laut dari wilayah pesisir tersebut karena khawatir tercemar logam berat.
Penduduk Kampung Bulo yang mayoritas bekerja sebagai nelayan juga harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli bahan bakar solar demi mencari tangkapan bebas limbah.
“Jadi dari jarak sebelumnya yang tidak pakai ongkos tinggi, tapi apa boleh buat sekarang mereka lebih jauh lagi mencari ikan. Otomatis operasional yang dilakukan aktivitas nelayan itu semakin tinggi,” kata Desmon.
Menurut koalisi LSM dari Save Sangihe Island (SSI), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), dan Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga keberadaan perusahaan lokal yang menambang secara besar-besaran di Pulau Sangihe.
Aktivis lingkungan dari SSI, Alfred Pontolondo, menengarai terdapat dua perusahaan lokal melakukan kontrak kerjasama dengan PT TMS.
"Mereka melakukan kerjasama itu diumumkan dirilis resmi PT TMS di website Baru Gold Corp. Ini jadi melanggar aturan, melanggar hukum, karena tanpa IUP (Izin Usaha Pertambangan) mereka melakukan kerja sama,“ kata Alfred.
Berdasarkan rilis Gold Corp, dalam kontraknya, kedua perusahaan kontraktor ini bertanggung jawab atas semua biaya operasional, produksi dan perbaikan lokasi. Kontraktor akan menerima 65% dari total penerimaan kotor dari penjualan emas yang diperoleh, sementara PT TMS akan menerima 35% dari total penerimaan kotor penjualan emas yang diperoleh.
Bagaimanapun, menurut Alfred praktik penambangan ilegal dilakukan secara besar-besaran dengan mengerahkan puluhan eskavator di beberapa titik penambangan, termasuk bahan kimia untuk mengekstrasi emasi.
"Ribuan galon sianida sudah terpakai di situ. Belum kapur, belum ribuan sak semen,“ katanya.
PT TMS yang diwakili Presiden Direktur, Terrence Kirk Filbert, membantah terlibat dalam pertambangan emas yang berlangsung di Pulau Sangihe.
"PT. TMS tidak dan tidak pernah mengambil keuntungan, berkoordinasi atau terlibat dalam penambangan liar,“ kata Terrence.
Perusahaan ini juga menepis segala tuduhan dari kelompok LSM yang menyatakan mereka berada di balik penambangan emas yang saat ini terjadi di Pulau Sangihe. PT TMS menyebut tudingan itu sebagai "mitos dan fantasi“.
PT TMS juga mengakui bahwa aktivitas pertambangan yang ada di Sangihe saat ini "sepenuhnya ilegal“.
"Disampaikan kembali, PT TMS selalu mengikuti hukum dan mematuhi semua peraturan. PT. TMS tidak mengoperasikan, mengawasi atau mengambil manfaat dari konsesi tambang apa pun di Pulau Sangihe,“ katanya.
Di sisi lain, Sekretaris Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe, Melanchton Harry Wolff, mengakui masih terdapat aktivitas tambang ilegal di Pulau Sangihe.
Namun ia belum bisa memastikan, apakah akvitas penambangan yang semakin masif melibatkan perusahaan-perusahaan lokal.
"Ya, saya tidak tahu persis apakah perusahaan itu, tapi memang ada aktivitas kegiatan-kegiatan menggunakan alat-alat berat. Artinya bukan penambangan rakyat,” kata Harry melalui sambungan telepon.
Ia melanjutkan perkembangan informasi ini akan masuk dalam pembahasan internal pemkab.
“Nanti lewat ibu bupati (Penjabat bupati Rinny Tamuntuan) juga akan melakukan pertemuan, pertama terkait dengan forum koordinasi pimpinan daerah tentunya, terkait dengan keadaan-keadaan kondisi saat ini,” jelas Harry. (*)
Tags : tambang emas, tambang emas makin masif beroperasi, tambang emas berimbas pada kejernihan air laut, pencemaran laut,