JAKARTA - Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengizinkan PT GAG Nikel untuk beroperasi kembali di Raja Ampat, Papua Barat Daya, sejak Rabu (03/09).
Langkah ini dikritik pegiat lingkungan yang menyebutnya sebagai "kabar buruk" bagi upaya "menyelamatkan RajaAmpat dari bahaya tambang nikel".
Greenpeace Indonesia menilai keputusan ini merupakan pengabaian langsung terhadap ekosistem laut Raja Ampat yang menjadi rumah dari 75% spesies terumbu karang dunia.
"Memberikan izin tambang untuk beroperasi lagi di wilayah ini menunjukkan keserakahan pemerintah dan korporasi, yang menempatkan pelindungan lingkungan dan hak asasi manusia di bawah keuntungan ekstraktif jangka pendek," kata Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, dalam situs resminya.
Sebelumnya, Kementerian ESDM menyatakan, PT GAG Nikel diizinkan kembali beroperasi di Raja Ampat, karena mereka diklaim sudah "memperoleh peringkat hijau".
Hal itu diutarakan Direktur Jenderal Mineral dan Batu bara Kementerian ESDM Tri Winarno, Senin (08/09).
Menurutnya, hasil evaluasi Program Penilaian Kinerja Perusahaan (PROPER) menunjukkan GAG Nikel memperoleh peringkat hijau.
Peringkat hijau, lanjutnya, berarti GAG Nikel sudah taat terhadap seluruh tata kelola lingkungan dan melakukan pemberdayaan masyarakat.
"(Keputusannya) lintas kementerian, sama KLH (Kementerian Lingkungan Hidup) dan KKP ada (Kementerian Kelautan dan Perikanan)," ungkap Tri.
Sebelumnya PT GAG Nikel, yang merupakan anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (Antam), dihentikan sementara operasinya pada awal Juni 2025.
Hal itu dilakukan setelah muncul gelombang protes terhadap aktivitas pertambangan di Raja Ampat.
Dilaporkan ketika itu ada lima perusahaan yang memiliki izin usaha pertambangan (IUP) di Kabupaten Raja Ampat.
Pemerintah telah mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) di wilayah itu, karena beberapa di antaranya masuk kawasan lindung Geopark.
Empat IUP yang dicabut itu dimiliki oleh PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Melia Raymond Perkasa, dan PT Kawai Sejahtera.
Sedangkan, kontrak karya PT GAG Nikel masih berlaku.
Atas dasar tersebut, Presiden Prabowo Subianto meminta Bahlil dan jajarannya untuk mengawasi ketat Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) dan reklamasi yang masuk dalam rencana kerja PT GAG Nikel.
Dalam rilisnya, Greenpeace Indonesia lebih lanjut mengatakan, pemerintah Indonesia seharusnya tidak mengabaikan suara masyarakat adat dan komunitas lokal Raja Ampat yang sejak awal menolak tambang.
Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menyebut keputusan itu melanggar Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Dia juga menilai, pemberian izin itu akan merusak masa depan ekosistem terumbu karang yang kaya di Raja Ampat.
"Seakan tidak ada jalan lain, pemerintah terus bergantung pada industri ekstraktif, padahal ini hanya menunjukkan miskinnya imajinasi pemerintahan Prabowo dalam membangun ekonomi Indonesia yang adil dan berkelanjutan," kata Arie Rompas.
"Ini adalah bentuk pengkhianatan pemerintah terhadap komitmen iklim Indonesia, sekaligus memperdalam krisis ekologis yang sudah mengancam negeri ini," tambahnya.
Mereka kemudian mendesak agar pemerintah Indonesia segera mencabut izin PT Gag Nikel serta menghentikan semua rencana penambangan nikel dan pembangunan smelter di Sorong maupun Raja Ampat.
"Tak ada nikel yang sepadan dengan hancurnya ekosistem Raja Ampat yang disebut-sebut sebagai surga terakhir di Bumi ini," pungkas Arie Rompas.
Operasi tambang nikel di Raja Ampat sempat dihentikan
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, memutuskan untuk menghentikan sementara kegiatan operasional tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Namun, langkah itu hanyalah "akal-akalan untuk meredam" suara protes masyarakat, kata Greenpeace Indonesia.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menyebut penerbitan izin lima perusahaan tambang di sana telah melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.
Pasal 35 (k) UU itu melarang penambangan mineral pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara langsung dan tidak langsung apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat.
Karenanya, Iqbal mendesak Bahlil tak cuma menghentikan sementara, tapi mencabut seluruh izin tambang nikel tersebut.
Menanggapi hal itu, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia berjanji akan mengevaluasi tambang nikel di kawasan Raja Ampat.
Bahlil juga mengeklaim pemerintah tetap berkomitmen terhadap perlindungan lingkungan, namun dalam waktu yang sama juga mendorong program hilirisasi sebagai instrumen pertumbuhan ekonomi nasional.
Sementara itu, sebagai salah satu perusahaan pemegang izin penambangan di Kepulauan Raja Ampat, Plt Presiden Direktur PT Gag Nikel, Arya Arditya, mengatakan "menghormati dan menerima sepenuhnya keputusan Menteri ESDM hingga proses verifikasi lapangan selesai".
LSM lingkungan Greenpeace Indonesia mengungkap setidaknya ada lima pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Dari kelimanya, kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, tiga perusahaan telah melakukan eksploitasi pertambangan dan satu lagi masih berupa eksplorasi.
IUP-IUP itu, klaimnya, rata-rata dikeluarkan oleh Kementerian ESDM sekitar tahun 2013 ke atas.
"Jadi ada empat pulau yang ada aktivitas pertambangan," ujar Iqbal Damanik, Jumat (06/06).
Salah satu dari lima perusahaan itu adalah PT Gag Nikel yang diklaim Bahlil sebagai anak perusahaan PT Antam Tbk.
PT Gag Nikel menambang di Pulau Gag, yang luas daratannya sekitar 6.035,53 hektare dan memiliki 1.000 penduduk.
Mengutip keterangan Kementerian ESDM, Kontrak Karya (KK) PT Gag Nikel terbit pada 2017 dan mulai beroperasi setahun kemudian setelah mengantongi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Sedangkan total luas konsesi PT Gag mencapai 13.136 hektare.
"Kalau dihitung lahan yang sudah dibuka sekitar 20% dari total luas pulau itu," imbuh Iqbal.
Sementara, tiga perusahaan lainnya beroperasi di Pulau Kawe, Pulau Batang Pele, Pulau Manuran.
Masalahnya, kata dia, pulau-pulau kecil itu sebetulnya tidak boleh ditambang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.
Pasal 35 (k) UU menyebutkan melarang penambangan mineral pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara langsung dan tidak langsung apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat.
Itu mengapa, menurut Iqbal, penerbitan izin usaha pertambangan yang dikeluarkan Kementerian ESDM cacat sedari awal.
"Ketika IUP itu diterbitkan saja sudah melanggar aturan, harusnya saat mengajukan [izin] tidak diproses oleh pemerintah."
Pada Kamis 5 Juni 2025, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengeklaim akan menghentikan sementara operasional tambang nikel di Pulau Gag.
Dalam waktu dekat, tim Kementerian ESDM juga akan meninjau aktivitas pertambangan di sana dan memastikan tidak ada pelanggaran aturan lingkungan maupun kearifan lokal Papua Barat Daya.
Hasil verifikasi lapangan itu, klaimnya, akan diumumkan kepada publik setelah tim menuntaskan investigasi.
Hanya saja, Iqbal Damanik, menyebut pernyataan Bahlil cuma akal-akalan untuk meredam suara protes masyarakat.
Dari balik meja, katanya, bisa saja Bahlil tetap mengizinkan operasional tambang nikel tersebut.
"Kami menganggap ini cuma sekadar upaya pemerintah untuk meredam isu sementara waktu, tanpa mau melakukan peninjauan secara menyeluruh."
"Padahal kan sudah jelas [penerbitan IUP] itu melanggar UU. Kenapa sih tidak berani mencabut?" ujar Iqbal.
Pengamatan Greenpeace Indonesia, eksploitasi nikel di ketiga pulau itu telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami khas.
Pembabatan lahan terbesar yakni 300 hektare berlangsung di Pulau Gag dan sisanya di Pulau Kawe serta Manuran.
Meskipun terbilang kecil dibandingkan bukaan lahan sawit, tapi bagi penduduk yang tinggal di pulau-pulau kecil dampaknya besar.
"Ada kemungkinan pulaunya hilang, karena pulau-pulau di sana enggak sampai ratusan hektare luasannya."
Dalam kampanyenya Greenpeace Indonesia menjuluki Raja Ampat sebagai "Surga Terakhir" di dunia karena berada dalam kehancuran yang diakibatkan pertambangan nikel.
Untuk diketahui, Raja Ampat merupakan kabupaten yang terletak di Provinsi Papua Barat.
Kabupaten ini memiliki 610 pulau, dengan empat pulau besar: Salawati, Batanta, Waigeo, dan Misool.
Dari keseluruhan pulau tersebut hanya 35 pulau yang dihuni dan sisanya tidak berpenghuni bahkan belum bernama.
Di antara keempat pulau itu, Misool yang paling menarik wisatawan lantaran keindahan alamnya membuat destinasi ini dijuluki sebagai Surga Terakhir di Bumi.
Di mata dunia, Raja Ampat bahkan sudah terkenal dengan keindahan lautnya. Sekitar 75% jenis terumbu karang yang ada di dunia terkumpul dan hidup dengan baik di sini.
"Jadi bisa dibilang Raja Ampat adalah tempat menyelam terbaik," ujar Iqbal Damanik.
Namun, berdasarkan pengamatan Greenpeace Indonesia, sejak tambang nikel beroperasi di empat pulau itu, dampak kerusakan lingkungan yang paling terlihat adalah sedimentasi.
Limpasan lumpur dari pembukaan lahan, kata dia, bahkan mencemari wilayah pesisir yang banyak terdapat terumbu karang.
"Karang-karang ini banyak yang mati."
"Di Pulau Gag sendiri kami melihat banyak terumbu karang sudah mati atau terganggu. Yang paling terlihat kasat mata adalah pembukaan lahan, deforestasi, dan limpasan lumpur ke wilayah pesisir."
"Setiap kami bertemu masyarakat di sana, mereka takut akibat tambang kedatangan wisatawan turun."
Ia juga menjelaskan ketika pulau-pulau kecil tersebut dieksploitasi, maka kecil kemungkinan untuk bisa pulih.
Ini karena begitu pulau itu ditambang bakal mencemari lingkungan, mengurangi kesuburan tanah, dan mengkontaminasi tanah dengan logam berat sehingga menghambat pertumbuhan tanaman dan pohon-pohon.
"Selain itu, ketika mau menumbuhkan pohon di pulau kecil, sudah pasti dihempas angin. Kan angin di pulau-pulau kecil itu besar."
"Jadi [tumbuhan] akan sulit untuk tumbuh. Sangat tidak mungkin sebenarnya melakukan reklamasi di pulau-pulau kecil."
"Itulah menjadi salah satu argumentasi Mahkamah Konstitusi untuk mengatakan bahwa kerusakan lingkungan yang disebabkan kegiatan penambahan di pulau-pulau kecil ini akan berdampak besar."
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebelumnya menyatakan menghentikan sementara kegiatan operasi PT Gag Nikel di Pulau Gag.
Bahlil menyebut PT Gag Nikel merupakan satu-satunya perusahaan yang saat ini berproduksi di wilayah tersebut.
"Izin pertambangan di Raja Ampat itu ada beberapa, mungkin ada lima. Nah, yang beroperasi sekarang itu hanya satu yaitu PT Gag. Gag Nikel ini yang punya adalah Antam, BUMN," jelas Bahlil saat ditemui Media di Jakarta pada Kamis (05/06).
Bahlil juga menjelaskan pulau-pulau di Raja Ampat memiliki beragam fungsi, sebagian besar sebagai kawasan konservasi dan pariwisata, sebagian lagi tersimpan potensi mineral.
Dia menyatakan lokasi tambang tersebut tidak berada di destinasi pariwisata di Piaynemo, Raja Ampat. Lokasi tambang nikel tersebut berada kurang lebih 30-40 kilometer dari destinasi wisata.
Lebih lanjut, Bahlil bilang bakal bertolak ke Sorong dan Pulau Gag dalam waktu dekat untuk meninjau langsung aktivitas pertambangan dan memastikan tidak ada pelanggaran terhadap aturan lingkungan maupun kearifan lokal Papua Barat Daya.
Hasil verifikasi lapangan akan diumumkan kepada publik setelah tim menyelesaikan investigasi.
"Agar tidak terjadi kesimpangsiuran maka kami sudah memutuskan lewat Ditjen Minerba untuk status daripada Kontrak Karya (KK) PT Gag yang sekarang lagi mengelola untuk sementara kita hentikan operasinya sampai dengan verifikasi lapangan, kita akan cek," klaim Bahlil.
Terpisah, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengatakan telah melakukan pengawasan terhadap kegiatan pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya, pada 26–31 Mei 2025.
Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya penegakan hukum dan perlindungan lingkungan hidup di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki nilai ekologis penting.
Empat perusahaan tambang nikel menjadi objek pengawasan, yaitu:
KLH menyebut seluruh perusahaan itu telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan, namun hanya PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, dan PT Anugerah Surya Pratama yang memiliki Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
Tetapi, hasil pengawasan KLH menunjukkan berbagai pelanggaran serius terhadap peraturan lingkungan hidup dan tata kelola pulau kecil.
PT Anugerah Surya Pratama, perusahaan Penanaman Modal Asing asal China, diketahui melakukan kegiatan pertambangan di Pulau Manuran seluas ±746 hektare tanpa sistem manajemen lingkungan dan tanpa pengelolaan air limbah larian.
Di lokasi ini, KLH memasang plang peringatan sebagai bentuk penghentian aktivitas.
Sementara itu, PT Gag Nikel beroperasi di Pulau Gag dengan luas ±6.030,53 hektare.
"Kedua pulau tersebut tergolong pulau kecil, sehingga aktivitas pertambangan di dalamnya bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil," sebut KLH dalam keterangan tertulisnya.
KLH saat ini tengah mengevaluasi Persetujuan Lingkungan yang dimiliki PT Anugerah Surya Pratama dan PT Gag Nikel.
Jika terbukti bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, izin lingkungan mereka akan dicabut.
Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menegaskan prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan akan menjadi dasar penindakan terhadap pelanggaran ini.
"Penambangan di pulau kecil adalah bentuk pengingkaran terhadap prinsip keadilan antargenerasi. KLH/BPLH tidak akan ragu mencabut izin jika terbukti merusak ekosistem yang tak tergantikan," ujar Menteri Hanif Faisol Nurofiq.
Selain itu, PT Mulia Raymond Perkasa ditemukan tidak memiliki dokumen lingkungan dan PPKH dalam aktivitasnya di Pulau Batang Pele. Seluruh kegiatan eksplorasi dihentikan.
Sementara PT Kawei Sejahtera Mining terbukti membuka tambang di luar izin lingkungan dan di luar kawasan PPKH seluas 5 hektare di Pulau Kawe.
Aktivitas tersebut telah menimbulkan sedimentasi di pesisir pantai, dan perusahaan ini akan dikenai sanksi administratif berupa pemulihan lingkungan serta berpotensi menghadapi gugatan perdata.
Menanggapi pernyataan pemerintah menghentikan sementara operasional tambang nikel, Plt Presiden Direktur PT Gag Nikel Arya Arditya mengatakan "menghormati dan menerima sepenuhnya keputusan Menteri ESDM hingga proses verifikasi lapangan selesai".
Seperti dilansir Kompas.com, Arya menuturkan perusahaan memahami pentingnya transparansi dan kepatuhan terhadap seluruh regulasi pemerintah, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan dan kesejahteraan masyarakat setempat.
Karenanya, PT Gag mengaku siap menyampaikan dokumen pendukung yang dibutuhkan pemerintah berkaitan dengan operasional perusahaan di Raja Ampat.
"Gag Nikel telah memiliki seluruh perizinan operasi dan menjalankan operasional keberlanjutan sesuai dengan prinsip good mining practices. Kami siap menyampaikan segala dokumen pendukung yang diperlukan dalam proses konfirmasi ke pihak Kementerian ESDM," ungkapnya.
Arya juga menyebut, operasional Gag Nikel di Raja Ampat berada di luar daerah konservasi ataupun Geopark UNESCO.
Izin operasional yang diperoleh oleh Gag Nikel termasuk dalam Kawasan Penambangan Raja Ampat di dalam tata ruang daerah.
Gag Nikel, klaimnya, telah berkoordinasi intensif dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan untuk mengawasi dan memonitoring jalannya operasional tambang.
Sejak mengantongi izin operasi produksi pada 2017 dan mulai beroperasi di 2018, Gag Nikel mengeklaim telah melaksanakan berbagai program keberlanjutan.
Terdiri dari rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS).
Sejak 2018 hingga Desember 2024, perusahaan mengeklaim telah merehabilitasi 666,6 hektare DAS, dengan 231,1 hektare tanaman berhasil tumbuh.
Dan, 150 hektare dalam proses penilaian, serta 285 hektare dalam proses perawatan.
Kemudian Gag Nikel menyebut melakukan reklamasi area tambang dengan luas lahan mencapai 136,72 hektare (Per April 2025), dengan penanaman lebih dari 350.000 pohon, termasuk 70.000 pohon endemik dan lokal untuk mempercepat pemulihan ekosistem.
Termasuk melakukan konservasi terumbu karang.
"Program transplantasi terumbu karang seluas 1.000 m² dilakukan di kawasan pesisir Raja Ampat, dengan monitoring triwulanan oleh tim internal dan pengawasan tahunan bersama Politeknik Kelautan dan Perikanan Sorong, sebagai wujud sinergi industri dan akademik."
Sorotan terhadap aktivitas pertambangan di kawasan Raja Ampat bermula ketika sejumlah aktivis Greenpeace Indonesia bersama empat pemuda Papua melakukan aksi protes saat konferensi Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Jakarta, pada Selasa, 3 Juni 2025.
Mereka menyoroti dampak buruk eksploitasi nikel di kawasan Raja Ampat.
Sejak saat itu, warganet ramai mengomentari pertambangan di Raja Ampat dan status wilayah lindung yang disematkan pada kawasan tersebut.
Pada September 2023, UNESCO menetapkan Raja Ampat sebagai bagian dari Global Geopark. Artinya, kawasan itu dipandang UNESCO sebagai salah satu kekayaan dunia yang patut dijaga dan dilestarikan lantaran memiliki potensi luar biasa baik di atas laut maupun di bawah laut.
Kemudian, pada Oktober 2024, National Geographic memasukkan Raja Ampat ke dalam daftar 25 destinasi terbaik dunia untuk 2025. (*)
Tags : tambang nikel, raja ampat, tambang nikel kembali beroperasi di raja ampat, pemerintah, korporasi, papua, tambang, lingkungan, alam,