Linkungan   2024/11/27 11:1 WIB

Tanah Longsor Selalu ada Setiap Kali Musim Hujan, Apakah Teknologi Bisa Menyelamatkan?

Tanah Longsor Selalu ada Setiap Kali Musim Hujan, Apakah Teknologi Bisa Menyelamatkan?

LINGKUNGAN - Tumbuh besar di kaki bukit Western Ghats yang permai di negara bagian Kerala, India Selatan membuat Shruthi terbiasa menyaksikan tanah longsor.

“Tanah longsor selalu ada setiap kali musim hujan. Tidak pernah terbersit di benak saya bahwa longsor itu bisa menjadi bencana,” ungkapnya kepada BBC.

Pada malam hari tanggal 30 Juli, Desa Chooralmala—tempat tinggal Shruthi—terkubur akibat longsoran lumpur. Desa itu merupakan yang paling terdampak di distrik Wayanad dengan jumlah korban tewas diperkirakan mencapai antara 250 hingga 400 orang.

Sembilan anggota keluarga Shruthi termasuk kedua orang tua, kakak perempuan, paman, bibi, beberapa sepupu, dan cucu-cucu pamannya meregang nyawa pada hari nahas itu.

“Saya saya kembali menginjakkan kaki di desa… terlihat batu besar menutupi tempat di mana rumah saya dulu berada. Hati saya hancur jadinya,” tutur Shruthi.

Perempuan berumur 24 tahun itu lolos dari maut karena dirinya sedang pergi bekerja saat bencana terjadi.

Tanah longsor menewaskan ribuan orang setiap tahunnya sekaligus mengakibatkan kerugian senilai miliaran dolar AS di seluruh dunia.

Di Indonesia, sebagian besar bencana longsor dipicu cuaca ekstrem dan hujan dengan intensitas tinggi.

Dari Januari sampai akhir Oktober 2024, terjadi sebanyak 94 tanah longsor di seluruh Indonesia, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dari periode ini, 133 orang meninggal.

Tanah longsor terparah terjadi di Desa Tulabolo di Gorontalo pada 7 Juli 2024 yang memakan 27 korban jiwa, 15 dinyatakan hilang, dan delapan luka-luka akibat struktur tanah yang labil.

Pada 2023, lembaga yang sama juga melaporkan sebanyak 608 tanah longsor yang mengakibatkan 132 orang meninggal dunia. Dan, 2022 bencana alam ini juga menelan korban 82 orang tewas.

Para ilmuwan global memiliki pemahaman yang jelas tentang penyebab longsor dan, saat ini, mereka tengah bereksperimen dengan sistem peringatan dini dan mulai membuahkan hasil.

Namun, mereka mengatakan akan sulit memprediksi pergerakan puing-puing yang merupakan penyebab utama kematian dan kerusakan—meskipun jika sistem ini berhasil memprediksi secara akurat waktu terjadinya longsor.

Longsor dapat terjadi ketika lereng tidak lagi mampu menahan gaya gravitasi atau melalui pemicu eksternal seperti hujan lebat, erosi dasar lereng yang terjadi di daerah pantai, dan perubahan kekuatan material melalui pelapukan.

“Longsor adalah pergerakan massal batu, tanah, atau puing-puing, menuruni lereng. Ini dapat terjadi secara tiba-tiba atau lebih lambat dalam jangka waktu yang lama,” menurut British Geological Survey.

Bank Dunia memperkirakan tiap tahun terjadi 400.000 longsor dipicu hujan lebat dan 130.000 disebabkan gempa bumi.

Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan angka kematian akibat tanah longsor di seluruh dunia mencapai 18.000 orang dari 1988 hingga 2017. Longsor juga berdampak terhadap 4,8 juta orang di seluruh dunia.

Sejumlah pakar berpendapat tak banyak yang menganggap serius kerusakan yang disebabkan tanah longsor.

“Biasanya saya mencatat terjadi sekitar 450 longsor yang menyebabkan hilangnya nyawa di seluruh dunia setiap tahunnya. Asia Selatan adalah yang paling terdampak. Umumnya sekitar 4.500 nyawa melayang akibat longsor dalam setahun, tetapi terkadang bisa jauh lebih tinggi," jelas Profesor Dave Petley, pakar ilmu bumi dan wakil rektor Universitas Hull di Inggris.

WHO memperingatkan, perubahan iklim dan kenaikan suhu global akan memicu lebih banyak longsor di daerah pegunungan dengan salju dan es.

Prof Petley berpendapat pembangunan jalan dan bendungan di pegunungan menjadi faktor pendorong terbesar terjadinya longsor. Mega proyek mengubah sistem drainase alami.

Selain itu, pemangkasan lereng untuk pembangunan jalan membuat kemiringan tanah menjadi lebih tidak stabil. “Kualitas pembangunan jalan yang buruk adalah masalah terbesar,” katanya.

“Kita juga kehilangan hutan secara signifikan.”

Penebangan hutan dan aktivitas konstruksi memang turut berkontribusi atas bencana longsor di negara bagian Kerala.

Shruthi dan komunitasnya menyadari bahwa daerah tersebut rentan setelah terjadinya bencana longsor mematikan yang mengakibatkan 17 korban jiwa pada tahun 2019.

Seperti kebanyakan warga desa setempat, keluarga Shruthi sudah menetap di sana selama beberapa generasi dan tidak ingin pindah.

“Kami tidak menganggap peringatan itu serius,” aku Shruthi.

“Kalau kami mendapatkan peringatan yang secara spesifik menyebut kapan dan di mana longsor akan terjadi, kami tidak akan menetap,” katanya.

Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) telah memetakan daerah-daerah yang rentan longsor di seluruh dunia. Rumah Shruthi di Western Ghats dan wilayah Himalaya termasuk daerah-daerah yang rawan bencana.

Kala Venkat Uday, staf pengajar di Institut Teknologi India (IIT) di Himachal Pradesh, memiliki pengalamannya sendiri dengan longsor. Kampusnya di kota Mandi terletak di sebuah lembah dan dikelilingi oleh Himalaya yang megah.

“Saya melihat longsor dari jendela saya,” katanya.

Pada tahun 2017, terjadi longsor besar di dekat kampus IIT yang menewaskan 48 orang. Peristiwa tersebut begitu membekas di memori ilmuwan berusia 39 tahun itu.

Dia pun merancang perangkat peringatan dini yang dapat memantau indikator cuaca utama seperti suhu, intensitas cahaya, dan kelembaban.

Perangkat ini juga memiliki pengukur hujan. Terdapat akselerometer yang dapat memprediksi pergerakan tanah di bawahnya.

Alat ini berharga $3.500 (Rp55,7 juta) dan harus dikubur di kedalaman dangkal.

“Dalam kurun enam tahun, kami telah memprediksi 100 tanah longsor lokal. Kami menggunakan kecerdasan buatan [AI] dan pembelajaran mesin. Kami mendapatkan lebih banyak data dan kami yakin perangkat ini akan mampu memprediksi 99,8% longsor setidaknya satu jam sebelumnya,” tutur Venkat Uday.

Sistem peringatan dini ini telah dikerahkan di lebih dari 60 tempat di sepanjang jalan. Data diproses dengan waktu nyata dan, apabila ada tanda bahaya, maka lalu lintas di bagian jalan yang rentan akan dihentikan.

Perangkat ini dapat memprediksi pergerakan pada lereng tertentu.

British Geological Survey mengatakan membuat penilaian risiko di wilayah yang luas dengan begitu banyak lereng merupakan hal sangat sulit.

“Meskipun banyak kemajuan signifikan dalam kemampuan memprediksi tanah longsor, masih diperlukan penelitian untuk meningkatkan pemahaman kita dan mengembangkan model peramalan yang lebih baik,” ujar British Geological Survey dalam pernyataanya,

Mereka menambahkan tingkat ketidakpastian akan senantiasa ada karena sifat bentang alam yang menantang.

Satelit-satelit yang ada sekarang ini dapat memprediksi pergerakan lereng bahkan hingga tiga milimeter. Namun, itu masih belum cukup untuk memproyeksikan kapan lereng akan runtuh.

Profesor Dave Petely mengatakan terkadang pergerakan batu akan berakselerasi, kemudian berhenti. Di Norwegia, orang-orang yang tinggal di kaki bukit Gunung Mannen dievakuasi 18 kali sebelum longsor akhirnya terjadi.

Jumlah batu dan puing yang dibawa longsor juga sulit diprediksi jumlahnya karena ini bergantung pada jarak tempuh dari titik pemicu longsor ke titik yang terdampak. Selain itu, jenis bukit yang longsor juga menjadi faktor penentu.

“Di Wayanad, lereng-lereng itu sendiri diketahui berpotensi tidak stabil. Namun, justru jarak tempuh longsor sejauh delapan kilometer atau lebih yang menyebabkan bencana. Ini sangat sulit diprediksi,” ujar Profesor Petely.

“Teknik penting lainnya adalah memperkuat lereng. Kadang-kadang ini berarti memasangkan jangkar atau paku ke dalam lereng.”

Membangun penghalang longsor seperti bangunan pengendali sedimen untuk menangkap puing juga merupakan bagian dari upaya pencegahan.

Jepang, menurut Petley, sudah menggunakan metode-metode ini.

“Terdapat teknik-teknik yang sangat mapan dan efektif untuk mengelola lereng. Namun, metode-metode ini sangatlah mahal,” ujarnya.

Hong Kong sudah membuktikan bahwa angka kematian dan jumlah kerusakan akibat tanah longsor dapat dikurangi. Hong Kong memperkenalkan sistem peringatan dini longsor pada tahun 1977.

Angka kematian akibat longsor di Hongkong telah menurun secara signifikan sejak pertengahan 1980-an. Sejak 2008, belum ada satu pun kematian akibat longsor dilaporkan Hong Kong.

“Hong Kong memiliki jaringan sekitar 100 pengukur hujan ditambah radar hujan untuk membuat prediksi yang akurat dan andal,” ujar Petley.

Dia menambahkan bahwa kita juga dapat melakukan intervensi untuk menghentikan atau mengurangi dampak longsor. Hal ini sering kali melibatkan pengeringan air dari lereng.

Kebanyakan negara berkembang tidak memiliki sumber daya untuk membangun penghalang pelindung. Negara-negara berkembang juga banyak yang tidak mampu melakukan evakuasi.

Kembali ke Wayanad di saat Shruthi terkena musibah lagi.

Saat kembali dari upacara mengenang orang tua dan kerabatnya, dia mengalami kecelakaan lalu lintas. Tunangannya tewas secara tragis dalam kecelakaan itu.

Desa Shruthi yang dulu dihuni 1.000 orang kini terkubur puing-puing. Sekolah lama Shruthi dan lingkungan lamanya pun hilang. Desa yang indah berubah menjadi tumpukan lumpur.

Karena longsor terjadi pada tengah malam tanpa peringatan apa pun, Shruthi mengaku keluarganya tidak punya kesempatan untuk melarikan diri.

Dia berharap suatu hari nanti para ilmuwan akan menemukan solusi untuk mencegah bencana semacam ini. (*)

Tags : Tanah Longsor, Setiap Musim Hujan Terjadi Tanah Longsor, Teknologi Selamatkan Bencana Tanah Longsor, Bencana alam, Lingkungan,