TANJUNG UBAN adalah sebuah kota tua di bagian Utara pulau Bintan. Kota kecil itu sudah ramai sejak dulu karena letaknya yang strategis, selat Uban yang terletak di hadapannya, terhubung ke laut China Selatan.
Ada aktifitas pelayaran yang Ramai di sana sejak dahulu. Dari perairan di hadapannya, terlihat banyak depo-depo minyak yang kini dikelola oleh Pertamina. Depo-depo tersebut sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.
Menukil laman kemendikbud, Sejarawan Aswandi Syahri menulis sejarah Kota Tanjunguban di Kabupaten Bintan, tidak dapat dilepaskan dari pembangunan instalasi pangkalan minyak milik Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij [NKPM].
Tidak berlebihan bila mengatakan bahwa tonggak penting sejarah Kota Tanjung Uban bermula ketika NKPM mulai membangun pangkalan minyak.
Pangkalan minyak itu untuk menampung produksi kilang minyak Sungai Gerong di Sungai Musi, Palembang yang pembangunannya selesai sekitar tahun 1930.
Sejak saat itu, Tanjung Uban bergerak dari sebuah kampung nelayan menjadi kota kecil yang lebih ramai. Bahkan pada suatu ketika di tahun 1948, masyarakat di “kota minyak” dan semua pekerja di pangkalan minyak ini pernah mencapai taraf kemakmuran yang signifikan.
Semua barang kebutuhan pokok disubsidi, sehingga hidup bagaikan di surga. “Oil Town Into Paradise”, begitu tulisan Alan Wolstenholme dalam surat kabar The Straits Times, 28 Oktober 1948 untuk menggambarkan kota kecil Tanjung Uban di bagian Utara pulau Bintan saat itu.
Paska dikelola oleh Pertamina, Depo minyak di Tanjung Uban kini menjadi 10 Terminal Bahan Bakar Minyak [TBBM] Utama yang menerima FAME [Fatty Acid Methyl Eter] dan menyalurkan Biosolar 20 persen [B20] ke TBBM di sekitarnya di Indonesia.
Pertamina menyebut, TBBM Tanjung Uban sebagai Terminal Utama, diestimasikan bisa menyerap FAME sekitar 8.700 KL per-bulan.
FAME yang diblending dengan Solar menjadi Biosolar atau B20, selanjutnya didistribusikan ke sejumlah TBBM sekitarnya antara lain TBBM Kijang, Kabil-Batam, dan Natuna.
Penamaan Tanjung Uban berdasarkan cerita rakyat yang berkembang ditengah masyarakat berasal dari sebuah pohon yang sudah tua, daun dan akarnya menjuntai ke bawah dan berwarna putih.
Orang yang lihat dari laut, pohon itu seperti uban. Karena daratan di Tanjung Uban, menjorok ke laut, sehingga disebut tanjung.
Pohon itu letaknya di samping Keramat Tanjung Uban. Tapi kini sudah tak tersisa lagi. Dan pohon itu pun tak sempat diberi nama oleh penduduk.
Tentang Keramat Tanjung Uban, diyakini adalah makam seorang ulama besar yang meninggal dalam perjalanan dari Semenanjung Malaka menuju Negeri Betawi di Sunda Kelapa.
Pada masa Kesultanan Johor, Riau Lingga dan Pahang pada era Hindia Belanda, Tanjung Uban sudah ada.
Pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda Daeng Celak [1728-1745] telah diusahakan perkebunan gambir di Pulau Bintan [termasuk bahagian darat Tanjung Uban] yang dikerjakan oleh buruh-buruh Cina dan Melayu.
Sedangkan bahagian pesisir Tanjung Uban yang menghadap Selat Riau adalah daerah rawa-rawa yang pada umumnya dihuni oleh nelayan Melayu.
Jadi pada abad ke 18, Tanjung Uban sudah ramai dihuni oleh masyarakat Melayu dan Cina.
Tanjung Uban menjadi lebih ramai setelah Pemerintah Hindia Belanda membangun tempat pengisian dan penyimpanan minyak pada tahun 1930 yang dikelola oleh STANVAC [Standard Vacuum Pertolium Company].
Para pekerja Stanvac adalah orang Cina kanton yang didatangkan dari Singapura. Baru pada tahun 1932, Stanvac menerima pegawai anak-anak Melayu dan pendatang dari luar daerah.
Tahun 1934, orang-orang Cina mulai membuka warung-warung kopi dan toko-toko kelontong di Tanjung Uban.
Di samping itu, didirikan juga Sekolah Cina di sekitar Kampung Cenderawasih. Tahun 1941, Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Tanjung Uban sebagai pusat KNIL [Koninkelijk Nederlands Indisch Leger] untuk wilayah Residen Riau.
Maka dibangunlah perumahan tentara yang sekarang menjadi Komplek TNI-AL
Tahun 1947, untuk membantu Angkatan Laut Belanda menjaga pantai dan penyelundupan maka Departemen Van Sheepvaat membentuk satuan tugas yang diberi nama ” Zee en Kustbeweking Dienst ” [Dinas Penjagaan Laut dan Pantai] yang berpangkalan di Tanjung Uban.
Tahun 1949, Jawatan Pelayaran RI membangun asrama, dermaga, proyek air minum jago yang sekarang menjadi Komplek KPLP/Kesyahbandaran.
Berdasarkan SK.Provinsi Sumatra Tengah No.9/Dper/Ket/50 tanggal 8 Mei 1950 tentang otonomi Tingkat II Kepulauan Riau, dibentuk Kresidenan Tanjungpinang yang membawahi Kecamatan Bintan Selatan, Kecamatan Bintan Utara, Kecamatan Galang dan Kecamatan Batam.
Dengan demikian secara pemerintahan, daerah Tanjung Uban telah menjadi Kecamatan sejak tahun 1950.
Sebelum tahun 1963, penduduk Kota Tanjung Uban menggunakan Dollar Singapura dalam transaksi jual-beli, seperti halnya penduduk Provinsi Kepulauan Riau lainnya.
Rupiah Kepulauan Riau [KR] merupakan mata uang penduduk setelah terjadinya konfrontasi dengan Kerajaan Malaysia sebelum bergabung dengan Rupiah sebagai mata uang RI pada tahun 1964.
Walaupun penduduk Kota Tanjung Uban berasal dari berbagai etnis, seperti terlihat adanya kampung-kampung yang bernama: Kampung Jawa dan Kampung Bugis dalam kawasan ini, namun sehari-hari dalam berkomunikasi selalu menggunakan bahasa Melayu Kepulauan.
Saat ini, Tanjung Uban menjadi sebuah kelurahan dengan nama kelurahan Tanjung Uban Kota dan merupakan salah satu kelurahan yang ada di kecamatan Bintan Utara, Kabupaten Bintan. (*)
Tags : tanjung uban, pulau bintan, kepri, kota tua bagian utara, tanjung uban terhubung ke laut china selatan,