Belanda menaruh perhatian terhadap pemberontakan di Anyer.
AGAMA - Pada Juli 1888, wilayah Anyer di Banten yang dikuasai pemerintah kolonial Belanda dilanda pemberontakan. Penjajah terkejut karena para kiai dan haji memimpin pemberontakan tersebut.
Antropolog asal Belanda, Martin van Bruinessen dalam bukunya The Tarekat Naqsyabandiyah in Indonesia, menjelaskan pemberontakan petani di Indonesia pada masa pemerintahan Hindia Belanda seringkali disertai harapan yang mesianistik.
Hal ini memang sudah biasa terjadi di Pulau Jawa terutama dalam abad ke-19, dan Banten merupakan salah satu daerah yang sering muncul pemberontakan.
Akan tetapi, pemberontakan yang terjadi pada Juli 1888 di wilayah Anyer lebih mengguncang Belanda daripada pemberontakan lainnya.
Belanda tidak terlalu sulit melakukan penumpasan terhadap pemberontak, tetapi skala pemberontakan tersebut sangat memprihatinkan.
Ternyata tidak sedikit pemimpin pemberontakan itu adalah para kiai dan haji. Hal inilah yang membuat pemerintah Hindia Belanda menaruh perhatian khusus terhadap pemberontakan di Banten.
Dalam benak pemerintah kolonial Belanda, muncul pertanyaan, apakah yang terjadi di Banten adalah pemberontakan kaum beragama (rakyat yang beragama Islam) melawan penguasa kafir (pemerintah kolonial Belanda).
Pemerintah Hindia Belanda berpikir waspada, apakah mungkin pemberontakan di Banten tersebut baru pendahuluan saja dari sebuah gerakan fanatik yang lebih massal untuk mendepak keluar orang-orang kafir?
Penyelidikan yang dilakukan pihak Belanda menunjukkan bahwa banyak para kiai dan haji yang terlibat dalam pemberontakan di Banten adalah pengikut-pengikut tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Hasil penyelidikan pemerintah Hindia Belanda, yang dianggap pemimpin puncak dari tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah seorang tokoh agama asal Banten, Syekh Abdul Karim yang tinggal di Makkah, Arab Saudi.
Syaikh Abdul Karim memperoleh kewenangan yang sangat besar di kalangan orang-orang Banten.
Syaikh Abdul Karim sendiri kelihatannya tidak berminat dalam masalah politik tetapi khalifahnya, Haji Marzuki yang diutus dari Makkah ke Banten dikabarkan lebih anti-Belanda (anti penjajah).
Dalam tulisannya, Martin van Bruinessen menuliskan bahwa pada keseluruhannya, tampaknya tarekat tidak memainkan peran yang khusus dalam pemberontakan, kecuali mungkin sebagai jaringan komunikasi.
Yang pasti, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah bukanlah penyebab atau yang mengatur pemberontakan tersebut.
Meski demikian, Belanda gelisah dan banyak yang percaya bahwa tarekat-tarekat, khususnya tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah organisasi rahasia yang bertujuan menumbangkan kekuasaan Belanda. (*)
Tags : tarekat naqsabandiyah, perjuangan tarekat naqsabandiyah, perjuangan tarekat, tarekat naqsabandiyah di banten, pemberontakan tarekat naqsabandiyah,