TARIAN GENJER GENJER untuk pertama kalinya diperankan sejak 1965, tarian ini kembali ditampilkan oleh penciptanya, Slamet Abdul Radjat [Slamet Menur] sebagai Seniman asal Banyuwangi, Jawa Timur, mengaku menampilkan bukan untuk politik, tetapi seni yang sebenarnya.
Dengan gemulai, tangan dan kakinya bergerak ke sana ke mari mengikuti alunan lagu Genjer-Genjer, yang selama puluhan tahun terakhir mendapat stigma negatif lantaran dikaitkan dengan Peristiwa 65.
Seutas senyum menghiasi raut wajahnya yang tampak bersahaja, kendati usianya tak lagi muda.
“Saya bangga, senang, dan terharu,” tutur Slamet usai memperagakan tari Genjer-Genjer.
Ia mengatakan seni dan budaya yang dipolitisasi rezim orde baru perlu mendapat ruang rehabilitasi.
Keyakinan ini datang setelah Presiden Joko Widodo “atas nama negara” mengakui dan menyesalkan pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Peristiwa 65-66.
Kesaksian Slamet Menur atas perjalanan lagu dan tarian Genjer-Genjer, yang ia sebut digunakan untuk kepentingan politik masa itu, dan masih menjadi momok hingga saat ini.
Setelah penemuan jenazah enam jenderal dan seorang perwira di Lubang Buaya, Jakarta, pada 3 Oktober 1965, penangkapan besar-besaran terhadap tokoh, anggota atau siapa pun yang dianggap simpatisan atau terkait PKI terjadi di sejumlah daerah.
Mereka yang ditangkap dituduh menjadi bagian dari organisasi-organisasi yang diidentikkan dengan komunis, seperti Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), dan lain-lain.
Banyuwangi, yang menjadi tempat lagu Genjer-Genjer diciptakan, tak luput dari apa yang disebut media militer sebagai target “operasi pembersihan”.
Beberapa hari setelah Peristiwa G30S, Slamet Menur bersama rekan-rekan seniman Banyuwangi sedang membuat susunan lagu dan tarian untuk sebuah pentas seni.
Hari itu belum ada media sosial. Jadi jangan bayangkan kalau Slamet bisa memperoleh notifikasi berita cepat dari pelosok negeri melalui layar ponselnya.
Slamet bahkan masih cengar-cengir, asyik duduk berdiskusi bersama rekan-rekan seniman di Sekretariat Seni Rakyat Indonesia (SRI) Muda – organisasi seniman Banyuwangi yang berafiliasi dengan Lekra.
Sekretariat SRI Muda yang berada di kawasan Temanggungan, merupakan kediaman Muhammad Arief, pencipta lagu Genjer-Genjer – yang sedang digandrungi masyarakat saat itu.
Saat tukar pendapat dan belum sampai tegukan kopi terakhir, tiba-tiba puluhan orang datang sambil membawa senjata tajam dan bambu. Pintu sekretariat didobrak.
Orang-orang di dalamnya kocar-kacir, seperti bidak catur yang berhamburan tak sengaja terhantam dengkul pemainnya.
Semua lari tunggang langgang menyelamatkan diri masing-masing, sementara Slamet buru-buru menyelinap lewat pintu belakang.
Pria yang saat itu berusia awal 20an, berlari sekencang-kencangnya menuju Pelabuhan Boom untuk menghindari penangkapan – jaraknya sekitar satu kilometer.
Di tengah perjalanan, Slamet mengatur napas dan mulai memperlambat langkah kaki, agar tidak mengundang curiga orang-orang.
Saat kakinya menginjak jembatan pelabuhan, sebuah truk berhenti menghampirinya. Slamet diciduk karena ada orang yang mengadu.
“Akhirnya saya dipegang, dilempar ke truk,” kata Slamet yang sekarang berusia 82 tahun.
Di dalam truk, ia bersama sekitar lima orang lainnya dibawa ke Taman Blambangan yang luasnya hampir setara lapangan sepak bola.
Di sana, Slamet dikumpulkan bersama ratusan orang yang dituduh terlibat dengan PKI.
Slamet sudah tak sempat memperhatikan keberadaan rekan seniman lainnya.
Yang ia lihat hanya wajah-wajah tegang karena cuma sedikit pilihan yang mereka miliki: segera ke alam baka, dipenjara tanpa pengadilan, atau hidupnya akan diselingi wajib lapor.
Saat itu, Slamet mengatakan benar-benar tidak tahu apa yang terjadi, sampai dirinya berakhir di ruang interogasi militer.
Slamet mengaku menjawab sejujur-jujurnya: “Saya sedang berkumpul persiapkan pentas seni; soal politik saya tidak tahu; saya aktif di kesenian; saya punya bakat menari.”
“Alhamdulilah saya masuk ke kelompok C. Artinya kelompok C itu wajib lapor saja. Kalau kelompok B, ditahan. Kelompok A, habis.
“[Saya dikenal] sebagai seniman, bukan orang politik. Jadi orang Kodim banyak yang tahu. Orang Kodim malah suruh saya nyanyi lagu Genjer-Genjer, Nandur Jagung, Emas-Emas, itu sudah makanan saya,” cerita Slamet.
Keluar dari kantor Kodim Banyuwangi, bukan berarti langsung bebas begitu saja. Slamet sempat dipukuli di pos keamanan desa oleh sekelompok orang yang dikatakannya dari organisasi Islam.
“Padahal orang yang pukuli saya itu masih famili,” katanya.
“‘Enaknya Pak Slamet ini dihabisi saja’. Maksudnya, saya mau dimasukkan ke dalam tong,” kata Slamet menirukan kejadian saat itu.
Slamet pasrah. Nyawanya sudah terasa di kerongkongan. Sampai akhirnya tokoh dari Muhammadiyah dan NU yang masih kerabat, menyelamatkannya.
“Tuhan masih memihak saya… Akhirnya saya selamat,” katanya.
Dalam sejumlah laporan, hari-hari setelah Peristiwa G30S, jumlah orang yang dibunuh begitu saja mencapai satu juta jiwa di pelbagai daerah, khususnya di Pulau Jawa dan Bali.
“Ternyata Pak Arief kepegang (tertangkap), tapi nggak tahu di mana. Pada waktu itu tokoh-tokoh hampir semua hilang. Kena semua,” kata Slamet yang baru mengetahui beberapa hari kemudian.
Masa peralihan: 'Saya tidak kenal politik, yang penting karya saya ditampilkan'
Slamet sudah tak bisa menghitung lagi jumlah rekan-rekan senimannya yang hilang, dipenjara atau terbunuh… Tapi ia benar-benar selamat! Hidupnya harus terus berjalan, meski diselingi wajib lapor.
Slamet dikenal sebagai seniman yang bisa menciptakan tarian dari lagu-lagu tradisional Banyuwangi.
Orang-orang politik tahu persis bagaimana memanfaatkan seniman macam ini – dijadikan bagian dari kampanye atau menarik simpati warga lokal.
Setelah organisasi SRI Muda punya Muhammad Arief dibubarkan, Slamet diajak Partai Nasional Indonesia [PNI] untuk bergabung di organisasi sayap mereka, Lembaga Kebudayaan Nasional [LKN].
“Soalnya tokohnya LKN itu tahu, saya ini bisa dimanfaatkan untuk pimpin LKN. Di situ saya menciptakan tarian Jaran Goyang, Padang Bulan,” katanya.
Pada 1971, awal orde baru dirintis, “Saya ditarik di Golkar disuruh kampanye, menari,” tutur Slamet.
“Orang Banyuwangi kan senang tarian pertunjukan. Itu saya dilibatkan untuk mengikuti kampanye itu. Zaman Golkar,” lanjutnya.
Setelah itu, pria yang senang berguyon ini membuka usaha percetakan yang diberi nama ‘Menur’. Dari nama inilah orang-orang lebih mengenalnya sebagai Slamet Menur dibandingkan nama aslinya.
Sambil lalu, Slamet mendirikan Sanggar Seni “Angklung Soren” yang masih berdiri hingga kini.
Sanggar ini didedikasikan sebagai bentuk kecintaan terhadap seni Banyuwangi, termasuk merawat dan melestarikannya.
“Untuk menghibur, saya kan tidak mengenal politik. Yang penting karya saya ditampilkan, ditunjukkan pada masyarakat. Soalnya zamannya Lekra begitu, LKN begitu, orde baru juga begitu. Kalau saya ditarik ke politik, jauh,” katanya.
'Lagu Genjer-Genjer lahir di zaman sulit'
Slamet Menur mengaku dirinya sebagai “sekretaris atau tangan kanan” Muhammad Arief – pencipta lagu Genjer-Genjer.
Arief mendirikan organisasi angklung yang diberi nama SRI Muda pada awal 1960. Kala itu, organisasi angklung ini sudah memiliki lebih dari 30 cabang di Banyuwangi.
Slamet bergabung dan menciptakan tarian dari lagu-lagu ciptaannya, termasuk Genjer-Genjer.
Arief ia kenal sebagai seniman kawakan Banyuwangi. Orangnya pandai berbahasa Arab, serta “fleksibel, dan tidak suka menonjolkan diri.”
Pria yang dikenal flamboyan juga organisatoris yang bergabung dengan Barisan Tani Indonesia [BTI] – organisasi sayap PKI, termasuk pernah menjabat anggota DPRD Banyuwangi dalam pergantian antarwaktu [PAW].
“Lagu Genjer-Genjer diciptakan Pak Arief tahun 1942, yang notabene untuk mempopulerkan, bahwa [tanaman] genjer itu bisa dimakan, untuk lauk pauk,” kata Slamet.
Seperti diketahui, saat itu adalah musim paceklik, tanaman sulit tumbuh. Cari kerja susah. Ditambah lagi, Indonesia masih berada di bawah penindasan tentara Jepang.
Lirik lagu Genjer-Genjer dan artinya
Versi lengkap lagu Genjer-Genjer dengan Bahasa Osing –bahasa Jawa yang dituturkan oleh Suku Osing di Banyuwangi dari tulisan tangan Slamet Menur.
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler.
(Genjer-genjer di petak sawah berhamparan)
Emake thulik teka-teka mbubuti genjer.
(Ibu si bocah datang mencabuti genjer)
Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tulih-tulih.
(Dapat sebakul, dia berpaling begitu saja tanpa melihat)
Genjer-genjer saiki wis digawa mulih.
(Genjer-genjer sekarang sudah dibawa pulang)
Genjer-genjer isuk-isuk didol ning pasar.
(Genjer-genjer, pagi-pagi dijual ke pasar)
Dijejer-jejer diuntingi padha didhasar.
(Dijejer diikat kemudian digelar/dijajakan)
Emake jebeng padha tuku nggawa welasah.
(Ibu si gadis membeli genjer sambil membawa welasan)
Genjer-genjer saiki wis arep diolah.
(Genjer-genjer sekarang akan diolah)
Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak.
(Genjer-genjer masuk periuk air mendidih)
Setengah mateng dientas ya dienggo iwak.
(Setengah matang ditiriskan sebagai lauk)
Sega sak piring sambel jeruk ring pelanca.
(Nasi sepiring, sambal jeruk di dipan)
Genjer-genjer dipangan musuhe sega.
(Genjer-genjer dimakan bersama nasi)
Penduduk Banyuwangi belum tahu kalau tanaman genjer yang “keleleran” di rawa dan sawah bisa dikonsumsi.
Arief mendapat bisikan dari istrinya, Suyekti atau disapa Mbok Tik – asal Jawa Tengah – kalau genjer bisa dimasak dan dimakan.
Di daerah asalnya, sudah sangat lazim penduduk mengolah genjer menjadi lauk.
Arief saat itu tidak terlalu percaya, sampai Mbok Tik mengolah daun genjer di dapur, dan menghidangkan di atas meja makan.
“Disajikan bersama sambal itu enak,” cerita Slamet.
Lalu, Mbok Tik juga mengenalkan lauk genjer ini ke para tetangga.
“Makanya untuk mengenalkan itu [lebih luas], Pak Arief menciptakan lagu Genjer-Genjer itu, supaya masyarakat Banyuwangi itu mengenal genjer, makan sayur genjer,” tambah Slamet.
“Akhirnya terjadilah orang-orang ramai-ramai cari genjer untuk dimasak. Itulah asal mula lagu Genjer-Genjer pada zaman Jepang. Pada zaman Jepang itu semua sulit,” kata Slamet sambil tersenyum lebar sampai terlihat beberapa giginya yang masih tersisa.
“Syairnya itu tidak ada yang mengandung politik. Semua itu mengenai tumbuhan genjer yang bisa dimakan untuk lauk pauk,” kata Slamet.
Lagu Genjer-Genjer dikaitkan dengan politik setelah dipopulerkan tokoh PKI, dinarasikan media orde baru bagian dari pengiring penyiksaan enam jenderal dan seorang perwira, sampai syairnya diplesetkan menjadi “Jenderal-Jenderal”.
Setelah diciptakan pada 1942, Lagu Genjer-Genjer semakin mendapat popularitas 20 puluh tahun kemudian, pada 1962.
Di penghujung tahun itu, Wakil Ketua CC PKI, Lukman Njoto, dan rombongan artis Istana Negara mampir ke Banyuwangi dalam satu kesempatan.
Muhammad Arief kemudian menyuguhkan gending Genjer-Genjer yang membuat Njoto dan rombongannya kesengsem. Lagu ini disebut sebagai kesenian rakyat.
Dikutip dari artikel Hersri Setiawan, saat itu Njoto mengatakan, “Lagu ini pasti akan segera meluas dan menjadi lagu nasional!”
Njoto yang saat itu menjabat menteri negara sekaligus penulis pidato Sukarno, menyebut Genjer-Genjer merupakan lagu paduan antara “tradisi positif” dengan “modernitas yang maju”.
“Kemudian waktu itu saya melatih empat artis itu, lagu dan tarian [Genjer-Genjer]. Termasuk Lilis Suryani kalau tidak salah, itu bawaan Njoto,” kata Slamet.
Setelah kunjungan ini, lagu Genjer-Genjer lantas diputar Radio Republik Indonesia [RRI] dan diadopsi sejumlah musik daerah lain.
Genjer-Genjer juga masuk ke pusat industri musik populer dan didengarkan di Jakarta melalui RRI dan TVRI.
Lagu itu kian membahana kala aransemen lagunya dinyanyikan oleh Bing Slamet dan Lilis Suryani – dua penyanyi terkenal saat itu.
Setiap kali ada kunjungan tamu negara dari China, Vietnam, atau Korea, lagu Genjer-Genjer kerap menjadi suguhan utama di Istana Negara.
Kemelekatan lagu Genjer-Genjer dengan Indonesia tak diragukan, karena ketika Presiden Suharto berkunjung ke Kamboja pada 1968, ia sempat disuguhkan lagu Genjer-Genjer.
Tak ayal, momen ini sempat membuat kecanggungan, seperti dilaporkan Historia.id.
“Bung Karno itu senang dengan lagu Genjer-Genjer. Pokoknya kalau ada tamu dari luar [negeri], kita ini diundang ke Istana. Suruh menari, suruh nyanyi, termasuk saya,” kata Slamet.
Lagu ini juga masuk dalam daftar 150 lagu terbaik Indonesia sepanjang masa versi majalah Rolling Stone Indonesia pada 2009.
Pemilihan lagu ini ditentukan puluhan musisi, kolektor, wartawan, pengamat musik dan sebaginya. Lagu di masanya yang disebut "paling terkenal sekaligus paling sial".
“Tahun 1965 itu sudah terkenal di mana-mana. Soalnya lagu Genjer-Genjer mudah diingat, mudah dinyanyikan dan mudah diperagakan untuk tarian,” jelas Slamet.
Saat itu Sukarno juga sedang mengkampanyekan agar musik pop Indonesia bisa melawan budaya luar yang disebut musik Barat.
Satu laporan menyebutkan, lagu Genjer-Genjer justru diidentikkan dengan PKI setelah Peristiwa 1965.
Sebelumnya, lagu ini justru identik dengan Indonesia, seiring Sukarno menyuguhkannya pada tamu-tamu negara.
Popularitas lagu Genjer-Genjer segera terbungkam seiring Peristiwa G30S. Lagunya mulai tak lagi dinyanyikan, dan hilang dari peredaran. Nyanyian lagu itu tak lagi terdengar, berganti senyap.
Utan Parlindungan dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada [UGM] mencatat sebuah surat kabar orde baru pernah menurunkan berita tentang penemuan notasi lagu Genjer-Genjer di Lubang Buaya.
Lirik lagu Genjer-Genjer dituduh menjadi isyarat pemberontakan pagi buta pada 1 Oktober 1965.
Dalam kampanye menuntut pembubaran PKI, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang didukung kekuatan Kostrad, juga disebut memelesetkan lagu Genjer-genjer menjadi Jenderal-Jenderal.
Menurut penulis sekaligus politikus, Paring Waluyo Utomo, “Makin kian kuatlah alasan orde baru untuk membumihanguskan lagu ini.”
Lagu ini juga muncul dalam film ‘Pengkhianatan G30S/PKI’ yang didistribusikan Pusat Produksi Film Negara, Departemen Penerangan pada 1984.
Aransemen Genjer-Genjer diputar di detik-detik adegan emosional penyiksaan penuh darah.
Film ini diputar sejak pertengahan 1980an sampai 1997 setiap 30 September di stasiun televisi milik pemerintah, ruang publik lembaga pemerintah, dan di sekolah-sekolah.
Biasanya di sekolah-sekolah, murid menonton bersama-sama dengan layar lebar dalam ruang kelas, yang dikondisikan tertutup dan gelap. Setelah menyaksikan film berdurasi empat jam ini, mereka diminta membuat resensinya.
Film dengan biaya besar saat itu—mencapai Rp800 juta—sudah tidak lagi wajib diputar pada 30 September 1998 karena “tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi” dan atas permintaan keluarga besar TNI Angkatan Udara, sebagaimana dinukil dari Tempo.
Dalam satu laporan, Historia.id menyebutkan film ini diproduksi oleh Produksi Film Nasional (PFN) yang dipimpin Brigjen TNI Gufron Dwipayana, orang dekat Suharto.
Budayawan sekaligus politikus Eros Djarot menyebut film ini sebagai “sebuah rekonstruksi visual yang agaknya dicomot langsung dari kepala Suharto – superhero satu-satunya dalam film tersebut.”
Mengapa lagu Genjer-genjer dilarang?
Tak ada aturan spesifik mengenai pelarangan lagu Genjer-Genjer, kecuali surat kabar orde baru yang membangun narasi gending ini menjadi pengiring peristiwa yang disebut Gerakan 30 September alias GESTAPU.
Film Pemberontakan G30S/PKI yang wajib diputar terus menerus lebih dari satu dekade turut membenamkan kesan horor lagu Genjer-Genjer sebagai pengiring gugurnya para jenderal.
Lagu ini dapat memicu trauma mendalam, bahkan bagi sebagian orang, akan membuat bulu roma berdiri.
Namun, dalam praktiknya, setelah orde baru tumbang, lagu ini tetap menjadi momok di tengah masyarakat.
Lagu Genjer-Genjer pernah mengispirasi sebuah lagu yang berjudul 'Genjer', diciptakan S. Mamang.
Lagu yang rilis pada 2006, ini benar-benar beda liriknya, meskipun sebagian nada-nadanya mirip dengan lagu Genjer-Genjer ciptaan Muhammad Arief.
Lagu ini juga dibawakan penyanyi kondang Banyuwangi, Catur Arum. Namun, albumnya yang berisi lagu ini hilang di peredaran dan dihentikan setelah cetak sebanyak 3.000 keping VCD.
Dalam keterangan tertulis kepada BBC News Indonesia, Catur Arum mengaku sudah tidak mau berkomentar lagi.
“Dibahas pun percuma,” katanya, yang mengaku sedih karena justru “lagu jadi korban”.
Kenyataan lainnya, lagu ini tetap diaransemen dalam pelbagai warna musik di Indonesia yang beredar di YouTube.
Band asal Amerika, Dengue Fever, juga mengaransemen lagu ini dalam bahasa Khmer, Kamboja.
"Genjer-Genjer adalah lagu yang membawa perubahan bagi Indonesia. Tapi menyanyikan lagu ini menjadi ilegal di Indonesia," kata Gitaris Dengue Fever, Zac Holtzman kepada BBC News Indonesia.
Hal inilah yang disayangkan bagi seniman Banyuwangi. “Karya wong Osing [orang Osing] yang mendunia, akhirnya nggak jadi kebanggan. Malah menjadi sedih,” tulis Catur.
Pada 2009, sebuah radio swasta di Solo, Jawa Tengah mendapat protes sekelompok orang yang menamakan diri Laskar Hizbullah karena menyiarkan lagu Genjer-Genjer.
Seperti dilaporkan kantor berita Antara, mereka keberatan karena lagu ini dianggap “milik PKI yang merupakan pengkhianat bangsa.”
Dalam kasus lainnya pada 2016, ‘Mesin Sampink—band bergenre reggae asal Mojokerto, Jawa Timur—harus wajib lapor ke kepolisian setelah membawakan lagu Genjer-Genjer di atas panggung.
Untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, kelompok band ini mau berbicara pada BBC News Indonesia.
“Kalau tidak sekarang, kapan lagi?” kata Oki Saputra, pemain gitar Mesin Sampink.
“Sudah tahu lagu ini kontroversial, tapi sejarahnya mungkin waktu itu kita belum tahu. Lagu itu kontroversial, dan enak. Dan, kita ambil sisi enaknya.
“Kalau kontroversi, ya sebagai anak muda, kita suka kontroversi,” tambah Oki sambil tertawa.
Ia juga mengatakan bahwa yang terjadi saat itu, “bukan ditangkap, tapi kita diamankan”. Musababnya, pihak keamanan mendapat informasi akan terjadi serangan dari organisasi massa.
“Karena pihak keamanan dapat info mungkin akan memicu keributan karena kita, akhirnya kita diamankan. Agar tidak terjadi keributan yang lebih massal. Takutnya seperti itu,” jelas pria berusia 32 tahun itu.
Oki dan teman-temannya menyadari lagu Genjer-Genjer mampu membetot ingatan orang pada Peristiwa G30S dan hari-hari setelahnya. Lagu ini juga mampu mengembalikan trauma masa lalu.
“Tapi kalau dari sudut pandang karya seni, menurut saya, karya seni lagu Genjer-Genjer sangat luar biasa… Karya bagus sekali,” katanya.
Lagu Genjer-Genjer, kata Oki, menjadi tabu diputar dan dinyanyikan karena ada unsur politik di dalamnya. Padahal, lagu ini diciptakan bukan untuk politik.
“Yang bikin kontroversi kan sudut politiknya. Sudut seninya kita tuntas. Seni untuk seni. Bukan seni untuk politik, apalagi politik untuk seni,” jelas Oki yang meyakini karya seni tak bisa dibatasi.
Akan tetapi, Oki dan kelompok musiknya masih pikir-pikir untuk membawakan kembali lagu Genjer-Genjer di atas panggung.
“Kalau ada audiens yang minta mungkin di tempat private, mungkin kita bisalah bawakan lagu itu. Kalau di tempat umum, belum berani, karena masyarakat mungkin belum siap,” katanya.
Bagi para penyintas 1965, lagu Genjer-Genjer juga dijadikan landasan penangkapan perempuan atas tuduhan terlibat dalam Peristiwa G30S, termasuk pada adegan penyiksaan.
Tapi sebuah laporan forensik menguak tidak menemukan penyiksaan seperti penyayatan dan pencongkelan bola mata jenderal seperti yang diedarkan surat kabar militer saat itu.
Seorang pemerhati seni dan budaya dari Banyuwangi, Dwi Pranoto, menilai lagu Genjer-Genjer merupakan “simpul dari trauma sosial” secara nasional.
Trauma ini, sayangnya, terus dipelihara sampai sekarang.
“Dan saya pikir trauma ini bisa dipolitisir, dan [untuk kepentingan] macam-macam,” katanya.
Masa kini: penampilan tarian Genjer-Genjer
Untuk pertama kalinya sejak 1965, Slamet Menur memperagakan tarian Genjer-Genjer. Tarian ini ia ciptakan sejak 1962.
Gerakan tarian Genjer-Genjer yang diperagakan juga sangat standar, sebagaimana tarian tradisional Banyuwangi pada umumnya.
Ia mengatakan tarian Genjer-Genjer yang ada dalam film Pengkhianatan G30S/PKI sebagai “keliru besar” karena itu “adalah buatan rezim Suharto”.
“Kenapa berani? Wong berani, orang nggak ada hubungannya dengan politik. Coba syairnya diteliti, adakah ajakan [politik]? Ini soal seni,” tegas Slamet.
Selain sudah merasa hidup di era reformasi, kebijakan terbaru dari Presiden Joko Widodo terhadap korban pelanggaran HAM masa lalu juga makin membulatkan tekad Slamet Menur.
Seperti diketahui, di penghujung 2022, Presiden Joko Widodo “atas nama negara”’ mengakui dan menyesalkan pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk Peristiwa 65-66.
Aksi turunannya adalah merehabilitasi hak-hak korban “secara adil dan bijaksana, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial."
Melalui kebijakan pemerintah ini, Slamet meyakini lagu dan tarian Genjer-Genjer perlu mendapat ruang yang sama untuk direhabilitasi dan mendapat tempat kembali di tengah masyarakat sebagai produk seni dan budaya, tidak lagi dikait-kaitkan dengan politik.
“Saya menginginkan orang-orang itu mengenal Genjer-Genjer bukan pada politik, tapi pada seni yang sebenarnya,” kata Slamet.
Slamet dengan empat penari muda profesional dari sebuah kampus di Banyuwangi, untuk memperagakan tarian Genjer-Genjer.
Awalnya, para penari ini ragu dan bahkan mengaku mendapat “peringatan” dari orang tua mereka terkait dengan Genjer-Genjer, yang masih dipercaya berkaitan dengan PKI.
“Saya dengar dari orang itu dibunuh, disakiti. Jadi saya takut,” kata Jaka Bagus Bimantoro.
Tapi kemudian ia berubah pikiran dan mau mengikuti gerakan tarian Genjer-Genjer karena “gerakannya tidak ada hubungannya sama politik, sama PKI.”
“Gerakannya bercerita tentang orang mencari tanaman namanya genjer di sawah,” lanjut Jaka, yang tahun ini berusia 22 tahun.
Rekan seprofesinya, Tri Navela Natasya, 19 tahun, awalnya juga mengaku takut.
“Karena itu disebut sebagai PKI yang sangat kejam. Kalau saya lihat filmnya, itu kejam banget,” katanya.
Bagaimana pun, sebagai anak muda yang “kepo”, apalagi dengan karya seni yang lama “terbungkam”, Navela akhirnya bersedia untuk mengikuti gerakan tarian Genjer-Genjer.
“Asyik tariannya, tidak begitu sulit. Dan juga menurut saya, Genjer-Genjer ini bukan bagian dari politik… rasa takut itu tidak seperti dibayangkan orang-orang dulu,” kata Navela.
Slamet Menur “bangga dan terharu” karya seninya bisa diperagakan pada anak-anak muda.
“Kalau sekarang beda dengan zamannya Suharto. Soalnya, alam kebebasan sudah didengungkan di mana-mana,” katanya.
Memulihkan lagu Genjer-Genjer sebagai karya seni, mungkinkah?
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi, Muhammad Yanuarto Bramuda mengatakan belum pernah melihat suatu peraturan yang melarang lagu ini, atau dengan kata lain “pemerintah memberedel”.
“Kami sejauh ini, tidak melihat satu referensi pun di sana,” kata pria yang akrab disapa Bramuda itu saat ditemui BBC News Indonesia di kantornya.
Ia mengakui saat ini lagu ciptaan Muhammad Arief masih diidentikkan dengan “salah satu kekuatan yang dulu pernah ingin mengambil Indonesia”.
“Tetapi kalau kita kaji, kita tempatkan lagu ini ya sebuah karya seni yang murni yang diciptakan oleh anak orang Banyuwangi… Jadi sebetulnya dalam kasus ini, karya seninya menjadi sangat dirugikan,” tambah Bramuda.
Menurutnya, lagu Genjer-Genjer bisa mendapat tempat untuk direhabilitasi dengan cara daftar hak cipta lagu melalui Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).
“HAKI stempel yang diberikan pemerintah untuk mendudukkan karya seseorang menjadi sesuatu yang bisa direhabilitasi, yang bisa disetujui pemerintah bahwa lagu itu boleh dinikmati karyanya oleh masyarakat,” kata Bramuda.
Ketua Dewan Kesenian Blambangan, Hasan Basri mengatakan lagu Genjer-Genjer sudah “jelas” di masyarakat dan kalangan seniman sebagai produk seni.
“Bagi kami [para seniman] itu tidak masuk agenda yang perlu direhabilitasi. Itu secara karya seni luar biasa,” katanya.
Bagaimanapun, butuh keberanian dan perjalanan panjang untuk memperoleh HAKI bagi keturunan Muhammad Arief dalam mendaftarkan hak cipta.
Pemerhati seni dan budaya, Dwi Pranoto mengatakan pendaftaran HAKI bisa dilakukan, akan tetapi tidak semudah itu.
Kata dia, pemerintah daerah termasuk dewan kesenian perlu membantu memperolehnya.
“Itu kesulitan buat mereka. Itu harus betul-betul dibantu,” kata Pranoto.
Genjer-Genjer hanya satu dari puluhan lagu yang diciptakan Muhammad Arief. Sisanya, berada dalam catatan usang milik Slamet Menur, dan hanya dia yang bisa mendendangkan lagu-lagu tersebut. Tidak terkasetkan dengan baik.
Kata Pranoto, lagu bukan sekadar apa yang diperdengarkan, melainkan terdapat “dokumen sosial” di dalam lirik dan momen dinyanyikan.
“Ini kerugian buat khasanah lagu-lagu di Banyuwangi dan nasional secara umum,” katanya.
Selain Genjer-Genjer sejumlah lagu gubahan Muhammad Arief lainnya juga menggambarkan kondisi sosial saat itu, seperti dalam syair lagu Lurkung:
Kung golet lurkung / Kung cari lurkung
Jaman Jepang boyok melengkung / Jaman Jepang punggung melengkung
King golet bekingking / Kung cari bekingking
Bekicot diwadahi piring / Bekicot diwadahi piring
Kata Pranoto, sebagaimana sayur genjer, lurkung (sejenis pohon talas) juga tak lazim dimakan masyarakat Banyuwangi sebelum masa pendudukan Jepang. Begitu juga dengan bekicot yang biasanya digunakan sebagai pakan bebek.
Lagu lainnya berjudul Sekolah. Di lagu itu, Muhammad Arief mengungkapkan bagaimana sulitnya golongan masyarakat kecil memenuhi kebutuhan pendidikan.
Berikut satu bait syair Sekolah:
Mak, tukukeno buku / Mak, belikan buku
Buku larang sing biso tuku / Buku mahal nggak bisa beli
Mak, tukukeno bonel / Mak, belikan tas
Rego munggah picise angel / Harga naik uang sulit didapat
Mak, tukukeno sepatu / Pak, belikan sepatu
Sepatu rombeng kakeen paku / Sepatu rombeng kebanyakan paku
Masa depan: ?
Dalam hal rehabilitasi, lagu Genjer-Genjer menjadi penting untuk dimunculkan karena melalui lagu ini bisa mengurai lagu-lagu lain dari seniman yang pernah dituduh bagian dari komunis.
“Kalau [kita] buka lagu Genjer-Genjer, yang lain akan ikut. Ini menjadi penting, karena lagu-lagu bukan hanya dokumen ekspresi pribadi. Ini ekspresi sosial juga,” kata Pranoto.
Oleh karenanya, Pranoto mendorong segala kesaksian dan penelitian terkait lagu Genjer-Genjer dibuka dan didiskusikan secara luas, termasuk aksesnya terhadap publik.
“Salah satu cara untuk mengobati trauma, mau tidak mau kita harus berhadapan dengan trauma itu sendiri… Harus diperbincangkan keras-keras, tidak lagi diperbincangkan di bilik tertutup,” katanya.
Selain Muhammad Arief, terdapat seniman Banyuwangi lain yang dipenjara tanpa proses pengadilan dalam rangkaian Peristiwa 1965, yaitu Boesairi Elman alias Endro Wilis.
Menurut Pranoto, sebagian besar dari 400 lagu ciptaan Endro Wilis tidak terkasetkan dan terancam hilang.
Ada pun sejumlah lagunya dinyanyikan dan diubah liriknya selama orde baru berkuasa.
“Produk-produk seni-budaya yang dianggap kiri dibelokan, diberedel, dilarang, dan dihancurkan melalui manipulasi, sensor, dan operasi-operasi razia,” lanjut Pranoto.
Kembali ke Sanggar Angklung Soren di mana Slamet Menur bersama empat anak muda berlenggak-lenggok menarikan tarian Genjer-Genjer.
Bagi Tri Navela Natasya yang lahir jauh setelah Peristiwa 1965, lagu dan tarian Genjer-Genjer ini patut dibuka luas untuk dilestarikan sebagai produk seni dan budaya.
“Sudah mengandung politik kata orang-orang, tapi ternyata itu tidak. Seni adalah seni,” katanya. (*)
Tags : Kaum muda, Hak asasi, 1965, Masyarakat, Kebebasan berekspresi, Sejarah, Indonesia, Seni, Seni budaya,