Headline Batam   10-04-2025 9:35 WIB

Tarif Ekspor Ancam Industri Batam, HKI Adhy Wibowo: Pemerintah Ambil Langkah Cepat

Tarif Ekspor Ancam Industri Batam, HKI Adhy Wibowo: Pemerintah Ambil Langkah Cepat
Koordinator Himpunan Kawasan Industri (HKI) Wilayah Batam dan Karimun, Adhy Wibowo (baju biru/kiri)

BATAM - Kebijakan Tarif Trump yang diberlakukan terhadap Indonesia diprediksi akan memberi tekanan besar terhadap sektor industri manufaktur di Batam.

"Tiga sektor utama yang akan terdampak secara signifikan adalah industri elektronik, otomotif, dan solar panel."

“Kebijakan tarif resiprokal ini membuat banyak investor yang sudah eksis memilih untuk wait and see,” kata Koordinator Himpunan Kawasan Industri (HKI) Wilayah Batam dan Karimun, Adhy Wibowo, Rabu (9/4).

Adhy Wibowo menyebut barang ekspor dari ketiga sektor tersebut kini masuk dalam daftar produk yang dikenai tarif bea masuk sebesar 32 persen oleh Amerika Serikat.

Ia mengungkapkan, ada perusahaan manufaktur besar di Batam yang awalnya berencana melakukan ekspansi tahun ini. Namun, karena adanya kebijakan tarif baru tersebut, perusahaan memilih menunda rencana tersebut.

Empat kawasan industri terbesar di Batam; Batamindo, Panbil, Tunas, dan Kabil, sangat mengandalkan ketiga sektor industri yang terkena imbas dari kebijakan baru tersebut.

Pada era awal perang dagang antara Amerika dan Tiongkok, kawasan Tunas dan Panbil sempat menjadi tujuan relokasi investasi dari Tiongkok. Tetapi, kini diprediksi akan turut terdampak oleh kebijakan tarif yang baru.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Batam mencatat bahwa ekspor utama dari Batam masih didominasi oleh produk industri manufaktur. Mesin/peralatan listrik (HS 85) mencatatkan nilai ekspor sebesar US$ 627,71 juta pada Januari 2025, berkontribusi sebesar 36,87 persen terhadap total ekspor.

Selain itu, mesin-mesin/pesawat mekanik (HS 84) mencatatkan nilai ekspor sebesar US$ 86,87 juta, sedangkan benda-benda dari besi dan baja (HS 73) menyumbang ekspor senilai US$ 147,74 juta.

Kenaikan drastis tarif bea masuk oleh Amerika Serikat akan meningkatkan biaya produksi secara signifikan bagi perusahaan-perusahaan manufaktur di Batam.

Untuk menyiasati peningkatan biaya ini, perusahaan kemungkinan besar akan melakukan langkah efisiensi, salah satunya dengan pengurangan tenaga kerja atau PHK.

Kawasan Industri Batamindo, yang merupakan kawasan industri terbesar di Batam, saat ini menampung 72 perusahaan aktif dengan jumlah karyawan antara 45 ribu hingga 52 ribu orang.

Jika digabungkan dengan tiga kawasan industri besar lainnya, total jumlah pekerja dapat mencapai 300 ribu orang. Jumlah ini belum termasuk sekitar 20 kawasan industri lainnya yang tersebar di Batam.

Melihat ancaman tersebut, lanjut Adhy, pihaknya telah mendorong BP Batam untuk segera meminta United States Trade Representative (USTR) agar mengecualikan Batam dari pengenaan Tarif Trump.

Batam memiliki kekhususan sebagai kawasan perdagangan bebas atau Free Trade Zone (FTZ) yang tidak mengenakan tarif bea masuk atas barang impor dari luar negeri.

“Pemerintah harus merespons cepat kebijakan ini agar bisa melindungi iklim industri Indonesia sebagai negara berbasis ekspor,” katanya.

Amerika Serikat masih menjadi salah satu negara tujuan utama ekspor dari Batam, selain Singapura dan Tiongkok.

Pada Januari 2025, nilai ekspor Batam ke Amerika mencapai US$ 308,90 juta atau sekitar seperempat dari total ekspor Batam.

Angka ini, menurutnya, mengalami kenaikan 13,59 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Barang elektronik masih menjadi komoditas utama ekspor Batam ke Amerika. Kenaikan ini mulai terlihat sejak awal perang dagang Amerika dan China sebelum pandemi COVID-19.

Saat itu, pengenaan tarif bea masuk yang tinggi terhadap barang asal China mendorong relokasi industri ke kawasan Asia Tenggara, termasuk Vietnam, Thailand, Myanmar, dan Indonesia.

Dengan relokasi tersebut, barang ekspor tercatat berasal dari Indonesia dan terbebas dari tarif bea masuk tinggi ke Amerika saat itu.

Namun, jika tidak diantisipasi, volume ekspor Batam dikhawatirkan akan menurun, sehingga dapat menyebabkan kontraksi ekonomi di wilayah ini.

Sebagai catatan, sekitar 50 persen pertumbuhan ekonomi Batam disumbang oleh sektor industri pengolahan, yang kini tengah menghadapi tekanan berat.

Adhy juga menyoroti kemungkinan investor memindahkan operasional pabrik ke Malaysia, mengingat nilai logistik yang lebih murah serta bea masuk Tarif Trump yang lebih rendah, yakni hanya 24 persen.

Ia menekankan bahwa Indonesia perlu mengembangkan industri rantai pasok atau supply chain agar tidak terus bergantung pada negara lain dan menjadi lebih mandiri. 

HKI Batam juga minta Pemerintah ambil langkah cepat.

Indonesia kembali menjadi sorotan dalam pusaran perang dagang global, setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menetapkan kebijakan tarif ekspor baru yang menyasar sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Negeri ini akan dikenai tarif resiprokal hingga 32 persen, menyusul meningkatnya defisit perdagangan AS terhadap Indonesia yang tercatat mencapai surplus sebesar US$ 14,34 miliar pada 2024.

Kebijakan ini langsung menimbulkan kekhawatiran, terutama di kawasan industri Batam yang selama ini menjadi salah satu tulang punggung ekspor nasional.

Adhy Prasetyo Wibowo, mengatakan beberapa perusahaan di Batam sudah menghubungi pihaknya untuk menanyakan dampak kebijakan tersebut.

“Meskipun kebijakan ini terbilang baru, namun sudah mendapat respon dari kawasan industri di Batam. Sudah ada kekhawatiran yang disuarakan para pelaku usaha,” ujarnya, Jumat (4/4).

Tarif 32 persen yang dikenakan dianggap memberatkan dan berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi, terutama di kawasan yang bergantung pada ekspor seperti Batam.

HKI Batam mendorong agar BP Batam dan pemerintah pusat segera mengambil langkah konkret dan strategis.

Dia mendesak agar BP Batam mengajukan permintaan kepada United States Trade Representative (USTR) untuk mengecualikan Batam dari kebijakan tarif baru Trump, mengingat peran strategis Batam dalam mendukung ekspor nasional.

Amerika Serikat selama ini menjadi salah satu tujuan utama ekspor Indonesia selain Cina dan Jepang. Jika tidak diantisipasi, kebijakan ini bisa berdampak luas pada penurunan volume ekspor, melambatnya produksi, bahkan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).

Data menunjukkan bahwa nilai ekspor dari Provinsi Kepri ke Amerika Serikat mencapai US$ 300 juta per bulan, dengan 25 persen di antaranya berasal dari Batam. Artinya, sekitar US$ 75 juta per bulan berisiko terdampak langsung.

“Batam itu mayoritas ekspor. Jadi pengenaan tarif ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menciptakan tekanan di sektor ketenagakerjaan,” kata Adhy.

Ia juga memperingatkan potensi migrasi investasi ke negara tetangga seperti Malaysia yang memiliki tarif ekspor lebih rendah, yakni sekitar 24 persen. Hal ini bisa membuat Malaysia lebih menarik dalam rantai pasok global ke AS.

“Malaysia bisa saja booming karena supply chain ke Amerika bisa berpindah ke sana. Biaya logistik mereka juga lebih murah,” katanya.

Untuk mengatasi situasi ini, HKI Batam menyarankan agar pemerintah Indonesia segera melakukan diplomasi perdagangan dan merundingkan ulang kesepakatan dagang dengan AS, termasuk menekan biaya logistik untuk meningkatkan daya saing.

BP Batam, sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di Batam, dinilai perlu lebih aktif menjawab kekhawatiran para pelaku usaha dan memastikan bahwa dampak kebijakan ini dapat diminimalisir.

“Perlu ada langkah cepat dan nyata agar Indonesia tidak kehilangan momentum industri ekspor. Target pertumbuhan ekonomi 8 persen bisa terganggu jika hal ini tak segera ditangani,” katanya. 

Menyikapi kebijakan tarif baru yang diberlakukan oleh pemerintah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump, Wali Kota Batam sekaligus Kepala BP Batam, Amsakar Achmad, mengambil langkah cepat untuk melindungi iklim investasi dan sektor usaha di Batam.

Dia menyebut, kebijakan tarif yang diberlakukan AS berpotensi menghambat ekspor dari kawasan industri Batam, terutama dari perusahaan-perusahaan yang telah masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) maupun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

“Kalau ini kita gesa, mudah-mudahan bisa menjadi kebijakan penyeimbang terhadap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintahan baru Amerika,” katanya, Selasa (8/4).

Langkah pertama yang disiapkan adalah percepatan proses pengurusan perizinan. Menurutnya, percepatan ini penting agar pelaku usaha tidak terhambat oleh birokrasi dan dapat segera menyesuaikan diri dengan dinamika global.

Selain itu, ia turut mendorong pemberian insentif kepada pelaku usaha. Insentif yang dimaksud tidak hanya berupa keringanan biaya, tetapi juga kemudahan dalam pelayanan perizinan dan pemangkasan rentang kendali birokrasi.

“Selama ini urusan seperti reklamasi wilayah laut dan Amdal untuk PMA (Penanaman Modal Asing) masih berada di Jakarta. Kita berikhtiar agar pelayanan ini bisa lebih dekat. Kalau bisa di-take over oleh BP Batam, tentu akan lebih baik,” ujar Amsakar.

BP Batam sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah, memiliki kapasitas untuk menangani kewenangan teknis tersebut. Untuk itu, ia menyatakan kesiapan BP Batam dalam menyiapkan tenaga teknis yang dibutuhkan.

Langkah ketiga yang akan dilakukan adalah menggelar pertemuan dengan para pelaku usaha di Batam. Ia telah menginstruksikan jajarannya untuk menyiapkan rapat koordinasi pada Rabu mendatang.

Dalam pertemuan tersebut, BP Batam akan menggandeng berbagai asosiasi dunia usaha seperti Kadin, HKTI, Apindo, dan lainnya. Tujuannya adalah menggali keluhan pelaku usaha secara langsung serta menjaring masukan yang dapat dijadikan dasar pengambilan kebijakan.

“Kita ingin dengarkan langsung dari para pelaku usaha, apa saja kendala mereka di lapangan. Dengan begitu, pemerintah bisa menyusun langkah-langkah yang tepat sasaran,” kata dia. (*)

Tags : tarif ekspor, industri batam, tarif ekspor AS, Pemerintah Ambil Langkah Cepat,