PEKANBARU, RIAUPAGI.COM - Meski Komisi V DPRD Riau sempat mewanti-wanti Dirut PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), Jafee A Suardin agar tak mangkir dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) atau Pansus akan dibentuk dengan dan atau tanpa kehadirannya, hal itu ternyata belum tampak saat RDP keempat yang dilangsungkan pada Senin 20 Maret 2023.
"DPRD Riau bentuk panitia khusus (Pansus) terkait pasca 11 kematian pekerja di wilayah kerja PT Pertamina Hulu Rokan (PHR)."
"Dirutnya tak pernah mau hadir. Cuma sudah dibacakan surat kuasa untuk pak edwil. Beliau termasuk kuasa penuh untuk menyikapi daripada rapat hari ini," kata Wakil Ketua Komisi V DPRD Riau, Karmila Sari.
Jafee lagi-lagi tidak hadir dan hanya mengirimkan surat kuasa untuk EVP Upstream Business PT PHR, Edwil Suzandi.
Meski begitu, Karmila melanjutkan, Komisi V DPRD Riau tetap mengeluarkan beberapa rekomendasi, yaitu pertama agar PT PHR merevisi kontrak kerja dengan mitra kerjanya.
"Artinya dengan vendor-vendor tadi. Direvisi dengan standardisasi keselamatan kerja," ujarnya.
Kedua, kata Karmila, lebih selektif dengan vendor ataupun mitra kerja. Ketiga, Komisi V DPRD Riau meminta PHR menuntaskan pemeriksaan kesehatan sesuai investigasi dari Disnakertrans Riau.
"Mereka (Disnaker) menyampaikan di atas umur 40 tahun itu harus dilakukan yang namanya pemeriksaan khusus," tuturnya.
"Makanya di situ ditemukan indikasi jantung, dari 600 orang, 70 orang terindikasi jantung. Kita minta kepastian jangan sampai mengganggu operasional," jelasnya.
Komisi V DPRD Riau juga minta PT PHR agar solusi-solusi ini dipublikasikan baik di media cetak maupun online.
"Jadi masyarakat tahu seberapa besar respon dari PHR terhadap 11 orang yang sudah meninggal ini," sebutnya.
Sebelumnya, Komisi V DPRD Riau memanggil PHR untuk rapat dengar pendapat (RDP) terkait 11 pekerjanya yang meninggal dunia di wilayah kerjanya. Dari 11 kematian itu, 6 diantaranya tewas secara tragis.
Dalam pertemuan yang terhitung sudah keempat kalinya itu, Direktur Utama (Dirut) PT PHR Jafee A Suardin kembali mangkir. Sebagai gantinya, hanya tampak EVP Upstream Business, Edwil Suzandi, EVP Business Support, Irfan Zaenuri, serta VP Corporate Affairs, Rudi Ariffianto.
Meski tanpa kehadiran Jafee, rapat tetap dilanjutkan dengan agenda para anggota dewan dari Komisi V meminta penjelasan terkait kecelakaan kerja di perusahaan Migas terbesar itu.
Dalam pertemuan itu, Edwil Suzandi mengakui bahwa PT PHR melanjutkan kontrak dari perusahaan sebelumnya sehingga tidak bisa serta merta menetapkan standarisasi K3.
"Ibarat mobil, begitu beli kita tidak sempat melakukan check up, langsung serahkan kunci. Pengecekan kita lakukan paralel. Setelah kita di dalam, baru kita lakukan perbaikan satu persatu," ujarnya.
Namun, rapat itu di skors karena bertepatan dengan agenda rapat paripurna penyampaian Laporan Kegiatan dan Pertanggung Jawaban (LKPJ) oleh Kepala Daerah, dalam hal ini Wakil Gubernur Riau.
Dalam ketidak hadiran pihak Direktur PHR, namun perusahaan minyak dan gas (Migas) ini mengeluarkan press release nya menyebutkan tetap berkomitmen menjadikan aspek keselamatan kerja menjadi prioritas bagi perusahaan.
"Berbagai langkah diterapkan manajemen PHR termasuk kepada pekerja di lapangan untuk mengantisipasi terjadinya kecelakaan saat kerja."
"Bagaimana pekerja harus patuh terhadap aturan atau regulasi dan perintah yang ada. Intervensi apabila pekerja ada sesuatu yagn tidak seusai di lapangan berhak lakukan intervensi dan hentikan aktivitas," kata Executive Vice Presiden (EVP) Upstream Business PHR, Senin (20/3//2023).
Edwil Suzandi menjelaskan, PHR menerapkan berbagai kebijakan dalam upaya meningkatkan aspek keselamatan kerja dan mencegah terjadinya kecelakaan kerja, diantaranya penerapan aspek Keselamatan, Kesehatan dan Peduli Lingkungan (HSSE) Golden Rules yakni Patuh, Intervensi dan Peduli yang harus dipahami oleh seluruh pekerja dan mitra kerja PHR.
"Peduli, bagaimana peduli terhadap rekan kerjanya, berhak menghentikan pekerjaan teman-teman termasuk atasan bila tidak sesuai. Itu harus dijalani dan dipahami oleh seluruh pekerja yang ada," sambungnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi V DPRD Riau.
Selain itu, lanjut Edwil, PHR juga menerapkan kebijakan Corporate Life Saving Rules (CLRS), yakni elemen-elemn khusus yang harus dipatuhi di area kerja WK Rokan.
"Di mana aktivitas bekerja misalnya terkait pemboran ataupun lifting itu ada aturannya. Pekerja harus pastikan secara analisanya apakah itu aman atau tidak," ujar Edwil.
Edwil menambahkan, PHR juga gencar mengkampanyekan agar seluruh pekerja bisa kembali ke rumah dengan selamat setelah bekerja.
Edwil mengatakan, sebagai perusahaan yang menjadi tulang punggung energi nasional, saat ini ada 77 rig aktif di WK Rokan dengan total pekerja PHR sebanyak 37 ribu pekerja, di mana sebanyak 35 ribu pekerja merupakan mitra kerja sedangkan 2 ribu lainnya merupakan pegawai PHR sebagai bagian komitmen menyerap tenaga kerja untuk perputara roda perekonomian khususnya di Riau.
"Dengan tingginya kesibukan dan banyaknya jumlah pekerja PHR, komitmen untuk keselamatan kerja tetap menjadi prioritas bagi kami. Kami tidak akan mengizinkan aktivitas yang dirasa tidak aman untuk dilanjutkan," tuturnya.
Edwil menegaskan, PHR terus melakukan evaluasi dan belajar dari kejadian yang yang ada di PHR beberapa waktu belakang.
Termasuk di antaranya melakukan pengawasan dan pengecekan kembali tingkat kesehatan para pekerja (medical check-up) untuk mengantisipasi terjadinya penurunan kualitas kesehatan saat bekerja.
"Kami lakukan check-up ulang pekerja yang sbelumnya sudah kami lakukan. Medical check-up ini seharusnya jadi tanggungjawab mitra kerja, mau tidak mau karena mereka support WK rokan jadi kita sediakan tenaga medis yang setiap hari melakukan pemeriksaan rutin dengan standar umum yang sudah tersertifikasi. Apabila tidak sehat, mereka langsung diminta untuk istirahat. Ini salah satu perbaikan yang sudah kami lakukan," ungkapnya.
Bahkan, lanjut Edwil, PHR menyediakan kendaraan ambulans yang siaga di lokasi kerja dengan tingkat risiko kerja yang tinggi.
"Ini upaya kami apabila ada kecelakaan kecil bisa langsung ditangani, dan kalau berat kami bisa langsung bawa ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap," terangnya.
Tak hanya itu, terkait dengan peralatan kerja, PHR juga melakukan pengecekan dan pengawasan ulang. PHR juga meningkatkan frekuensi kunjungan kerja secara acak (random) dan tidak terprediksi (incognito) yang melibatkan manajemen PHR WK Rokan.
Bila didapati ada peralatan yang dinilai tidak mumpuni, maka dilakukan penghentian pekerjaan hingga peralatan kembali dinyatakan laik untuk digunakan. Bahkan, dari hasil pengecekan, ditemukan ada enam rig yang dinyatakan hingga kini tidak laik beroperasi dan harus segera dibenahi.
"Untuk pekerja di lapangan minimal sudah memiliki sertifikat. Dari pemerikaan yang kami lakukan, ditemukan enam rig yang sampai ini tidak kami izinkan bekerja karena alatnya tidak laik," ungkapnya.
"Kita sadari kecelakaan kerja ini terjadi dari sisi alat. Pertengahan februari kami hentikan operasi selama dua minggu, kami verifikasi kembali alat yang ada. Ini keputusan sulit. Ini harus dilakukan untuk memastikan keselamatan," imbuhnya.
Masih kata Edwil, apabila ada mitra kerja yang tidak patuh terhadap kebijakan yang diterapkan PHR, maka sanksi bisa diterapkan hingga tidak bisa lagi bermitra dengan Pertamina.
"Tentunya ada sanksi, tidak boleh lagi bekerja sama kami di seluruh aktivitas di pertamina. Makanya dalam pemberian sanksi ini kami hati-hati dan ini ada proses investigasi dari holding pertamina. Dalam hal ini PHR bekerjasama dengan Disnaker dan SKK Migas bersama-sama lakukan investigasi dan audit," pungkasnya. (*)
Tags : pt pertamina hulu rokan, kecelakaan kerja di perusahaan migas riau, phr menolak panggilan dewan,