Headline Sorotan   2023/04/19 22:40 WIB

THR Banyak yang Belum Dibayar untuk Rayakan Idulfitri, 'Sejumlah Pekerja Harus Rela Lebaran Tidak Bisa Makan Enak Bersama Keluarga'

THR Banyak yang Belum Dibayar untuk Rayakan Idulfitri, 'Sejumlah Pekerja Harus Rela Lebaran Tidak Bisa Makan Enak Bersama Keluarga'

"Sejumlah pekerja banyak yang belum menerima tunjangan hari raya (THR), meski tenggat waktu yang diberikan pemerintah telah berakhir"

emerintah dinilai "lambat" dan "tidak tegas" menindaklanjuti kasus-kasus ini, sehingga para pekerja terancam tidak akan menikmati THR saat merayakan Idulfitri 1444 Hijriyah tahun 2023.

Roni (bukan nama sebenarnya) harus rela lebaran kali ini tidak bisa "makan enak" bersama keluarga, karena THR dan gajinya selama lima bulan terakhir belum dibayar oleh perusahaan tempat dia bekerja.

“Rasanya sangat beda dibandingkan [lebaran] sebelumnya. Tahun-tahun lalu masih bisa makan sate, beli jajanan untuk keponakan, kumpul bareng di rumah, terus kasih uang buat orang tua,” kata Roni memelas.

“Sekarang sama sekali tidak bisa, yang bahkan buat bertahan aja akhirnya malah dibantu sama ibu dan mertua,” sambung dia.

Sementara Dimas, yang juga meminta namanya disamarkan, mengaku belum cukup tenang setelah menerima THR pada Sabtu 15 April 2023 ini.

Sebab dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan swasta tempat dia bekerja selalu mencicil gaji bulanan karyawan menjadi enam hingga tujuh kali, setelah membayar THR lebaran.

Akibatnya, dia harus "menahan diri" untuk tidak mengeluarkan banyak biaya, meski harus mudik.

Sekretaris Jenderal Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Emelia Yanti, Siahaan melaporkan temuan serupa dari para pekerja pabrik di wilayah Jabodetabek dan Jawa Tengah.

“Ada yang melaporkan menerima THR dengan dicicil dua kali seperti masa pandemi Covid-19, dan ada juga yang menerima THR tidak penuh atau lebih kecil dari nilai upah yang seharusnya diterima dengan alasan kontrak,” kata Emelia Yanti pada media, Senin (17/4).

“Salah satu pabrik di Kabupaten Sukabumi yang mencicil THR, sampai buruhnya mogok kerja karena menolak THR dicicil,” tutur Emelia.

Bahkan setelah dimediasi oleh Dinas Ketenagakerjaan setempat, THR para pekerja tetap dicicil dua kali meski di dalam Surat Edaran Menaker Nomor 2 Tahun 2023 telah menegaskan bahwa "THR keagamaan wajib dibayar secara penuh".

Kemenaker juga telah membuka posko aduan THR, namun menurut Emelia, kehadiran posko itu hanya sebatas "lip service".

Berdasarkan laporan yang masuk hingga Senin 17 April 2023, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan, Anwar Sanusi, mengatakan terdapat 1.394 aduan yang masuk dan melibatkan 922 perusahaan.

Data itu terdiri dari 688 aduan THR yang tidak dibayarkan, 496 aduan THR yang tidak dibayar sesuai ketentuan, serta 210 aduan THR yang terlambat dibayarkan.

Pengamat ketenagakerjaan, Timboel Siregar, menilai kasus-kasus ini "terus berulang setiap tahun" karena pemerintah tidak berupaya mencegahnya, lambat dalam menindaknya, dan memberikan sanksi yang lemah.

Sementara itu, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta, Nurjaman, mengklaim belum menerima laporan terkait anggota mereka yang belum membayarkan THR, meski data Kemenaker menunjukkan aduan terbanyak berasal dari wilayah Jakarta.

Namun dia meminta para pengusaha untuk segera menuntaskan kewajiban membayar THR, mengingat kondisi perekonomian pada tahun ini “sudah membaik, meski belum pulih sepenuhnya”.

‘Jangankan THR, gaji saja belum dibayar’

Seperti mayoritas umat Muslim di Indonesia, momen lebaran bagi Roni identik dengan tradisi berkumpul bersama keluarga, makan enak, dan berbagi rezeki dengan sanak saudara.

Tetapi tradisi itu kemungkinan tidak bisa dia lakukan pada lebaran kali ini karena perusahaan media tempat dia bekerja di Jakarta masih belum membayarkan THR-nya hingga Senin (17/4).

Jangankan merayakan lebaran dengan meriah, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja Roni mengaku kesulitan.

“Jangankan THR, gaji saja belum dibayar sampai sekarang,” kata Roni.

Dia terakhir kali menerima gaji bulanan pada akhir 2022 lalu. Perusahaannya pun, kata Roni, tidak pernah secara detil menjelaskan situasi yang sebenarnya.

Roni menjadi kesulitan menata pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangganya. Mulai dari cicilan rutin hingga biaya melahirkan istrinya.

“Kalau sakit, mau berobat pun BPJS enggak ada, psikis dan mental pasti kena,” kata Roni.

Situasi ini telah dia laporkan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers untuk mendapatkan pendampingan hukum. Mereka tengah mengupayakan perundingan bipartit, tapi menurut Roni, perusahaan “terkesan mengulur-ngulur waktu”.

Begitu bulan Ramadan tiba, Roni juga tidak berharap banyak perusahaan akan membayarkan THR. Pihak perusahaan bahkan tidak mengatakan apapun terkait hak THR yang tidak bisa mereka bayarkan ini.

“Begitu saya dengar Kemenaker bua posko pengaduan THR, saya langsung lapor, karena saya sudah memperkirakan pasti akan seperti ini. Tapi sampai sekarang status [laporan] saya masih merah, belum ditindaklanjuti,” ujar dia.

Roni bukan satu-satunya. Di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pekerja pabrik dari PT TML sampai mogok kerja lantaran memprotes pembayaran THR yang tidak diberikan secara penuh dan dicicil.

Namun sejauh ini, GSBI yang mendampingi para pekerja menyatakan belum tercapai kesepakatan antara perusahaan dan pekerja.
THR sudah dibayar, tapi gaji terancam dicicil

Pembayaran THR yang dia terima pada Sabtu (15/4) lalu, tidak serta merta melegakan perasaan Dimas.

Belajar dari pengalaman beberapa tahun sebelumnya, setiap kali menjelang Hari Raya Idulfitri, perusahaan memang memenuhi kewajibannya untuk membayarkan THR.

Tetapi pada bulan yang sama, perusahaan mencicil gaji mereka bulan itu menjadi enam atau tujuh kali pembayaran.

“Tahun 2022 itu paling parah, saya lagi di toilet, sampai nangis waktu terima SMS banking karena gaji yang masuk cuma ratusan ribu. Buat bayar listrik saja enggak cukup,” kata Dimas.

“Saya enggak bisa membayangkan harus ngomong ke anak istri saya, saya dapat gaji cuma ratusan ribu,” tutur dia.

Dimas dan para pekerja lainnya pun protes. Akhirnya pada hari itu, perusahaan beberapa kali mentransfer cicilan gaji mereka.

Tetapi hingga saat ini, Dimas mengaku perusahaan bahkan belum melunasi sebagian kecil cicilan gajinya pada bulan lebaran dalam dua tahun terakhir.

Itulah mengapa Dimas kali ini memilih “menahan diri” untuk tidak mengeluarkan banyak uang meski dia harus mudik lebaran.

“Biasanya ada THR, ada gaji tapi karena gajinya dicicil, saya jadi was-was sendiri. Mau habiskan uang THR untuk Hari Raya, tapi kalau ternyata gajinya dicicil bagaimana?” kata dia.

Meski demikian, Dimas mengaku tidak berniat melaporkan kasus ini ke Kemnaker. Dia mengatakan tidak lagi bisa berharap pada Kemnaker, setelah kasus iuran BPJS Ketenagakerjaannya tidak lagi dibayarkan oleh perusahaan.

“BPJS Ketenagakerjaan kami akhirnya ditutup. Sekarang enggak ada anggota BPJS Ketenagakerjaan, itu hasil perundingan dengan Kemnaker padahal,” kata dia.

Dalih perusahaan

Menurut Mustafa Identitas, pendamping hukum dari LBH Pers, banyak modus yang dilakukan oleh perusahaan untuk mengakali keterlambatan pembayaran THR. Salah satunya seperti yang dialami oleh Dimas.

Berdasarkan pengaduan-pengaduan yang dia terima, ada pula perusahaan yang menyicil pembayaran THR menjadi 50% sebelum lebaran, lalu 50% sisanya dibayar setelah lebaran.

Pada kasus upah bulanan pun tidak dibayar, ditemukan pula perusahaan yang berujung memecat karyawan yang mempertanyakan haknya dalam rentang satu bulan sebelum lebaran.

“Itu kan perusahaan melepaskan diri dari kewajibannya membayar THR. Pekerja jadi enggak dapat THR,” tutur dia.

Padahal dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016, pekerja yang masa kerjanya habis satu bulan sebelum hari raya tetap berhak mendapatkan THR.

Dalam kasus-kasus ini, mayoritas perusahaan pun mengaku sedang merugi sehingga tidak bisa membayarkan THR sesuai ketentuan.

Kebijakan Menaker "yang selalu berubah-ubah" terkait THR pun dinilai berkontribusi menyebabkan tidak ada kepastian bagi hak pekerja, kata Emilia dari GSBI.

Misalnya ketika pada masa pandemi lalu pemerintah mengizinkan THR boleh dicicil, ada perusahaan-perusahaan yang menginterpretasikan bahwa pembayarannya menjadi boleh dicicil, atau bahkan dikurangi sesuai kondisi "situasional" perusahaan.

GSBI menemukan laporan terkait sebuah perusahaan Sukabumi yang hanya memberikan THR sebesar Rp300.000 kepada pekerjanya pada tahun ini dengan dalih "alasan situasional".

"Ada juga perusahaan yang membayar Rp800.000 saja kepada buruh yang sudah bertahun-tahun kerja di perusahaan yang sama hanya karena dia berstatus kontrak," kata Emilia.

"Padahal kebijakan pembayaran THR itu bukan mengacu pada status kerja, tapi masa kerja," ujarnya.

Terkait aduan-aduan pembayaran THR ini, Wakil Ketua Apindo DKI Jakarta, Nurjaman, mengaku belum mendapat laporan terkait anggota asosiasi mereka.

“Kami juga belum dapat tembusan dari Kemnaker perusahaan mana yang tidak memberikan THR. Bisa saja tidak membayar atau memang belum membayar. Itu beda."

"Kalau belum membayar sebelum hari lebaran, mungkin karena kondisi sekarang belum begitu baik-baik saja, bisa saja mereka masih mencari sumber-sumber keuangan,” jelas Nurjaman.

Secara umum, Nurjaman mengatakan situasi perekonomian di Indonesia sudah cenderung membaik dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya ketika dilanda pandemi.

Oleh sebab itu, dia menyebut perusahaan “semestinya sudah mengalokasikan THR dan mengupayakan bagaimanapun caranya untuk membayar kewajiban ini”.

“Kami harap perusahaan yang belum membayar, segera bayar. Kami tahu tidak semua perusahaan tidak baik-baik, ada juga yang sampai saat ini untuk menutupi gaji pun susah,tapi kita harus beri kesempatan bagi para pekerja untuk merayakan hari rayanya,” ujar Nurjaman.

Posko aduan sebatas 'lip service'

Upaya Kemenaker membangun posko aduan dari tahun ke tahun dinilai sebatas "lip service", karena tidak diiringi dengan tindaklanjut yang transparan dan sanksi yang tegas bagi perusahaan yang melanggar.

"Apa hasilnya? Apakah Menaker pernah mempublikasikan berapa banyak perusahaan yang melanggar dan tidak membayarkan THR-nya?" kata Emilia.

Perusahaan yang melanggar semestinya diberi sanksi berupa peringatan, denda, hingga sanksi pidana apabila tidak memenuhi hak karyawan untuk menerima THR.

Pengawas ketenagakerjaan biasanya akan memberi nota pemeriksaan setelah menyampaikan peringatan.

Jika nota pemeriksaan itu tidak dilaksanakan, maka perusahaan bisa dedenda sebesar 5%.

Namun menurut Mustafa dari LBH Pers, pada kenyataanya kasus-kasus yang diadukan sering kali tidak ditindaklanjuti atau sulit ditelusuri.

"Banyak dari klien kami yang akhirnya tetap tidak menerima haknya," kata dia.

“Kami melihatnya pemerintah tidak tegas menegakkan sanksinya. Padahal adanya laporan-laporan ini seharusnya ditindaklanjuti, tidak bisa hanya jadi sebatas laporan saja,” ujar Mustafa.

Sementara itu, Timboel Siregar menilai pemerintah "seolah sengaja membiarkan" pelanggaran-pelanggaran terkait ini terus berulang.

Itu karena laporan-laporan baru selalu muncul di saat penyelesaian dari kasus-kasus yang dilaporkan sebelumnya pun "tidak jelas".

Padahal, menurut Timboel, ada kecenderungan sebagian pelanggaran dilakukan oleh perusahaan yang sama.

"Pemerintah kan punya data perusahaan apa saja yang melanggar, sampai sejauh mana penyelesaiannya? Apakah dibawa ke pengadilan hubungan industrial atau bagaimana?"

"Semestinya didata perusahaan si A, si B, dan si C yang melanggar, sekarang mau bayar THR lagi, datangi dong H-30, kemarin melanggar, sekarang wajib bayar. Jadi ada tindakan persuasif, sampai tegas," kata Timboel.

Dia juga menyoroti lambatnya Kemenaker menindaklanjuti laporan-laporan tersebut.

Dari 1.394 aduan yang masuk, Kemenaker sendiri menyatakan bahwa baru 36 aduan yang ditindaklanjuti oleh pengawas ketenagakerjaan.

"Artinya yang difollow up sejak buka pengaduan tanggal 28 Maret hanya segitu, itu pun kita tidak pernah tahu ditindaklanjuti itu apakah akhirnya dibayar, dibayar setengah, atau lanjut ke pengadilan?"

Belum lagi sanksi yang biasa dikenakan kepada perusahaan pelanggar pun biasanya "lemah" dan hanya berupa teguran administratif.

Pada akhirnya, kata Timboel, para pekerja ini tidak dapat menikmati THR sebagai haknya saat merayakan Idulfitri.

'Hilangnya makna Lebaran' bagi pekerja 

Mekanisme pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) kembali menimbulkan polemik setiap tahun, begitupun kisah pada tahun kedua pandemi virus corona 2022 kemarin.

Para pekerja menyebut, Hari Raya Idul Fitri tahun ini akan - sama dengan tahun sebelumnya - kehilangan maknanya jika THR kembali dicicil, diberikan sebagian atau tidak dibayarkan sama sekali.

"Sudah tidak bisa mudik, kami juga tidak akan bisa memberikan uang ke keluarga kami di kampung. Makna Lebaran menjadi tidak ada lagi bagi kami," kata JP, seorang pekerja perusahaan garmen besar di Tangerang, Banten yang THR-nya tahun 2023 ini dicicil tujuh kali.

Berdasarkan laporan dari Serikat Pekerja Nasional (SPN) setidaknya terdapat 13 perusahaan - mencakup lebih dari 1.400 pekerja- yang belum melunasi THR 2020 hingga sekarang. 

Sementara berdasarkan catatan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) , jumlah perusahaan yang belum melunasi THR 2020 lebih besar, yaitu sekitar 54 perusahan. Sedangkan data Kementerian Ketenagakerjaan, terdapat 103 perusahaan yang belum menyelesaikan kewajiban THR tahun lalu. 

Kekhawatiran JP muncul akibat "ketidakjelasan" keputusan pemerintah, yaitu Menteri Ketenagakerjaan, yang masih membuka ruang dilakukannya perundingan bipartit antara perusahaan dan pekerjanya dalam pemberian THR, kata KSPI.

Di sisi lain, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) menyambut baik keputusan ini karena tidak semua perusahaan mampu memberikan THR kepada pekerjanya sehingga pintu musyawarah dibutuhkan.

JP, seorang pekerja garmen perusahaan besar di Tangerang, Banten, khawatir pengalaman sedih Lebaran tahun lalu akan terulang kembali ditahun ini.

"Tahun 2022 lalu, saya tidak bisa menikmati indahnya Idul Fitri karena dilarang mudik dan ditambah lagi tidak bisa memenuhi kebutuhan hari raya, bahkan tidak bisa mengirimkan uang ke orang tua sebagai tanda cinta akibat THR yang dicicil dan saya khawatir itu akan terulang kembali," kata JP.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) KSPI, Ramidi, menyebut dampak dari keputusan pemerintah terkait THR 2023 akan menyebabkan banyak perusahaan memilih jalur perundingan bipartit dalam menyelesaikan kewajiban THR.

"Karena perusahaan akan mengambil sesuatu yang memiliki peluang untuk mengurangi cost. Jangankan perusahaan yang merugi, perusahaan yang sehat pun akan minta keringanan cicilan THR dengan alasan Covid-19," kata Ramidi.

Berdasarkan catatan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, terdapat sekitar 54 perusahaan yang hingga kini belum menyelesaikan pemberian THR sejak tahun 2020.

Sementara menurut laporan dari Serikat Pekerja Nasional (SPN) setidaknya terdapat 13 perusahaan - mencakup lebih dari 1.400 pekerja- yang belum melunasi THR 2020 hingga sekarang.

"Perusahaan yang belum membayar THR secara lunas ada di Banten, Jakarta, dan Jawa Barat dari perusahaan kecil hingga besar. Bahkan ada satu perusahaan besar yang THR-nya hanya Rp250 ribu. Perusahaan-perusahan itu memproduksi barang branded, diekspor dan nilai jual mahal," kata Ramidi.

'Permainan nakal' yang dilakukan perusahan tersebut seperti yang dicontohkan oleh Riden Hatam Aziz dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI).

"Ada perusahaan di Sukabumi yang bilang tidak bisa bayar THR, padahal produksi berjalan terus. Lalu, diminta laporan keuangannya tidak mau. Lalu kemudian karyawannya mogok kerja dan unjuk rasa. Ujungnya, THR dibayar karena perusahaan sanggup.

Ketidakjelasan aturan pemerintah ini dimanfaatkan perusahaan nakal untuk mempermainkan THR dan menciptakan perselisihan di lapangan antara perusahaan dan pekerja," katanya.

Untuk itu Riden meminta, pemerintah mencabut ruang bipartit dalam pemberian THR.

'Kesulitan bertahan hidup'

Perundingan bipartit antara pengusaha dan pekerjanya sangat dibutuhkan karena hingga kini masih ada perusahaan yang kesulitan untuk 'bertahan hidup' akibat pandemi virus corona, kata Ketua Komite Advokasi Dewan Pengupahan Nasional (DPN) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Darwoto.

"Permasalahan tetap masalah klasik, cash flow saja. Jadi masih ada perusahaan yang masih terdampak secara signifikan dari Covid-19, dan kesulitan untuk bertahan hidup, tapi banyak juga perusahaan yang sudah mulai berangsur normal aktivitasnya.

"Sehingga kalau kita bandingkan 2020 dengan 2021 maka yang tidak mampu lebih sedikit, tapi kan masih ada. Yang masih ada ini yang harus diberikan ruang sebagai contoh misalnya sektor perhotelan, pariwisata, dan transportasi penumpang," ujar Darwoto.

Menurut Darwoto, diperlukan mekanisme dan pedoman bagi perusahaan yang terus terhimpit akibat pandemi, yaitu dilakukannya diskusi secara bipartit.

Pengusaha restoran yang menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Sudradjat, menyebut pandemi virus corona masih memberikan dampak dominan bagi industri pariwisata seperti perhotelan, restoran, hingga destinasi pariwisata.

"Sekarang orang-orang banyak yang mengurangi makan di mall, menginap di hotel, pergi wisata. Kami sendiri yang punya restoran minus terus pendapatannya karena omset kecil, sementara kalau ditutup kasihan karyawannya," Kata Sudradjat.

"Sekarang kami dihadapkan dengan THR, memang perlu ada perundingan untuk jalan tengahnya, jadi ada saling pengertian, saling mengisi satu sama lain melalui ruang perundingan ini," tambah Sudradjat. 

Namun Sudradjat mengingatkan agar ruang bipartit ini tidak diselewengkan karena pemberian THR kepada pekerja memiliki peran penting dalam meningkatkan perekonomian masyarakat.

"Kalau yang mampu saya harapkan bayar, dan yang tidak mampu, hanya separuh, musyawarah mufakat lah. Meskipun ketentuan harus dilakukan tapi kalau duitnya tidak ada, bagaimana? Mau dipailitkan, jual dulu baru bagi THR kan proses juga panjang," ujar Sudradjat.

Perusahaan wajib bayar THR secara penuh dan tepat waktu

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor M/6/HK.04/IV/2021 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2021 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan yang menetapkan bahwa THR Lebaran tahun ini harus dibayarkan secara penuh dan tepat waktu.

"Pemerintah sudah memberikan dukungan dalam berbagai bentuk dukungan ke pengusaha untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19 agar perekonomian masyarakat bergerak. Untuk itu diperlukan komitmen para pengusaha untuk membayar THR secara penuh dan tepat waktu kepada para pekerja atau buruh," kata Ida dalam konferensi pers virtual tentang THR Tahun 2023.

Menaker Ida meminta perusahaan agar waktu pembayaran THR Keagamaan dilakukan paling lama tujuh hari sebelum hari raya keagamaan. 

Sementara bagi perusahaan yang masih terdampak Covid-19 sehingga tidak mampu memberikan THR, Ida mewajibkan dialog secara kekeluargaan antara pengusaha dan pekerja untuk mencapai kesepakatan yang dibuat secara tertulis mengenai waktu pembayaran THR.

"Perusahaan yang melakukan kesepakatan dengan pekerja atau buruh agar melaporkan hasil kesepakatan kepada dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Ketenagakerjaan setempat," katanya.

Menaker Ida juga meminta kepada perusahaan agar dapat membuktikan ketidakmampuan untuk membayar THR Keagamaan tahun 2021 sesuai waktu yang ditentukan berdasarkan laporan keuangan internal perusahaan secara transparan.

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, terdapat 103 perusahaan yang belum menyelesaikan kewajiban THR tahun 2020 lalu dari total 410 laporan pengaduan. (*)

Tags : tunjangan hari raya, thr karyawan, thr karyawan banyak belum dibayar, rayakan idulfitri, pekerja harus rela lebaran tidak bisa makan enak bersama keluarga,