Korupsi   2025/07/13 11:12 WIB

Tidak Disangkal Korupsi Kini Salah Satu Bentuk Kerusakan Terburuk yang dapat Terjadi pada Masyarakat Demokratis

Tidak Disangkal Korupsi Kini Salah Satu Bentuk Kerusakan Terburuk yang dapat Terjadi pada Masyarakat Demokratis
Setiap kali tindakan korupsi berhasil, hubungan antara neuron yang mendukung pengulangan perilaku menguat.

JAKARTA - Tidak dapat disangkal bahwa korupsi kini merupakan salah satu bentuk kerusakan terburuk yang dapat terjadi pada masyarakat demokratis. Kewewenang, hak, dan kesempatan untuk berkuasa kerap diselewengkan.

Pertanyaannya, kapan dan bagaimana dorongan yang tidak bermoral ini terbersit di dalam otak seorang manusia? Apakah manusia memang secara alami memiliki naluri korupsi?

Sebelum menyalahkan takdir, perlu diketahui bahwa korupsi bukan penyakit, dan tentu saja, bisa dihindari.

Para pakar yang bergelut dengan neurosains atau ilmu saraf mulai mempelajari bagaimana kekuatan politik dan konteks sosial suatu negara berpengaruh pada aktivitas otak saat memutuskan korupsi atau melakukan tindakan tidak bermoral. 

Dalam otak yang sehat, godaan untuk terlibat dalam perilaku korup semestinya menciptakan konflik antara dorongan bertanggung jawab atau melakukan korupsi.

Atas dasar ini, rangsangan yang mendorong perilaku korup, seperti memperoleh keuntungan pribadi dengan menyalahgunakan situasi yang menguntungkan, akan menghadapi rintangan, salah satunya rasa takut mendapatkan hukuman.

Dalam menghadapi dilema tersebut, adakah yang bisa mencegah otak mengambil langkah yang salah?

Bukti menunjukkan bahwa "menyerah pada godaan" atau mengalah pada korupsi membutuhkan kerja beberapa sistem otak.

Dalam hal ini, ada sirkuit otak yang mengatur penghargaan, pengendalian diri, dan evaluasi moral perilaku pribadi.

Di antara semua itu, sirkuit yang paling mengambil peran adalah yang berkaitan dengan pemberian penghargaan atas perilaku tertentu dan kemudian memotivasi untuk mengulanginya.

Bagian tersebut merupakan area yang melepaskan neurotransmiter di otak untuk merespons terhadap hasil berupa uang atau status.

Akibatnya, tiap kali berhasil melakukan korupsi, seperti melakukan suap dalam jumlah besar, koneksi antara neuron yang mendorong pengulangan perilaku tersebut menguat.

Ini kemudian mengganggu keseimbangan antara dorongan dan kendali di otak sehingga memicu aksi korupsi. 

Rasa puas atas keberhasilan tindakan tersebut menghentikan mekanisme penilaian etika.

Namun sebenarnya, ada struktur yang mengatur perencanaan jangka panjang dan menghambat dorongan.

Struktur ini berfungsi membantu untuk menahan godaan dari mendapatkan kepuasaan sesaat sehingga lebih fokus pada manfaat masa depan. Antara lain, membangun reputasi yang baik atau memastikan karier politik yang panjang.

Sayangnya, kinerja sirkuit penghargaan itu menghambat struktur ini bekerja.

Selain itu, otak juga sangat bergantung pada pedoman "ketika berada di suatu tempat, maka beradaptasilah dengan kebiasaan yang berlaku". Hal ini jelas dapat merusak upaya perlawanan terhadap korupsi.

Alasannya adalah perilaku sosial manusia seolah sudah ditentukan selama jutaan tahun evolusi.

Perilaku sosial yang dimaksud berkaitan dengan menyesuaikan diri pada suatu kelompok dan mengadopsi norma-normanya agar bisa diterima di dalamnya.

Lalu, apakah manusia bisa lepas dari jeratan itu? Tentu, butuh kekuatan emosional yang besar, kreativitas, dan sering kali berakhir tersisih sendirian ketika ingin lepas dari kebiasaan itu.

Jadi, apabila perilaku "mencurigakan" dianggap lazim di lingkungan sekitar, maka ini bahaya karena otak akan mengadopsinya sebagai perilaku yang wajar. Seperti yang ditunjukkan eksperimen Solomon Asch beberapa tahun lalu, bahwa tekanan sosial mempengaruhi penilaian individu, bahkan ketika respons yang benar malah dinilai salah.

Karena itu, dalam lingkungan yang menormalisasi korupsi, tekanan teman sekelompok atau sebaya mengaktifkan area otak sosial yang mendorong untuk meniru perilaku kelompok meskipun bertentangan dengan prinsip etika pribadi.

Jika paparan praktik korupsi berlanjut dari waktu ke waktu, maka lama kelamaan sensitivitas otak dan saraf berkurang: pengulangan akan melemahkan respons area saraf yang bertanggung jawab mengidentifikasi bahaya dan berpotensi membungkam sinyal "alarm moral" di otak kita.

Bagaimana mencegahnya?

Cara terbaik untuk mencegah korupsi adalah dengan mengubah konteks sosial dalam kerja otak manusia.

Manusia memang merupakan makhluk sosial yang butuh persetujuan dari kelompoknya atau rekan sebayanya. Tanpa akuntabilitas dan saat berada dalam situasi lingkungan yang permisif, manusia akan menormalkan perilaku yang salah, termasuk korupsi, dan melemahkan mekanisme internal diri.

Hal ini menimbulkan fenomena "rasionalisasi" yang memungkinkan untuk menafsirkan ulang perilaku yang tidak pantas justru malah dianggap "perlu" atau setidaknya "tidak terlalu parah", sehingga menormalisasi perilaku korup.

Banyak bukti yang menampilkan "penyesuaian mental" terhadap korupsi. Di antaranya, penelitian berdasarkan teknik pencitraan saraf menunjukkan bahwa mereka yang berkuasa mampu mengatur penilaian yang menguntungkan bagi mereka.

Neurosains juga telah menggambarkan ketika keputusan dibuat saat sedang berkuasa, otak mencari cara untuk menghitung dampak etis yang terkait dengan perilaku korup.

Dampak etis ini merujuk pada dampak finansial, reputasi, atau sosial yang timbul akibat tindakan yang tidak etis.

Di sisi lain, kurangnya empati juga merupakan masalah. Sebab, hal ini berhubungan dengan kesadaran sosial yang bisa mengurangi kecenderungan untuk menipu.

Korupsi berdampak mengubah arah prioritas masyarakat dan memperburuk ketidaksetaraan. Walakin, otak cenderung condong ke arah apa pun yang mewakili keuntungan pribadi, menjadi lebih "egois".

Singkatnya, berkuasa dalam waktu yang lama bisa berdampak pada pelemahan jaringan saraf pengendalian diri karena fokusnya lebih pada tujuan personal yang harus diraih dengan cara apapun.

Hal ini membuat otak kurang sensitif karena semua sinyal mutualisme antarsesama menjadi nonaktif.

Semua bukti ini dapat memberikan piranti baru untuk mencegah korupsi. Salah satunya, tetap memperkuat norma etika dan jaringan pengendali diri yang bisa membantu "menolak godaan" dan memulihkan mekanisme yang terhambat dalam otak yang korup.

Ada baiknya, mulai menerapkan bentuk penolakan sosial yang efektif demi kemaslahatan bersama. (*)

Tags : korupsi, korupsi bentuk kerusakan terburuk, korupsi pada masyarakat demokratis, ekonomi, kejahatan,